Halo!

Pedang Naga Kemala Chapter 57

Memuat...

Mula-mula Ma Cek Lung menyatakan bahwa kedatangan pasukannya itu adalah untuk melakukan penggeledahan dan untuk menyita semua madat yang berada dalam gedung keluarga Ciu. Ciu Wangwe sudah mendengar akan gerakan pasukan dari kota raja, maka diapun tidak akan menentang dan tadinya dia menyerah, bahkan mempersilahkan perwira yang pernah menjadi sahabat baiknya itu untuk melakukan penggeledahan. Akan tetapi penggeledahan itu ternyata berobah menjadi pembantaian, dan jelaslah bahwa pasukan itu memang datang untuk menghancurkan keluarga Ciu. Dan terjadilah perlawanan itu sehingga terjadi pertempuran mati-matian.

Jumlah pasukan yang dibawa Ma Cek Lung ada seratus limapuluh orang, oleh karena itu tentu saja pasukan keamanan yang hanya tigapuluh orang itu tidak dapat berbuat banyak dan dalam waktu yang tidak lama mereka sudah roboh semua! Juga Ciu Wan-gwe, isterinya dan semua pelayannya dibantai oleh pasukan yang sudah keranjingan itu.

Tinggal Kui Eng seorang yang masih mengamuk. Melihat betapa orang tuanya tewas dan seluruh isi rumah binasa, hati Kui Eng seperti disayat-sayat rasanya. Ia tahu bahwa perwira Ma itu memang datang untuk membalas dendam karena pernah dikalahkannya dalam pesta tempo hari. Maka dengan kemarahan meluap-luap, gadis ini mengamuk dan bermaksud untuk membunuh perwira yang memimpin penyerbuan itu.

Akan tetapi, sekali ini Ma-ciangkun telah bersiap siaga. Dia maklum akan kelihaian gadis puteri Ciu Wan-gwe itu, maka diapun kini mengajak belasan orang anak buahnya yang memiliki ilmu silat lumayan untuk mengeroyok Kui Eng. Karena itu, usaha Kui Eng untuk dapat berhadapan dengan Ma Cek Lung sia-sia belaka. Ia dikurung dengan ketat oleh puluhan orang prajurit penjaga keamanan dari Kanton itu, di antaranya terdapat belasan orang yang memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Maka gadis inipun mengamuk dan sudah banyak anggauta pasukan musuh yang roboh dan tewas oleh tanparan atau tendangan kakinya.

Akan tetapi, pengepungan dan pengeroyokan tetap ketat saking banyaknya pihak musuh sehingga setelah merobohkan tidak kurang dari tigapuluh orang, akhirnya gadis itu kehabisan tenaga. Apalagi karena hatinya sedang gelisah dan berduka oleh kematian keluarganya. Maka, iapun mulai terkena senjata lawan yang datang bagaikan hujan itu. Namun, ia tidak menjadi gentar. Beberapa kali terdengar suara Ma-ciangkun yang menyerukan agar gadis itu menyerah saja. Memang dia mempunyai niat kotor terhadap gadis cantik itu dan mengharapkan akan dapat menangkap gadis itu dalam keadaan hidup. Akan tetapi, Kui Eng pantang menyerah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.

Memang hebat sekali sepak terjang gadis itu. Ia hanya bertangan kosong karena tadi penyerbuan itu terjadi dengan tiba-tiba. Tadinya ia sama sekali tidak mengira bahwa penggeledahan itu akan berakhir dengan pembantaian maka iapun tidak sempat mengambil sebatang tongkat yang menjadi senjata andalannya. Terpaksa ia melawan dengan tangan kosong, akan tetapi tanpa senjatapun, gadis ini sudah merupakan lawan yang amat menggiriskan bagi para perajurit itu. Gerakannya seperti seekor burung walet saja, cepat dan setiap kali tamparan tangannya atau tendangan kakinya mengenai sasaran, tentu seorang pengeroyok roboh untuk tidak dapat bangkit kembali! Tubuhnya seperti seekor burung beterbangan, menyelinap di antara bayangan puluhan batang golok dan pedang. Di antara limabelas orang ahli silat yang diperbantukan pada pasukannya oleh Ma Cek Lung, sudah ada sembilan orang roboh! Hal ini membuat para pengeroyok menjadi gentar, akan tetapi juga penasaran. Apalagi karena dari belakang, Ma-ciangkun melancarkan aba-aba dan mendorong anak buahnya untuk merobohkan gadis itu, menangkapnya hidup atau mati.

