“Baiklah kalau begitu, lihat seranganku, paman!”
Kui Eng menyerang dengan biasa saja, dengan pukulan ke arah dada orang. Melihat cara gadis itu menyerang, si kepala pengawal semakin memandang rendah. Kiranya gadis itu hanya memiliki kecepatan saja dan tidak memiliki kepandaian yang berarti, demikian pikirnya. Maka diapun cepat menangkis dengan mengerahkan sedikit tenaga saja, dengan harapan sedikit tenaga itu sudah cukup untuk memberi peringatan kepada gadis yang dianggapnya sombong itu.
“Dukk...!”
Ketika dua lengan bertemu, kepala pengawal itu terkejut bukan main. Lengan gadis itu lunak hangat, seperti tidak bertenaga, akan tetapi membuat lengannya tergetar hebat seperti diguncang! Maka, diapun cepat membalas dengan serangan kilat ke arah pundak kiri Kui Eng yang ditanparnya, dan sekali ini, tanparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang.
Ketika tadi bertemu lengan, Kui Eng tersenyum mengejek. Kiranya hanya sekian saja tenaga orang jangkung ini, pikirnya. Maka, begitu melihat lawan menampar pundaknya, suatu serangan yang dilakukan dengan sungkan- sungkan, dara inipun menangkis dengan mengerahkan sebagian sinkangnya. Tidak sekuatnya, melainkan sedikit saja, karena iapun tidak ingin mencelakai orang ini yang bersikap baik, tidak seperti guru silat tadi.
“Paman, siaplah menghadapi seranganku!” teriaknya, dan iapun kini menyerang dengan sungguh-sungguh, kedua tangannya membentuk kepala ular yang mematuk-matuk dan gerakannya itu didasari tenaga sinkang yang amat kuat.
Kepala pengawal itu terkejut bukan main. Dia melihat betapa kedua tangan lawannya seperti berobah menjadi banyak, sukar sekali diikuti dengan pandang mata. Dia berusaha sekuatnya untuk menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi gerakan gadis itu terlalu cepat, ilmu silatnya terlalu aneh. Kui Eng belum mengenal kehebatan ilmunya sendiri karena ia belum pernah berkelahi dengan orang lain dan ia tadi salah kira, menganggap bahwa lawannya itu tangguh sekali. Kini, serangkaian serangannya tidak dapat dihindarkan lagi mengenai sasaran dan pundak kanan lawan itu terkena patukan tangan kirinya dengan keras sekali.
“Krekkk...!”
Kepala pengawal itu mengeluh dan roboh terkulai dalam keadaan pingsan! Patukan tangan kiri Kui Eng itu bukan saja mematahkan tulang pundaknya, akan tetapi juga menembus lebih dalam lagi, menggetarkan isi dada dan membuatnya roboh pingsan! Kui Eng terkejut bukan main.
“Ohh... maaf, paman...!” katanya, akan tetapi dara itu berdiri bingung karena melihat bahwa lawannya itu telah pingsan.
Tak disangkanya sedemikian mudahnya ia merobohkan lawan yang disangkanya amat tangguh itu. Memang tangguh lawan itu, akan tetapi ia tidak dapat membayangkan bahwa kepandaiannya jauh lebih tinggi dan ia jauh lebih tangguh lagi.
Peristiwa ini tentu saja mendatangkan perasaan makin tidak senang di hati Wang Taijin. Dia tadi menyuruh kepala pengawalnya untuk memberi pengajaran kepada gadis Ciu yangsombong itu, akan tetapi siapa kira bahwa dalam beberapa gebrakan saja, jagoannya tidak hanya kalah, bahkan pingsan dan agaknya menderita luka parah! Dengan alis berkerut, kepala daerah Kanton ini melihat betapa jagoannya diusung turun dari atas panggung di bawah tepuk tangan para tamu yang memuji tuan rumah. Kini semua orang memandang kagum, karena secara berturut-turut, dua orang jagoan telah dirobohkan dalam waktu cepat sekali oleh gadis cantik itu.
“Aha, benar hebat nona Ciu Kui Eng!” tiba-tiba terdengar suara parau, dan seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut sudah meloncat naik ke atas panggung.
Melihat laki-laki berusia limapuluh tahun lebih dan berpakaian sebagai seorang perwira tinggi ini, Kui Eng cepat memberi hormat dengan ramah, merendah. Tentu saja ia mengenal Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan di Kanton yang sudah lama menjadi sahabat baik ayahnya, dan yang dikenalnya sejak ia masih kecil. Memang pada akhir-akhir ini Ma-ciangkun jarang datang berkunjung ke Tung-kang, akan tetapi hubungan antara perwira itu dan ayahnya masih tetap baik. “Nona Ciu, akupun ingin main-main sebentar dengan engkau yang amat lihai!”
“Ah, Ma-ciangkun harap engkau jangan main-main. Mana aku berani melawanmu?”
Ma Cek Lung ini memang mempunyai watak mata keranjang. Kecantikan Kui Eng yang sejak kecil dikenalnya itu telah membuat penyakitnya kumat, yaitu berlagak setiap kali bertemu wanita cantik. Apalagi sikap Kui Eng yang seolah-olah merasa sungkan kepadanya, yang dianggapnya sebagai sikap takut melawannya! Maka diapun tertawa bergelak sambil membusungkan dadanya dan akibatnya yang busung adalah perutnya. Dia sendiri menganggap sikapnya gagah, akan tetapi sebenarnya bagi orang lain hanya melihat perwira itu berkakakan dengan perut besar menonjol ke depan dan terguncang- guncang.
