Kembali si nona tertawa. Sin Cie tahu baik perangai nona Hee ini. Apabila ia menjawab A Kiu cantik, Ceng Ceng tentu tak puas; kalau ia menyangkal, itulah jawaban yang tak tepat dengan bukti- kenyataannya. Maka ia jumput sendoknya, akan sendok sebutir telur, untuk dimasuki ke dalam mulutnya. Baru ia menggigit sekali atau dengan sekonyong-konyong ia lemparkan sendoknya.
"Ya dia! Ya dia!" ia pun berseru tertahan. Ceng Ceng terperanjat.
"Apa dia- dia?" tanyanya kemudian. "Apakah telur itu busuk?"
Sin Cie tertawa.
"Kita jangan dahar dulu! Mari kau turut aku!" kata si anak muda.
Tak puas Ceng Ceng melihat orang tak dahar telurnya.
Tidakkah ia telah sengaja rebus itu untuk kawan ini? "Kita pergi kemana?" ia tanya.
Masih Sin Cie tidak menjawab, sebaliknya, dari dampingnya Ang Seng Hay, ia jumput pedangnya orang itu.
"Kau pegang ini!" katanya.
Ceng Ceng menyambuti. Baru sekarang ia mengerti, orang hendak menghadapi musuh rupanya.
Selagi Sin Cie menggigit telur, dengan tiba-tiba saja ia ingat suatu kejadian dimana ia masih kecil, ketika ia menumpang di rumah An Toa-nio, di waktu ada orang jahat mencoba culik Siau Hui, hingga dengan nekat ia bela nona itu, sukur tepatlah datangnya An Toa-nio, yang menolongi terlebih jauh. Dengan tiga butir telur, nyonya An itu sudah serang Ou Lo Sam, si culik, hingga Lo Sam
774 kabur. Dan tadi, orang yang ia lihat, yang ia rasa kenali tapi tak ingat benar, adalah si Ou Lo Sam itu! Dia coba ingat, apakah yang dikehendaki dan dikerjakan oleh Ou Lo Sam. Sekarang, setelah ingat, pemuda ini hendak mencari tahu. Maka dia ajak Ceng Ceng pergi bersama.
Dengan berindap-indap, dengan hati-hati, keduanya pergi keluar, akan hampirkan sesuatu kamar, di setiap jendela, mereka mendekam, untuk pasang kuping, akan dengari suara orang bicara, guna cari Ou Lo Sam. Lalu di sebuah kamar yang besar, mereka dengar pembicaraan dari tujuh atau delapan orang, yang bicara dengan lagu-suaranya orang kangouw.
"Bagaimana dapat kita berlalu dari sini?" kata satu orang. "Apabila ada terjadi onar, apakah kita masih punyakan jiwa kita?"
"Di pihaknya An Tayjin, inilah urusan penting sekali," kata satu suara lain.
"Orang yang dikirim dari kota raja itu, mana dia keburu sampai? Di depan kita telah menantikan satu jasa istimewa, apabila kita lewatkan itu, tidakkah sangat sayang?"
Orang itu berdiam sekian lama.
"Begini saja!" terdengar satu suara yang berat. "Kita pecah dua rombongan kita ini, ialah yang separuh berdiam di sini, yang separuh lagi pergi pada An Tayjin, untuk terima titahnya. Jikalau nanti kita berhasil jasanya kita cicipi bersama-sama!"
Orang yang pertama rupanya telah tepuk pahanya, karena telah terdengar satu suara nyaring, disusul sama suaranya yang keras. "Bagus! Memang, suka dan duka, kita mesti terima bersama! Umpama terjadi onar, kita sama- sama menanggungnya!" "Marilah kita mengadakan undian!" seorangusulkan. "Undianlah yang menetapkan, siapa pergi dan siapa berdiam, supaya jangan ada yang mengiri."
"Akur!" menyatakan banyak suara.