Sebagian dari pasukan itu melakukan perampokan dengan dalih menggeledah dan mencari madat. Memang ada belasan peti madat murni yang disita, akan tetapi di samping madat ini, juga ikut pula disita benda-benda berharga yang terdapat di gedung itu dalam jumlah banyak! Sehabis merampok mereka lalu membakar gedung itu!

Melihat ini Kui Eng menjadi semakin marah dan sakit hati. Ia mengamuk semakin hebat, akan tetapi betapapun lihainya, ia dikeroyok oleh seratus lebih orang yang kesemuanya adalah perajurit-perajurit yang biasa berkelahi, yang semua memakai pakaian perang yang dilindungi baju besi dan semua memegang senjata tajam pula.

Kui Eng memang seorang gadis yang telah menerima gemblengan seorang sakti dan ia telah memiliki kepandaian tinggi sekali, akan tetapi ia masih kurang terlatih. Kalau saja ia mau melarikan diri, kiranya tidak akan ada yang mampu menahannya. Akan tetapi, kesedihan karena kematian orang tuanya dan melihat keluarganya binasa dan rumahnya terbakar dan habis dirampok, kemarahan karena semua itu membuat ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk menyelamatkan diri sendiri. Satu-satunya keinginannya hanyalah membasmi semua perajurit ini dan juga membunuh Ma Cek Lung.

Akan tetapi, tenaganya terbatas dan akhirnya karena selama berjam-jam mengerahkan sinkang untuk menghadapi puluhan orang bersenjata lengkap itu, tenaga Kui Eng mulai berkurang. Hal ini terutama sekali terdorong oleh kesedihan hatinya dan karena kurang cepat lagi gerakannya, mulailah dara ini terkena sambaran ujung golok dan pedang. Pangkal lengan kanan dan kedua pahanya telah tercium ujung senjata tajam yang membuat kulit dan sedikit dagingnya tergores dan berdarah. Melihat ini Ma Cek Lung menjadi girang.

“Kepung terus, bikin habis tenaganya. Kalau mungkin tangkap hidup- hidup, jangan bunuh!”

Perwira tinggi besar ini memang telah tergila-gila oleh kecantikan gadis ini dan sekarang dia mempunyai kesempatan sepenuhnya untuk dapat menguasai gadis itu, kalau perlu dengan kekerasan, bukan hanya untuk melampiaskan nafsu binatangnya, melainkan juga untuk memuaskan hatinya yang pernah sakit karena dibikin malu oleh gadis itu di depan orang banyak.

Kui Eng yang lelah sekali itu, gerakannya mulai lambat dan kacau, pandang matanya berkunang-kunang dan ia sudah terhuyung-huyung. Sebuah tendangan dari Ma Cek Lung yang kini ikut mengeroyok, tepat mengenai lutut Kui Eng. Gadis ini mengeluh, akan tetapi begitu tubuhnya roboh, ia menggulingkan tubuhnya dan seorang perajurit yang menubruk untuk memeluknya, disambut dengan tanparan yang amat dahsyat.

“Prokkk...!”

Perajurit itu terpelanting dengan kepala retak dan tewas seketika. Akan tetapi, pengerahan tenaga terakhir ini membuat Kui Eng kehabisan tenaga dan iapun terkulai dalam keadaan setengah pingsan!

Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan orang dan para perajurit itu terkejut sekali karena tiba-tiba muncul seorang pemuda yang menyambar tubuh gadis yang sudah terkulai itu dan memanggul tubuh itu lalu melarikan diri.

“Tangkap dia!” teriak Ma Cek Lung dengan marah.

Gadis itu sudah tidak berdaya, tinggal menangkap dan membelenggu saja dan seperti sepotong daging sudah tinggal menyumpit dan memasukkan mulut, akan tetapi tiba-tiba terlepas dan tentu saja dia tidak mau membiarkan pemuda itu melarikan Kui Eng. Akan tetapi, gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya, dan setiap perajurit yang mencoba untuk menghadangnya, dirobohkan dengan pukulan-pukulan tangan kiri atau tendangan kaki, sedangkan lengan kanannya memanggul tubuh Kui Eng di atas pundak kanan.