“Ha-ha-ha, nona Ciu, ilmu silatmu begitu lihai, jangan merendahkan diri. Melihat betapa sekarang engkau telah memperoleh kemajuan hebat, aku ingin sekali mencoba-coba. Mari, jangan bersikap sungkan, bukankah kita hanya mengadakan permainan bersama seperti latihan saja?”
Dia tertawa-tawa dengan sikap sombong sekali, seolah-olah sia seorang guru besar yang hendak memberi petunjuk dan latihan kepada seorang murid.
“Baiklah, Ma-ciangkun,” kata Kui Eng.
“Ma-ciangkun, harap jangan bersikap keras kepada puteriku!” tiba-tiba terdengar CiuWan-gwe berteriak kepada perwira yang menjadi sahabat baiknya itu.
Perwira Ma itu menoleh ke arah tuan rumah dan tertawa lebar.
“Heh-heh, jangan khawatir, aku akan bersikap lunak sekali terhadap puterimu!”
Dengan lagak yang gagah, Ma Cek Lung lalu memasang kuda-kuda di depan gadis itu sambil berkata.
“Nona Ciu, mari kita mulai. Kausambutlah seranganku yang pertama.”
Dengan sikap gagah dan pengerahan tenaga yang kuat, Ma Cek Lung membuka serangannya dengan pukulan tangan kanan ke arah pundak gadis itu. Memang perwira ini memiliki tenaga besar dan juga ilmu silatnya sudah termasuk lumayan. Akan tetapi dasar perwira mata keranjang yang sudah tergila-gila melihat wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan dari Kui Eng, pukulannya itu berobah menjadi colekan ke arah bawah pundak, jadi ke arah dada gadis itu! Tentu saja Kui Eng menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa perwira itu akan menyerang seperti itu.
“Heh-heh!”
Ma Cek Lung sudah menyusulkan serangan tangan kirinya yang kembali melakukan colekan ke arah perut bawah! Ini sudah keterlaluan sekali, dan Kui Eng menjadi marah bukan main. Jelaslah bahwa perwira yang menjadi sahabat ayahnya ini hendak kurang ajar, apalagi melihat mulutnya menyeringai genit lalu terdengar desisnya berbisik, ‘Kau manis sekali...!’ dan susulan tangan kanannya yang kembali mencolek ke arah dada.
“Keparat!”
Kui Eng mendesis di antara giginya, dan dengan cepatnya, tubuhnya mengelak dan kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor kepala ular mematuk. Ma Cek Lung tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Seperti sebuah arca batu, perwira Ma itu berdiri dengan tubuh agak merendah, tangan kanan dengan jari-jari seperti akan mencengkeram dan tangan kiri mencengkeram ke bawah, yaitu posisinya ketika hendak mencolek bawah perut dan dada tadi! Melihat betapa perwira tinggi besar itu kini diam seperti arca dalam keadaan kaku, semua orang terkejut! Para ahli maklum bahwa perwira itu telah menjadi korban totokan jalan darah yang amat hebat. Dan perwira itu tertotok dalam waktu baru dua tiga jurus saja! Sungguh sukar dipercaya ini, karena semua orang tahu bahwa Ma Ciangkun adalah seorang perwira tinggi, kepala pasukan keamanan Kanton yang tentu saja memiliki ilmu silat tinggi!
Kui Eng juga sadar bahwa ia tadi terlalu menurutkan hati yang marah karena sikap ceriwis dan kurang ajar dari komandan itu, maka kini melihat betapa perwira itu kaku oleh totokannya, iapun sadar bahwa tidak baik membikin malu perwira tinggi yang menjadi sahabat ayahnya ini. Maka iapun cepat menggerakkan kedua tangannya membebaskan totokan itu.
“Ma-ciangkun, maafkan aku...!” katanya lirih.
Ma Cek Lung dapat bergerak kembali. Mukanya menjadi merah sekali dan dia menjadi marah bukan main. Dia, kepala pasukan keamanan Kanton, yang biasanya ditakuti orang, kini dihina oleh seorang gadis muda di depan begitu banyak orang bahkan di depan para pembesar. Dia memang mata keranjang, akan tetapi kini dia dikuasai kemarahan yang memuncak sehingga dia lupa segala.
“Singgg...!”
Perwira ini sudah mencabut pedangnya dan mengancam dengan mengamangkan pedangnya di atas kepala.
“Bocah sombong, berani kau menghinaku?”
Dan tanpa banyak cakap lagi, perwira yang marah ini sudah menyerang Kui Eng dengan pedangnya. Hebat sekali serangan itu dan semua orang terbelalak karena merasa khawatir dan tegang, sama sekali tidak mengira bahwa pi-bu persahabatan itu berobah menjadi kemarahan sang perwira yang kini menggunakan pedang menyerang dengan sungguh-sungguh. Ciu Wan-gwe sendiri memandang dengan muka pucat, tidak tahu harus berbuat apa menghadapi peristiwa itu dan tentu saja dia khawatir sekali akan keselamatan puterinya.
Pedang itu menyambar dahsyat ke arah leher Kui Eng. Agaknya, di dalam kemarahannya karena merasa terhina, Ma-ciangkun hendak memancung leher Kui Eng! Akan tetapi, pedang itu hanya mengenai angin saja, karena dengan cepat sekali Kui Eng telah mengelak dengan langkah ke belakang.
“Ciangkun, ingatlah...!”