Berubah wajah Lulu. Hemmm, jadi kakek inikah musuh besarnya yang selama ini ia cari-cari? Sejenak seluruh tubuhnya menegang dan timbul keinginannya untuk menyerang kakek itu. Akan tetapi teringat akan pembicaraan mereka tadi Lulu menarik napas panjang dan.... menangis. Sejenak Lauw-pangcu hanya memandang gadis yang menangis itu penuh keheranan dan keharuan, kemudian ia berkata.
"Nona, aku mengerti bahwa di dalam hatimu mengandung sakit hati dan dendam yang besar kepadaku. Andaikata engkau kini menjadi pembantu pemerintah Mancu, tentu dendammu akan kau hadapi dengan kekerasan dan engkau akan kuanggap sebagai musuh. Akan tetapi karena terbukti bahwa engkau membantu pihak pejuang menentang kekejaman pasukan Mancu, hal ini membuat hatiku terasa berat dan penuh oleh dosa terhadap dirimu. Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang yang tidak mengenal budi dan bukan seorang yang tidak berani menanggung segala akibat perbuatanku. Aku yang membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat keluarga Nona terlantar, dan menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap menerima pembalasanmu. Engkau boleh menbunuhku untuk membalas dendam keluargamu. Silakan, aku tidak akan melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai tebusan dosaku kepadamu."
Lulu mengangkat mukanya yang basah air mata memandang kakek itu, kemudian ia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan dan kepalanya digeleng-gelengkan.
"Tidak.... tidak...., setelah aku menyaksikan sepak terjangmu, setelah aku mendengar kata-katamu dan mengenal watakmu sebagai seorang gagah perkasa, seorang pendekar sejati, bagaimana aku dapat membunuhmu? Apalagi setelah menyaksikan keganasan perwira-perwira Mancu.... ah, biarlah kuanggap bahwa Ayah sekeluarga terbasmi oleh perang, bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu. Engkau membasmi mereka bukan karena benci pribadi, melainkan karena perjuanganmu, karena perang. Biarlah, aku akan melupakan semua itu...."
Lauw-pangcu terbelalak, menghela napas dan mengeluh,
"Aduh, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki kebijaksanaan yang begini besar. Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada bandingnya, menembus hatiku. Ah, Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini membuat aku jauh lebih menderita penuh penyesalan selama hidup daripada kalau engkau menusuk mati aku dengan pedangmu? Aku telah membasmi keluargamu.... dan engkau tidak mau membalas dendam. Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku menjadi pengganti keluargamu, menjadi Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau sebagai anakku, kalau engkau sudi...."
Mendengar ini, Lulu terisak, menurunkan kedua tangan, memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang lebar, kakek yang telah menyelamatkan nyawanya, kakek yang telah membasmi keluarganya, kemudian ia mengeluarkan jerit lirih menubruk maju dan berlutut di depan kakek Lauw-pancu,
"Ayah....."
Sepasang mata kakek tua itu menitikkan dua butir air mata dan dengan penuh keharuan ia mengangkat bangun gadis itu, memegang kedua pundaknya dan menatap wajah cantik jelita dengan sepasang mata lebar yang masih mengucurkan air mata.
"Anakku...., engkau anakku...., siapakah namamu?"
"Lulu...."
"Ah, nama yang bagus. Lulu, aku akan membimbingmu, melatihmu. Engkau memiliki sin-kang yang luar biasa dan gerakanmu cepat sekali, amat mentakjubkan, hanya ilmu silatmu yang belum matang. Aku akan menurunkan semua kepandaianku dan kelak engkau menjadi orang yang lebih lihai daripada aku sendiri. Akan tetapi aku heran sekali...., siapa yang mengajarimu berlatih sehinga memiliki sin-kang begitu hebat dan.... memiliki kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki seorang pendeta sekalipun?"