“Lepaskan gadis itu!”

Akan tetapi, dengan sebuah tendangan kilat, pemuda itu merobohkan pembantunya dan Ma-ciangkun sendiri terkena pukulan tangan kiri yang cepat dan kuat. Dadanya terpukul dan biarpun dada perwira itu dilindungi baju besi, tetap saja dia terpental dan roboh pingsan dengan napas sesak!

Pemuda itu lalu berloncatan dan dengan cepat sekali menerobos kepungan para perajurit, merobohkan beberapa orang lagi tanpa membunuh mereka, dan akhirnya lolos dari kepungan. Beberapa orang perajurit mencoba untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu dapat berlari cepat bukan main walaupun sambil memondong tubuh Kui Eng, dan akhirnya para perajurit tidak mengejar lagi. Mereka sibuk dengan mengumpulkan barang rampokan, mengurus teman-teman yang terluka atau tewas, dan mencoba untuk menyadarkan Ma Cek Lung yang pingsan.

Kui Eng sudah kehabisan tenaga dan tubuhnya lemas. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih dapat mengetahui bahwa ia telah ditolong oleh seorang laki-laki yang memondongnya dan membawanya lari. Pandang matanya sudah kabur dan ia tidak dapat melihat jelas wajah laki-laki ini, apalagi ketika ia dipanggul, kepalanya berada di belakang tubuh orang itu. Akan tetapi ia tahu bahwa orang ini telah menyelamatkannya, dan diam-diam ia bersyukur karena ia tahu bahwa tenaganya sudah habis dan nyawanya takkan tertolong lagi. Ia tidak takut mati, akan tetapi kalau ia mati, siapa yang akan membalaskan kematian ayah ibunya? Ia berterima kasih kepada laki-laki ini yang sudah menyelamatkannya sehingga masih ada harapan dan kesempatan baginya untuk kelak membalas dendam kepada Ma Cek Lung dan anak buahnya. Ia merasa aman dan ketika pemuda itu berlari cepat memanggul tubuhnya ke luar kota Tung-kang, diam-diam ia beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk mengumpulkan kembali kekuatannya.

Akan tetapi, Kui Eng yang kini sudah kuat kembali, lalu bangkit berdiri dan menghadapi pemuda itu, baru pertama kalinya ia ingin dan dapat melihat wajah penolongnya karena tadi ia mencurahkan semua perhatiannya untuk menghimpun hawa murni. Dua pasang mata yang sama tajamnya saling tatap dan tiba-tiba Kui Eng undur dua langkah dan berseru kaget.

“Kau...!!”

Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, gadis ini lalu menerjang pemuda itu kalang kabut, mengerahkan lagi seluruh tenaga yang ada, dan oleh karena itu serangannya dahsyat sekali.

Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Seperti juga semua orang yang berada di sekitar daerah Kanton, Ci Kong juga mendengar tentang pengepungan pasukan besar kerajaan terhadap kota Kanton dan diapun merasa heran dan ingin tahu apa yang terjadi. Ketika mendapat keterangan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Panglima Lin Ce Shu itu adalah utusan kaisar untuk menyita semua madat, diam-diam dia merasa bersyukur sekali dan memuji tindakan itu yang dianggap akan menyelamatkan rakyat dari racun yang amat berbahaya itu.

Akan tetapi, Ci Kong melihat pasukan yang dipimpin oleh Ma Cek Lung keluar dari Kanton. Pasukan yang besarnya seratus limapuluh orang, membalapkan kuda keluar dari kota itu. Hatinya tertarik karena dia mengenal Ma Cek Lung sebagai perwira tinggi besar gendut yang pernah menyiksa dan hampir membunuh dia dan ayahnya pada duabelas tahun yang lalu di dalam rumah Ciu Wan-gwe. Karena hatinya tertarik, maka diapun mengikuti jejak pasukan ini yang ternyata menuju ke kota Tung-kang.

Pasukan ini mendatangi rumah gedung hartawan Ciu, dan ketika Ci Kong mendengar bahwa mereka akan menyita madat, diapun tidak mau mencampuri, bahkan diam-diam merasa girang. Memang hal itu sudah semestinya sejak dahulu dilakukan pemerintah, pikirnya sambil meninggalkan Tung-kang karena dia tidak ingin mencampuri. Akan tetapi, dia melihat asap mengepul dari dalam kota itu. Dia terkejut. Kebakaran? Apakah yang terjadi?