"Urusan besar apakah itu yang menyebabkan mereka tak dapat pergi dari sini?" Sin Cie tanya dirinya sendiri. "Apa soalnya An Tayjin itu dan itu jasa istimewa? Aneh juga. "
Selagi mendengari lebih jauh, dari dalam terdengar golok dan pedang saling beradu, suatu tanda bahwa orang telah selesai mengadakan undian, dan mereka telah bersiap untuk keluar.
Segera si anak muda bisiki Ceng Ceng: "Pergi bisiki See Thian Kong beramai untuk siap-sedia untuk sesuatu, aku sendiri hendak kuntit mereka, untuk lihat apa yang mereka hendak lakukan."
Si nona manggut.
"Tapi kau harus waspada," ia pesan.
Itu waktu terdengar suara pintu dibuka, cahaya api lilin lantas menyorot keluar.
Sin Cie dan Ceng Ceng sudah mendahului umpetkan diri di tempat yang gelap.
Orang yang pertama muncul adalah Ou Lo Sam, di belakang ia turut delapan orang lainnya dengan gegaman mereka masing-masing di tangan. Karena terangnya api lilin, mereka itu ternyata ada orang-orang atau pengiring- pengiringnya A Kiu. Setelah mereka keluar dan sudah meloncati tembok pekarangan, pintu kamar ditutup pula.
"Itulah orang-orangnya!" kata Ceng Ceng, dengan pelahan. "Memang aku sangsikan nona itu bukannya orang sembarangan. " Sin Cie pun merasa heran sekali.
Sampai di situ, pemuda dan pemudi ini berpisahan, si pemuda segera susul sembilan orang itu, untuk dikuntit.
Sin Cie dapat kemerdekaan untuk membayangi itu sembilan orang karena ilmu entengi tubuh warisan gurunya telah sempurna, sedang ajaran Bhok Siang Toojin ialah "Pek pian kwie eng" atau "Seratus kali berubah bajangan iblis" dia telah yakinkan tujuh atau delapan bahagian sempurna. Ia mengintil terus hingga keluar dari dusun, masih mereka itu berjalan satu lie jauhnya, akan akhirnya menuju ke sebuah rumah besar.
Ou Lo Sam adalah yang mengetok daun pintu yang dicat hitam, apabila daun pintu telah dipentang, kesembilan orang itu diijinkan masuk. Sin Cie lekas-lekas jalan mutar ke belakang, untuk meloncati tembok, untuk bisa masuk ke dalam, sesampainya di dalam, ia cari tempat di mana ada cahaya api, ialah dari sebuah jendela, sesudah itu, ia lompat naik ke atas genteng. Di sini ia mendekam, dengan hati-hati ia buka selembar genteng, untuk melongok ke bawah, ke dalam kamar.
Di tengah-tengah kamar kelihatan duduk seorang umur hampir lima-puluh tahun, yang tubuhnya kekar sekali. Ou Lo Sam serta delapan pengiringnya A Kiu masuk ke dalam kamar ini, mereka semua memberi hormat, agaknya orang ini ada pembesar mereka.
"Tadi di dalam dusun hamba dapat lihat Ong Hu-ciehui," berkata Ou Lo Sam.
"Hamba dapat kenyataan mereka sedang singgah, maka itu hamba segera ajak ini sejumlah kawan pembantu."
"Bagus, bagus!" kata orang itu. "Apakah katanya Ong Hu-ciehui?" "Ong Hu-ciehui bilang, apabila An Tayjin ada urusan, dia bersedia membantu," jawab Lo Sam.
"Terang pangkatnya ida ini tidak kecil," pikir Sin Cie. "Apakah dia hendak perbuat di waktu malam buta-rata ini?"
"Jikalau kita berhasil, jasa kita bukan main besarnya!" terdengar pula suara si An Tayjin itu, terus dia tertawa: "Ha-ha-ha-haha!"
"Kami semua mengandalkan atas bantuan tayjin!" kata Lo Sam beramai.
"Kita beramai bakal terpecah menjadi lwee-teng sie-wie dan kim-ie-wie," kata An Tayjin itu. "Kita semua akan keluarkan tenaga untuk Sri Baginda!"
