Halo!

Suling Emas Naga Siluman Chapter 120

Memuat...

Bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi silau dan terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang. Ketika mereka melihat betapa kini pemuda yang mereka dikeroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan, mereka terkejut bukan main.

"Suling Emas....!"

Tiba-tiba Toa-ok berseru keras.

"Cepat rampas suling pusaka itu!"

Empat orang itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng itu, maka mereka serentak menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha merampas benda pusaka itu.

Akan tetapi, Kam Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di udara, membentuk huruf Thian (Langit). Empat kali sulingnya membuat gerakan mencoret ke kanan dari kiri dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul dari atas ke kanan memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu bergulingan. Ternyata dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang merupakan gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau "menulis"

Huruf di udara menggunakan suling, sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti bahkan telah melukai pundak Suok dan juga membuat tangan Ji-ok terasa nyeri bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa gentar.

"Hayo serang dia!"

Toa-ok memberi komando, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung, dan itulah sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja dia pelajari sambil mengerahkan seluruh tenaga khi-kangnya sehingga suling yang dimainkan itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali. Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, akan tetapi mereka terserang oleh suara melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan seolah-olah hen-dak menembus jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja mengerahkan sin-kang untuk melindungi diri dari ancaman suara khi-kang suling itu dan bersiap untuk mengepung,

Tiba-tiba saja Kam Hong meloncat ke arah Pek In yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan lengan kiri setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus berloncatan sambil mengerahkan gin-kangnya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun, akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan langsung saja mereka berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa dipermainkan oleh pemuda itu. Biarpun pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat berkat tenaga khi-kang yang terhimpun di dalam tubuhnya, namun para pengejarnya itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang menduduki tingkat satu dan mereka, terutama sekali Ngo-ok, memiliki gin-kang yang amat hebat. Apalagi Kam Hong harus memondong tubuh Cu Pek In dan senja mulai tiba, maka setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih terus mengejarnya.

Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak lari ke bagian yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada itu sebagian besar gundul, sukar baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu dari jarak yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon. Sementara itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun menyukarkan Kam Hong untuk dapat berlari cepat karena kegelapan akan memungkinkan dia salah langkah dan tergelincir ke dalam jurang. Maka dengan hati-hati dia memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon dan batu-batu dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh.

Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus mengejarnya. Dia teringat, bahwa biarpun dia tidak kelihatan, akan tetapi lima orang itu dapat mengikutinya dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan pula dara ini bagi mereka amat penting untuk di jadikan sandera, guna ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti, mengharapkan bahwa setelah cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan jejak kakinya. Harapannya itu memang tidak sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan berarti mundur dan menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata,

"Kita berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan mengikuti jejak kakinya."

Dan Kam Hong pun terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelapnya dan amat berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk, kedua pundak dan punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijit-mijit kaki tangannya yang terasa lemas.

"Kiranya engkau malah yang telah menolongku...."

Katanya lirih.

"Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat."

"Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk tak tahu malu. Mereka pernah berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai sandera. Kalau Ayah tahu, mereka pasti takkan diberi ampun. Eh, di mana dia?"

"Siapa?"

"Anak perempuan itu, eh, Ci Sian...."

"Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini gelap dan aku tidak mengenal jalan...."

"Aku mengenal tempat ini, akan tetapi malam gelap begini tidak mungkin kita melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa ke sana dan minta bantuannya."

"Suhengmu? Bertapa?"

"Ya, dan dia tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai dibandingkan Ayah."

Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan pesan Cu Han Bu ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek pencipta suling emas itu mengatakan bahwa keluarga mereka masih mempunyai Ilmu pusaka yaitu Koali-liong Kiam-sut yang mereka harapkan kelak akan dapat mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat, maka tidaklah aneh andaikata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki seorang suheng yang sedang bertapa dan bahwa suheng ini memiliki kepandaian tidak kalah lihai dibandingkan dengan kepandaian ayahnya. Malam itu mereka terpaksa berdiam di tempat itu.

"Kau tidurlah Nona. Biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tidak dapat menyalakan api unggun untuk membantu menghangatkan tubuh karena kalau kita lakukan Itu tentu mereka akan melihat dan akan datang."

Pek In merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan dan kini merasa lega, segera merebahkan diri miring dah tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan. Melihat ini, hanya melihat dengan remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya sedikit sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh dara itu.

Dia sama sekali tidak dapat menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua, seorang pemuda lain sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula! Sebetulnya, baik Ci Sian maupun Pek In sudah memiliki kepandaian dan tenaga sin-kang yang cukup kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu saja mereka tidak dapat mengerahkan sin-kang dan hawa dingin membuat mereka dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti anak kecil kedinginan. Adapun Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu dengan penyaluran sin-kangnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun dan dia cepat merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut.

"Engkau sudah bangun?"

Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.

"Terima kasih untuk jubahmu ini, kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang menerimanya.

"Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya."

"Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan."

Post a Comment