Sudah berjam-jam Ci Kong meninggalkan kota itu dan tidak menduga akan terjadi kekerasan, karena siapakah yang akan melawan dan menentang keputusan kaisar? Kebakaran itu menarik hatinya dan diapun cepat menggunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Tung-kang kembali. Makin terkejut dia ketika mendengar berita di dalam kota itu bahwa rumah gedung keluarga Ciu Wan-gwe diserbu, dirampok dan dibakar oleh pasukan yang datang dari Kanton. Dia merasa heran, dan ketika dia cepat datang ke tempat itu, dia melihat betapa gadis puteri Ciu Wan-gwe yang cantik dan lihai itu dikeroyok puluhan orang perajurit dan melihat pula banyaknya perajurit yang tewas dan juga betapa rumah itu terbakar dan banyak pengawal dan pelayan keluarga itu sudah berserakan menjadi mayat. Maka diapun cepat turun tangan menyambar tubuh Kui Eng yang setengah pingsan itu dan melarikannya ke luar kota.

“Harap kau tenanglah, nona, karena sekali ini aku tidak memusuhi siapapun juga. Aku bahkan ikut bersedih melihat hancurnya keluargamu...”

Akan tetapi, Kui Eng tidak pernah merasa kenal kepada pemuda ini yang hanya diketahuinya pada pagi hari itu mengacau di gedung keluarganya, dikeroyok oleh para pengawal sampai ia datang dari jalan-jalan pagi dan menyerang pemuda itu, hanya tahu bahwa pemuda itu, dengan seorang kawan lain, telah mengacau, bahkan mendatangkan banyak kematian di antara para pengawal dan anak buah pasukan keamanan kota Tung-kang yang datang membantu. Tentu saja, melihat pemuda ini, biarpun kenyataannya tadi menyelamatkannya, ia menduga bahwa tentu ada hubungan antara penyerangan pemuda ini beberapa hari yang lalu dengan penyerbuan pasukan sekarang ini.

“Manusia busuk, sekaranglah saatnya kita membuat perhitungan!” bentaknya, dan dengan cepat Kui Eng sudah menyambar sepotong kayu dari dahan pohon yang berdekatan. Dengan kayu sebagai tongkat di tangannya, dara inipun menyerang kembali dengan dahsyat.

Melihat betapa sepotong kayu itu kini berobah menjadi sinar kehijauan dan ujungnya bergetar menjadi banyak sekali menyerang ke arah jalan darah di bagian depan tubuhnya, Ci Kong kaget bukan main. Inilah serangan maut yang amat berbahaya, pikirnya, dan cepat dia berloncatan mengelak. Akan tetapi, gadis itu terus mendesaknya dengan tongkat istimewa itu dan memang gadis itu telah mengeluarkan ilmunya yang paling hebat yang dipelajarinya dari Tee- tok, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)!

Ci Kong mengenal ilmu tongkat sakti, maka diapun harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang amat tangguh ini. Kedua lengannya seperti berobah menjadi baja sehingga setiap kali lengannya menangkis tongkat, Kui Eng merasa betapa lengannya yang memegang tongkat tergetar. Keduanya mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sama mahirnya sehingga tubuh mereka lenyap berobah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sinar tongkat hitam kehijauan yang mengeluarkan suara mendengung-dengung.

Diam-diam Ci Kong merasa kagum sekali. Ilmu tongkat ini hebat bukan main dan untung baginya bahwa gadis itu sudah kehilangan banyak tenaga, andaikata tidak, ia akan terancam bahaya maut karena ilmu tongkat itu aneh dan sukar dilawan. Andaikata tadi gadis itu menggunakan tongkat, kiranya akan lebih banyak korban yang roboh di pihak para pengeroyok dan mungkin tidak perlu dibantunya. Akan tetapi, pemuda ini adalah murid Siauw-bin-hud dan telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi-tinggi, sehingga dia masih mampu menghindarkan diri dan terpaksa untuk mengimbangi kedahsyatan serangan gadis itu, diapun kadang-kadang membalas dengan totokan-totokan untuk menghentikan serangan gadis itu.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment