Tapi betapapun kematian adikku itu harus kubalas.
Mari, mari, biar kuperkenalkan, inilah Lo Ka Siangjin dari Hud-kong-si dari Ban-siu-san ini." Seorang lhama bertubuh tinggi besar segera maju sambil sedikit membungkuk diri.
Wajah Lo Ka Siangjin ini merah menyala, kedua biji matanya melotot bundar sebesar kelereng memancarkan sinar berkilat.
Jelas lwekangnya sudah mencapai kesempurnaannya.
Diam-diam bercekat hati Thian-ih.
Sementara itu To Bok-san juga perkenalkan kawan-kawan lainnya.
Mereka terdiri dari kakak beradik keluarga Sia yang tenar di utara termasuk dari golongan hitam, masing-masing bernama Lo-han-kun Sia hwi-i dan Siang-cia-cu Sia Hwi-kong.
Dan masih ada lagi Tiang bwe-kiau Kiu Keng-po, Siau-wi-ci Sun Kay-ka, Loh-sian-hong Pau Kok-tam, mereka adalah gembong-gembong silat dari kalangan Kangouw juga.
Secara sopan dan merendah diri Thian-ih membalas setiap penghormatan, setelah perkenalan ini selesai Siau-wi-ci Sun Kay-ka tampil bicara mewakili kawan-kawannya, katanya bahwa tujuan kedatangan mereka ini adalah minta supaya Thian-ih suka menyerahkan kedua butir mutiara mestika itu.
Sementara Lo Ka Siangjin hanya ingin perempuan yang diincar Go Hong tempo hari supaya diserahkan kepadanya, kalau Thian-ih mau melulusi permintaan kedua ini perhitungan tentang terbunuhnya Go Hong boleh dikesampingkan.
Sedapat mungkin Thian-ih berlaku sabar dan menahan gusar, sahutnya bahwa tentang mutiara boleh dirundingkan, lain halnya dengan perempuan itu adalah calon istri Nyo Hway-giok Nyo-kongcu putra sekretaris militer Nyo-tayjin yang disegani di istana raja, tiada hak dirinya untuk menyerahkan begitu saja.
Saking kewalahan mereka minta Thian-ih segera mengeluarkan kedua butir mutiara itu, tapi Thian-ih berkata tidak membawa serta, sudah tentu para penjahat itu tidak percaya malah hendak menggeledah badan Thian-ih.
Akhirnya Thian-ih naik darah dan mengumpat caci perbuatan mereka yang keterlaluan, dari bertengkar akhirnya mereka angkat senjata dan bertempur.
Dasar berangasan Loh-sian-hong Pau Kok-tam menyerbu terlebih dahulu sambil mengayun Hoa-san).
Sekonyong-konyong terdengar suara "Trang" yang nyaring, sebatang anak panah melesat tiba persis mengenai golok Pau Kok-tam sehingga senjatanya ini tersampok miring kesamping.
Tengah para hadirin melengak, dari rimba sebelah kanan sana berloncatan keluar beberapa orang, pelopornya ternyata bukan lain adalah Lim Han, kepala Bhayangkari istana.
Legalah hati Thian-ih.
golok tunggalnya dengan jurus Lak-pi-hoa-san (membelah gunung Tanpa tedeng aling-aling lagi segera Lim Han menerangkan bahwa kedua butir mutiara itu adalah milik gudang istana raja yang hilang dan tengah dalam pengejaran, sudah harusnyalah kalau kedua butir mutiara itu diserahkan kepala rombongannya.
Kalau pihak kalian tidak terima dan berkukuh hendak mengangkangi kedua mutiara itu, baiklah dijanjikan empat hari lagi diadakan pertemuan mengadu kepandaian untuk menentukan menang dan asor, tempatnya ditentukan di gunung batu diluar kota sebelah barat.
Ditekankan pula oleh Lim Han bahwa mereka hanya akan menyelesaikan urusan ini secara aturan Kangouw tanpa membawa bala tentara untuk membantu, hanya beberapa jago dari Bhayangkari serta Thio Thian-ih saja.
Seumpama pihaknya yang menang urusan tidak perlu diperpanjang, kalau sebaliknya dengan suka rela kedua mutiara itu akan dipersembahkan.
Nama dan kedudukan Lim Han sudah menggetarkan kota raja dan daerah utara, kepandaian silatnya tiada tandingan diantara para kerabat dari kesatuan Bhayangkari di seluruh istana raja.
Sudah tentu seumpama belum pernah lihat juga pasti sudah pernah dengar tentang pribadi serta sepak terjangnya, namun betapapun daya tarik kedua butir mutiara itu sedemikian besar, meskipun mereka segan menghadapi Lim Han toh mereka menebalkan muka untuk mengadu untung.
Bahwasanya dalam kalangan Kangouw paling menghargai dan menjunjung tinggi sikap gagah seorang kesatria.
Kalau Lim Han sudah berani menjanjikan tempat dan waktu untuk mengadu kepandaian, terpaksa mereka menyetujui dan mundur teratur, bubarlah pertengkaran dalam hutan kecil ini.
Dalam perjalanan pulang ke kota Lim Han bertanya kepada Thian-ih mengapa bisa sampai di kota raja.
Thian-ih menerangkan sejelas-jelasnya maksud kedatangannya.
Sungguh Lim Han merasa kagum dan memuji sikap dan tindakan Thian-ih yang setia kawan, ujarnya: "Ji-chengcu, sepak terjangmu ini benar-benar membuat aku tunduk dan takluk benar-benar.