Lulu yang merasa amat terharu dan juga berbahagia karena kini merasa mendapatkan seorang ayah, sambil bersandar di dada "ayah"
Ini menjawab manja, seperti kalau ia bersikap manja kepada Han Han.
"Ayah, yang mengajarku adalah Kakakku sendiri."
Kembali Lauw-pangcu terkejut, memegang kedua pundak "anaknya"
Itu dan memandang wajahnya dengan tajam.
"Kakakmu? Engkau mempunyai Kakak? Bukankah kau katakan tadi bahwa.... bahwa yang hidup hanya tinggal engkau seorang?"
Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan pahit, mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua keluarga gadis yang kini menjadi anaknya itu.
"Kakak angkat, Ayah."
"Ohhh.... jadi engkau mempunyai seorang kakak angkat dan kini mempunyai seorang ayah angkat, anakku? Agaknya engkau memang seorang yang amat baik budi sehingga banyak orang yang suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai sekali."
"Kakakku adalah orang yang paling hebat dan lihai di seluruh dunia ini....."
"Ayah, bocah ini adalah teman si keparat Han Han."
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring disusul berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik gagah yang dikenal Lulu karena gadis itu bukan lain adalah Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim Chit-kiam yang amat lihai dan yang pernah bentrok dengan Han Han ketika mereka berdua baru keluar dari Pulau Es, ketika dia dan kakaknya membantu para piauwsu Hoa-san-pai yang diserang orang-orang Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok. Melihat Sin Lian yang bersikap kasar terhadap kakaknya namun yang ia duga mencinta kakaknya itu, Lulu tersenyum dan memandang dengan matanya yang lebar. Sebaliknya, Sin Lian memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu membentak dan melangkah maju,
"Dia dan Han Han membantu penjahat-penjahat Hoa-san-pai dan matinya dua orang suhuku mungkin karena mereka."
Melihat puterinya maju hendak menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat melompat ke depan Sin Lian, menghadang dan berseru.
"Lian-ji, tahan dulu. Dia ini adalah Adikmu."
Mendengar ini, Sin Lian begitu kaget dan heran sehingga ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri seperti arca dalam keadaan masih memasang kuda-kuda siap menyerang. Matanya memandang kepada ayahnya penuh pertanyaan.
"Apa.... apa artinya ini, Ayah?"
"Aku telah mengangkat Lulu ini sebagai anakku, Sin Lian. Dia telah membantu para pejuang dan hampir mengorbankan nyawanya untuk perjuangan, selain itu.... dia adalah puteri keluarga Perwira Mancu yang terbasmi di tanganku.... dan.... satu-satunya jalan bagiku untuk menebus dosaku kepadanya...., yang sama sekali tidak mendendam kepadaku, mengambil dia sebagai anakku, dan aku melarang engkau mengganggu adikmu sendiri."
Berubah wajah Sin Lian agak pucat dan ia membantah,
"Akan tetapi dia.... dia dan Han Han bersekutu dengan Hoa-san-pai memusuhi Siauw-lim-pai....."
"Tidak sama sekali, Enci Lian,"
Lulu berkata dengan sikap tenang. Pandang matanya yang indah tajam, wajah cantik jelita yang tersenyum cerah, suara yang bening halus itu mengagumkan hati Sin Lian.
"Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan Hoa-san-pai, dan tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan Kakakku hanyalah karena salah paham belaka."
"Kakakmu....?"
Sin Lian bertanya, bingung. Lulu tersenyum dan wajahnya berseri.
"Benar, dia adalah Kakakku, Kakak angkatku. Apakah engkau kira dia itu kekasihku, Enci Lian? Memang kekasihku, karena Han-koko adalah orang yang paling kukasihi di seluruh dunia ini, kemudian tentu saja Ayahku dan engkau Ciciku."
Pandang mata penuh kebencian itu melunak dan Sin Lian tak dapat berkata-kata. Adapun Lauw-pangcu ketika mendengar bahwa anak angkatnya ini juga adik angkat Han Han, menjadi terkejut dan berseru,
"Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah Han Han. Bocah itu. Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin Lian, duduklah dan kita mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi terang."
