Pendekar Bunga Chapter 02

NIC

Belum lagi satu jurus, belum lagi pedang mereka itu dapat meluncur mendekati tubuh Giok Bian Gin Kiam, dengan cepat sekali Siauw Cu Lung telah menggerakkan sepasang tangannya, seketika itu juga sekitar tubuhnya seperti dikurung oleh serangkum angin yang sangat kuat sekali.

Dan kejadian yang hebat telah terjadi lagi pada saat itu.

Terdengar suara jeritan yang menyayatkan dari ketiga orang yang bersenjata pedang itu.

Dan tubuh mereka tampak telah terpental, lalu menggeletak tidak bergerak lagi.

Diam kaku.

Karena merekapun telah menyusul ketiga kawan mereka lainnya, yang telah terlebih dahulu telah pergi keakherat itu.

Giok Bian Gin Kiam memperdengarkan suara dengusan, kemudian dia berjongkok.

Satu persatu mayat-mayat itu diperiksainya dengan teliti.

Seluruh pauwhok (buntalan) dari keenam orang itu telah dibukai.

Tetapi tidak ada satu barangpun yang diambilnya, uang atau permata tidak diperhatikannya.

Giok Bian Gin Kiam seperti juga tengah mencari sesuatu dan mukanya jadi murung waktu telah memeriksa keenam mayat itu dan tidak menemui barang yang diinginkannya itu.....! Dia berdiam sejenak ditempat itu, berdiri mematung dengan wajah yang muram.

Matanya memancarkan sinar aneh, dan waktu dia mengeluarkan suara siulan yang panjang, kedua kakinya telah menjejak tanah, tubuhnya mencelat cepat sekali, didalam waktu sekejap mata saja, di telah lenyap dari pandangan mata.

Yang tertinggal ditempat itu hanyalah keenam sosok mayat yang menggeletak tidak bernapas lagi....

hanya kesunyian belaka yang terdapat ditempat itu.....

Menjelang sore harinya, keenam sosok tubuh itu masih menggeletak diam ditempat semula, karena sejak tadi tidak ada juga orang yang lewat ditempat tersebut.

Dan diwaktu malam akan tiba itu, tiba-tiba salah satu dari keenam mayat itu telah bergerak perlahan, disusul oleh suara erangannya, seperti rintih kesakitan bukan main.

Dia telah membuka sepasang matanya, dan melihat kelima sosok mayat lainnya.

Mukanya tampak meringis, dan hilang harapannya, karena dia segera menyadarinya bahwa kelima kawannya telah terbinasa ditangan Giok Bian Gin Kiam.

Dan secara kebetulan saja, tadi dia cuma pingsan, walaupun lukanya terlalu hebat, dengan dada yang melesak dan tulang-tulang dada yang telah patah, namun disebabkan tenaga lwekangnya yang tinggi sekali, dengan sendirinya dia belum menghembuskan napasnya....! Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaga yang masih terdapat pada dirinya dan dengan menahan perasaan sakit yang bukan main, orang ini telah berusaha untuk merangkak bangun.

Tetapi sepasang lututnya telah gemetaran keras sekali.

Dia tidak berdaya untuk berdiri.

Karena luka yang dideritanya itu sangat berat sekali.

Dengan pandangan mata nanar, dia memandang sekitar tempat itu.

Sunyi sekali, tidak terlihat sebuah rumah pendudukpun juga.

Dan tampak keenam kuda tunggangan mereka masih berada ditempat itu.

Walaupun keenam binatang tunggangan itu berdiri agak jauh, tetapi hal itu bisa membantu banyak pada diri orang yang satu ini.

Dia telah bersiul, walaupun siulannya itu serak dan sumbang, namun telah menyebabkan salah seekor dari keenam kuda itu menghampirinya.

Orang yang sedang dalam keadaan sekarat ini telah mengulurkan tangannya.

Dia mencekal tali pelana yang terjuntai, dia menghentaknya.

Dengan meminjam tenaga gentakannya itu, maka dia bisa berdiri.

Dengan bersusah payah, akhirnya dia berusaha untuk dapat menunggangi kudanya.