"Benar, Tayjin!" menyambut sembilan orang itu. "Kami bersedia akan dengar sesuatu titah dari Tayjin!"
"Bagus! Sekarang berangkatlah!"
Kaget Sin Cie akan ketahui rombongan itu ada pahlawan-pahlawan dari istana kaisar, apapula mengenai rombongan pahlawan kim-ie-wie, yang ia dengar biasa pergi kemana-mana untuk celakai orang, siapa kena ditawan katanya bisa kejadian "Kakinya dikutungi, kulitnya dikeset," kejamnya bukan main.
"Entah mereka hendak pergi kemana untuk siksa orang lagi?" pikir pemuda ini. "Dia bertemu denganku, tak dapat tidak aku harus campur-tahu!"
Sebentar kemudian An Tayjin itu keluar bersama orang- orangnya, Sin Cie hitung jumlahnya ada enam-belas dan di antara mereka ada enam orangnya si tayjin sendiri. Ia tunggu sampai orang sudah jalan jauh juga, lantas ia kuntit mereka itu. Jalanan yang diambil adalah tempat tegalan, yang makin lama makin sunyi, sekira tujuh atau delapan lie, mereka itu lantas bicara kasak-kusuk, setelah mana, mereka pencarkan diri, akan tetapi tujuan mereka adalah sebuah rumah yang mencil sendirian di tempat itu. Mereka ambil sikap mengurung, di depan dan belakang, di kiri dan kanan. Mereka maju dengan hati-hati, sambil berindap-indap, tanpa menerbitkan suara apa juga.
Sin Cie melad contoh, akan terus bayangi mereka itu, hingga ia pun turut datang dekat kepada rumah yang lagi diarah itu. Mungkin ada orang lihat padanya sebagai bajangan tetapi mungkin juga ia dianggap kawan, hingga ia tidak dicurigai.
Tayjin itu lantas dapat kenyataan, pengurungannya sudah selesai, dengan satu tanda ulapan tangan, ia titahkan semua orangnya mendekam, sesudah itu, ia hampirkan pintu, untuk mengetok.
"Siapa?" demikian pertanyaan dari dalam, dari suaranya seorang perempuan.
An Tayjin tidak segera menjawab, ia diam sebentar. "Kau siapa?" ia balik tanya.
"Oh, kau! Tengah malam buta." Demikian suaranya si orang perempuan pula.
An Tayjin tertawa berkakakan.
"Ini dia yang dibilang, bukannya musuh akan berkumpul pula!" sahutnya. "Kiranya kau ada di sini. Lekas kau buka pintu!"
"Aku sudah bilang, tak sudi aku menemui pula padamu!" kata wanita itu. "Kenapa kau datang pula?"
An Tayjin kembali tertawa. "Kau tidak sudi menemui aku, aku justeru kangen dengan nyonyaku!" jawabnya.
"Siapakah nyonyamu?" bentak si wanita, agaknya dia murka. "Satu bacokan golok toh telah membelah kami menjadi dua? Jikalau kau tak bisa lepaskan aku, pergi kau lepas api bakar rumahku ini! Aku lebih suka terbinasa daripada melihat pula kau, orang yang kalap karena sakit jiwa! Kau temahai harta dan pangkat hingga ludas rasa pri- kemanusiaanmu!"
Perhatian Sin Cie luar biasa tertarik mendengar suaranya wanita itu, hingga akhirnya ia terperanjat sendirinya.
"Itu toh An Toa-nio!" katanya di dalam hati. "Jadi An Tayjin ini ada suaminya - ayah Siau Hui?"
An Tayjin cekikikan.
"Bagaimana sengsara aku mencari kau..." katanya. "Bagaimana aku tega membakarmu? Marilah kita hidupkan pula kasih kita yang lama!..."
Walaupun dia mengucap demikian, tapi dengan kakinya An Tayjin mendupak pintu, sampai dua kali.