Setelah mereka bertiga duduk, Lulu menghela napas dan berkata,
"Kasihan sekali kakakku Han Han. Karena mengira murid-murid Siauw-lim-pai hendak merampok dan menghadang para piauwsu Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Kemudian melihat mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dia mengira murid-murid Hoa-san-pai yang melakukannya sehingga dalam marahnya dia membunuh beberapa orang murid Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi oleh Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai."
Sin Lian yang hatinya menjadi lega mendengar bahwa gadis cantik yang kini menjadi adik angkatnya itu ternyata bukan kekasih Han Han seperti yang tadinya ia sangka, menjadi tertarik sekali dan berkata,
"Ceritakanlah.... ceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya."
Maka berceritalah Lulu tentang peristiwa yang ia alami bersama Han Han itu, mulai dari pertemuan mereka dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok sampai terjadi pertempuran dengan para penghadang dan munculnya Sin Lian, kemudian betapa Han Han membunuh murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia dan kakaknya bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
"Ahhh....."
Lauw-pangcu menepuk pahanya setelah mendengar penuturan Lulu bahwa jelas sekali kedua pihak terpancing dan menjadi korban adu domba yang diatur oleh pihak Mancu.
"Han Han menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua partai dapat dihentikan dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan."
"Baik, Ayah. Memang semestinya begitu. Aku pun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan ketua Siauw-lim-pai untuk pergi mencari lima orang guruku, akan tetapi sungguh heran, lima orang guruku itu tidak dapat kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku pergi sekarang juga melaporkan hal penting itu kepada ketua Siauw-lim-pai."
"Harap engkau tidak usah sibuk-sibuk dan capek-capek, Enciku yang baik. Para pimpinan Siauw-lim-pai sudah tahu akan hal itu karena aku dan Han-koko telah pula datang mengunjungi Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya."
"Apa? Dia yang telah difitnah dan dianggap musuh oleh Siauw-lim-pai malah datang mengunjungi Siauw-lim-si? Begitu beraninya?"
Sin Lian terbelalak saking herannya. Sungguh gadis Mancu ini membawa cerita yang makin aneh saja. Juga Lauw-pangcu menjadi terkejut dan heran.
"Memang Han-ko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling berani di seluruh dunia ini."
Kata Lulu dengan bangga.
"Dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela kebenaran. Jangankan hanya mendatangi Siauw-lim-si menghadap ketua Siauw-lim-pai, biarpun harus meridatangi neraka menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), jika dia benar, akan dia lakukan tanpa mengenal takut."
Berceritalah dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini akan sepak terjang Han Han ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya pula betapa Han Han dikeroyok oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han masuk bertemu dengan Kian Ti Hosiang. Mendengar penurutan ini, makin lama Sin Lian menjadi makin terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada Han Han yang memang amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri kelihaiannya. Setelah Lulu berhenti bercerita, keadaan sunyi. Lauw-pangcu termangu penuh keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan pemuda itu.
"Wah, ceritamu sungguh hebat."
Akhirnya Lauw-pangcu berkata sambil menarik napas paniang.
"Anakku Lulu, tahukah engkau bahwa dahulu Kakakmu itu adalah muridku? Sungguh tidak nyana dia dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi, juga engkau dapat memiliki sin-kang dan gin-kang yang amat luar biasa. Siapakah guru kalian?"
Biarpun Han Han pernah memesan agar dia tidak bicara tentang Pulau Es dengan siapapun juga, akan tetapi karena Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya se dang Sin Lian menjadi cicinya, Lulu merasa tidak perlu merahasiakan hal itu dari mereka. Ia lalu menjawab.
"Guru kami adalah pemilik Pulau Es...."
"Heiii, Pulau Es....?"