Kuda tersebut seperti juga mengerti maksud majikannya yang tengah terluka parah itu.

Binatang tunggangan itu telah menekuk kedua kaki depannya, sehingga tubuhnya agak merendah.

Dan akhirnya orang itu telah berhasil menaiki kuda tunggangannya.

Dia menggemblok dipunggung kuda itu tanpa memiliki tenaga pula.

"Pulang......

Sie-ma!" bisiknya pada kuda itu, yang memang merupakan kuda tunggangannya.

Binatang tersebut mengerti perkataan majikannya.

Dengan cepat dia telah berlari.

Tanpa dikendalikan oleh orang yang menggemblok dipunggungnya, kuda itu mengetahui kearah mana dia harus berlari.

Sedangkan orang yang menungganginya itu, telah jatuh pingsan tidak sadarkan diri.

Hanya tubuhnya saja yang menggemblok diatas kuda tunggangannya itu.

Dan binatang tunggangan itu telah berlari kearah jurusan barat, kearah kota Pay-hoa-kwan.

Sedangkan orang yang berada dipunggung kuda itu, sudah tidak mengetahui, kearah mana kuda tunggangannya ini berlari.......

* * * KETIKA orang yang dadanya terluka berat nan melesak dengan tulang-tulang iganya dan dadanya yang telah berantakan patah itu membuka matanya, pandangan matanya itu kabur sekali, dia tidak bisa melihat jelas.

"A....

air....

air....." dia mengeluh dengan suara yang tersendat.

"Papa (ayah)....!" terdengar seruan seorang anak lelaki kecil.

Lelaki yang tengah terluka parah itu mengenali, itulah suara anak tunggalnya.

Song-jie (anak Song).

Juga samar-samar lelaki itu mendengar isak tangis dari seorang wanita.

Lelaki ini menyadarinya, bahwa dia telah terbaring dirumahnya dibawa pulang oleh kuda tunggangannya yang jinak itu.

Dan yang sedang menangis itu tentu isterinya, Hwie Lan.

Dirasakan bibirnya dingin sekali, beberapa tetes air membasahi bibirnya.

"Lokung (suami)......

kau tidak boleh terlalu banyak minurn air dulu, keadaanmu sangat...

sangat menguatirkan sekali.......!!" suara seorang wanita didengarnya, dan itu memang suara isterinya.

Setelah ada beberapa tetes air yang membasahi bibirnya, semangat lelaki ini seperti juga terbangun.

"Lan-moy (adik Lan)...

apakah ada orang lain diruangan ini?" tanyanya dengan suara yang gemetar saking menahan perasaan sakit pada dadanya.

"Ti...

tidak...!" menyahuti Hwie Lan.

"Hanya aku dan Song-jie saja...!" "Aku...

aku harap nanti Song-jie setelah dewasa dapat membalas sakit hatiku ini...!" kata orang itu dengan suara gemetar.

"Siapa yang telah mencelakaimu, Lokung?" tanya Hwie Lan dengan suara terisak diantara tangisnya.

"Giok...

Giok Bian Gin...

Kiam...!" menyahuti si suami.

"Dan...

dan...

dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali...

nanti kalan Song-jie telah dewasa, kau harus menceritakan padanya siapa musuh besarnya...!" Hwie Lan mengangguk mengiyakan di antara isak dan tangisnya itu.

"Dan...

dan..." berpesan si suami pula.

Tetapi baru berkata sampai di situ, napasnya sudah naik sampai dilehernya, sehingga untuk sejenak dia kegelapan tidak bisa bernapas.

"Lokung! Lokung!" sesambatan wanita itu.

"Papa! Papa!!" teriak si Song-jie dengan suara tersendat tangisnya.

Dialah seorang anak lelaki yang mungil baru berusia enam tahun.

Tetapi melihat penderitaan ayahnya itu, dia jadi begitu berduka.

Sesaat kemudian, lelaki yang terluka parah itu telah dapat bernapas kembali.

Lalu katanya dengan suara terputus-putus.

"Barang itu....

barang itu terdapat didalam jahitan pelana kudaku.....