Nyo Hway-giok adalah sahabat kentalku, biarlah aku yang pergi membujuknya." Thian-ih bertanya apakah kedua butir mutiara yang disimpannya itu perlu diserahkan untuk meringankan beban para kerabat Bhayangkari yang terhukum.
Lim Han mengatakan tidak perlu sambil menghela napas, katanya memberi keterangan lebih lanjut: "Ji-chengcu, bicara terus terang sebetulnya benda-benda berharga yang tercuri dari gudang negara sangat banyak dan tak ternilai harganya, ketahuilah kedua butir mutiara itu hanya sebagian kecil dari delapan belas mutiara yang turut hilang.
Selain membekuk sibaju perak kurasa peristiwa ini akan selamanya terbengkalai susah dipecahkan." Ditanyakan pula oleh Thian-ih apakah belakangan ini ada kabar beritanya tentang si baju perak itu.
Lim Han menerangkan lagi: "Si baju perak sudah menghilang bagai ditelan bumi entah sembunyi dimana.
Kalangan pemerintah juga insaf bahwa urusan ini terlalu besar dan berat betapa pun takkan dapat segera dipecahkan dalam waktu singkat maka terpaksa anak buahnya banyak diberi kelonggaran.
Maka menurut hematku, untuk sementara ini biarlah kedua butir mutiara itu titip padamu dulu.
Siapa tahu dalam pertempuran empat hari yang akan datang pihak kita yang kalah, jadi gampanglah menyerahkan kepada mereka." Bicara tentang kawanan penjahat itu menurut keterangan Lim Han bahwa Lo Ka Siangjin adalah yang paling ampuh dan merupakan lawan terberat.
Lo Ka Siangjin ini adalah tokoh dari aliran Mi-cong di Tibet yang paling disegani, sebelum ini diapun pernah bertugas didalam istana, karena melanggar aturan dan kurang disiplin akhirnya diusir.
Kemudian dengan kekerasan ia rebut dan mengepalai Hud-kong-si di Ban-siu-san itu.
Lwekang dan Gwakangnya memang sudah mencapai titik kesempurnaannya, betapapun harus hati-hati menghadapi dan jangan memandang ringan padanya.
Selain itu Siau-wi-ci Sun Kay-ka juga agak menonjol diantara para kawannya, ilmu ruyung lemasnya sudah menggetarkan kalangan silat daerah utara barat laut, merupakan kepandaian tunggal yang jarang dapat dicari keduanya.
Kalau dibanding kekuatan kedua belah pihak, semestinya pihak Bhayang-kara kudu berhati-hati, soalnya karena banyak anak buahnya yang tengah keluar bertugas mengejar harta negara yang dicuri itu, yang masih ketinggalan dalam kota raja tidak seberapa, hingga bantuan yg sangat diperlukan didepan mata sangat susah diharap.
Kesempatan menang dalam pertempuran kali ini agaknya sangat minim sekali.
Setelah mengetahui alamat tinggal Thian-ih, Lim Han ambil berpisah dan berjanji untuk mencari Nyo Hway-giok dan berusaha membujuknya.
Malam itu dia datang memberi jawaban kepada Thian-ih bahwa katanya Nyo Hway-giok sudah memaklumi tentang hubungan Li Hong-gi dengan Thian-ih serta semua seluk beluknya.
Dia nyatakan kekagumannya serta menaruh simpatik terhadap Thian-ih malah dianjurkan supaya perjodohan ini lekas terangkap, tidak lupa pula diterangkan bahwa pihak keluarga Nyo sudah kirim utusan ke Kilam untuk membatalkan perjodohan ini.
Diharap Thian-ih tidak perlu banyak ragu-ragu dan bimbang lagi segeralah kembali ke kampung halaman untuk segera melangsungkan pernikahan bersama Li Hong-gi.
Sungguh diluar dugaan Thian-ih bahwa ternyata urusan bisa berlarut sedemikian panjang, betapapun ia masih sungkan dan serba susah untuk menerima, sedapat mungkin ia minta kepada Lim Han untuk mempertemukan secara berhadapan dengan Nyo Hway-giok, dimana dirinya dapat memberikan penjelasan secara terbuka.
Melihat orang minta secara serius dan bersungguh hati, Lim Han tidak enak menolak permintaan ini, terpaksa ia melulusi untuk berusaha mempertemukan mereka.
Hari kedua Lim Han datang memberitahu bahwa dia telah berjanji dengan Nyo Hway-giok untuk bermain catur di In-hun-si yang terletak disebelah pintu utara nanti malam.
Kalau Nyo Hway-giok selalu menolak kedatangannya, terpaksalah menggunakan cara ini untuk mempergokinya disana.
Diam-diam Thian-ih sudah bersiap.
Maka malam itu secara diam-diam ia mendatangi In-hun-si diluar pintu utara, dimana terlihat Lim Han tengah berhadapan dengan Nyo Hway-giok asyik bermain catur diruangan dalam.
Terdengar dalam pembicaraan mereka Lim Han selalu menyinggung-nyinggung soal perjodohan, dibujuknya Nyo Hway-giok supaya tidak lagi menolak maksud baik Thio Thian-ih yang suci murni.
Tapi sikap Nyo Hway-giok tetap dingin sambil tertawa kecut, selalu ia mengalihkan pembicaraan.
Tak tertahan lagi segera Thian-ih menerobos keluar sambil berseru: "Saudara Hway-giok!" Begitu mata mereka saling pandang segera Nyo Hway-gok putar tubuh terus melesat pergi, Lim Han coba menarik lengan bajunya, sekali kebas Nyo Hway-giok luputkan diri malah langkahnya makin dipercepat.