"Tahan dulu....!"
Serunya sambil melompat ke belakang. Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti. Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali.
"Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu."
Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam.
Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun. Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya. Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata,
"Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja."
Pek Lan mengerutkan alisnya.
"Engkau memandang rendah kepadaku?"
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata,
"Aih, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat."
Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu.
"Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!"
Dan iapun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali. Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya. Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan. Kalau Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. In sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja! Bong Gan juga kagum.
Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan tongkatnyapun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya. Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu! Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya.
Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah berahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
"Plakkk!"
Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tak bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas. Bong Gan tersenyum.
"Nona, engkau sungguh cantik jelita...."
Pek Lan juga tersenyum.
"Dan engkau perayu besar!"
"Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu...."
Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya.
Ia menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu bertemu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas rumput! Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mereka lewat kemesraan yang panas. Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.
"Kau.... kau.... Bong Gan....?"
"Kau.... Pek Lan....? Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduenya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga marasa girang sekali!
"Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku...."
"Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!"
Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpakea harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina! Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.
"Ada apakah, Pek Lan, kekasihku?
"Aku.... amat rindu kepadamu...."
Bong Gan berbisik, terengah-engah.
"Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?"
Tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja. Bong Gan tersenyum lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan percumbuan mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal itu.
"Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku."
"Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali."
"Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!"
Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang penuh nafsu berahi. Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
"Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,"
Kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan.
"Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kau ceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertem, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta."
"Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,"
Kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu.
"Dan engkau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?"
"Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya."
"Hemm, siapakah musuh besarnya?"
"Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok."
Pok Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
"Pendekar Bongkok? Dia....?"
Kalau gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi berubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
"Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?"
"Mengenalnya....?"
Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit.
"Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?"
"Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya."
"Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan,"
Kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya. Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.
"Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya...."
"Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!"
"Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lasha."
"Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!"