Harap kau simpan pelana itu....

dan nanti setelah Song-jie dewasa, kau berikan pelana itu agar dia memeriksanya...!!" Dan berkata sampai disitu, bibir lelaki tersebut telah bergerak-gerak perlahan, kata-katanya yang selanjutnya sudah tidak terdengar.

Dan ketika bibirnya itu berhenti bergerak-gerak, napasnya juga berhenti pula.

Terdengar suara jerit dan tangis menyayatkan hati dari isterinya.

Begitu juga si Song-jie itu jadi menangis terisak-isak.

Tetapi lelaki tersebut telah menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Sesungguhnya, lelaki ini she Ma dan bernama Wie An.

Gelarnya It Kun Kiehiap (Pendekar Pukulan Tunggal).

Namanya sangat harum sekali didalam rimba persilatan.

Cuma saja, sebagai orang yang berhati welas asih, biarpun dia telah mempunyai seorang isteri dan putra tunggal yang diberi nama Eng Song, nyatanya dia masih suka berkelana untuk melakukan kebajikan membela yang lemah.

Dengan tidak terduga, dia telah mendengar suatu kabar rahasia, bahwa disebelah utara dari pintu barat ibukota, tersimpan suatu pusaka yang sangat langka didalam rimba persilatan.

Maka bersama-sama dengan lima orang saudara seperguruannya, dia telah melakukan penyelidikan selama dua bulan.

Ternyata dia telah berhasil menemui benda pusaka itu.

Namun siapa sangka, dalam perjalanan pulang, justeru mereka telah dihadang oleh Giok Bian Gin Kiam, dan berhasil dibinasakan kelima saudara seperguruannya, dan juga telah membuat dia terluka parah, sampai akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir juga setelah meninggalkan pesan terakhirnya pada sang isteri.

Dengan ucapan sederhana, dibantu oleh beberapa orang tetangga, jenasah dari pendekar she Ma itu telah dikubur dan pelana kuda yang disebut menyimpan benda ?pusaka? itu, telah disimpan baik-baik oleh Hwie Lan.

Hari demi hari telah lewat.

Untuk melewati penghidupan dan biaya sehari-hari maka Hwie Lan telah bekerja sebagai penjahit pakaian, dan menerima cucian juga.

Dia bermaksud akan membesarkaa Song-jie, agar kelak setelah dewasa, dia baru akan menceritakan seluruh peristiwa yang telah menimpah ayahnya itu.

Song-jie juga merupakan seorang anak yang patuh terhadap kata-kata orang tua.

Dia sangat rajin sekali membantui ibunya.

Setiap paginya Song-jie yang telah menimbakan air untuk mencuci baju orang.

Siangnya, Song-jie telah berusaha bekerja sebagai tukang angon kambing, untuk mencari tambahan uang nafkah mereka ibu dan anak.

Hwie Lan yang melihat sikap Song-jie yang demikian baik, sering jadi menitikan air mata.

Karena dia selalu teringat suaminya sang telah meninggal itu jika melthat Song-jie.

Kedukaan yang datangnya sangat hebat itu dan dari hari kehari telah memakan hati perempuan itu.

Sampai akhirnya setahun kemudian Hwie Lan juga telah meninggal dunia disebabkan hatinya meleres.

Tetapi sebelum meninggal, sang ibunya telah berpesan pada Ma Eng Song, bahwa kalau Eng Song sudah dewasa, harus memeriksa pelana kuda mendiang ayahnya itu.

Dan Hwie Lan meninggalkan pesan juga, agar pelana itu disimpan baik-baik.

Juga disebutkan oleh ibu Eng Song ini, bahwa orang yang telah membunuh Ma Wie An, ayah Eng Song, adalah Giok Bian Gin Kiam.

Nama pembunuh itu tidak diketahui oleh Hwie Lan, karena suaminya juga tidak menyebutnya, hanya mengatakan gelaran pembunuhnya itu.

Sambil menangis terisak-isak Eng Soag telah mendengarkan semua pesan terakhir ibunya.

Dan air matanya tambah banyak saja mengalir keluar waktu ibunya ini telah menghembuskan napas yang terakhir.

Bagitulah, dengan dibantu oleh para tetangga, jenasah ibunya telah dikubur.

Posting Komentar