Ia menengok dan terkejut sekali melihat pemuda yang menunggang burung rajawali itu sambil terkekeh-kekeh menyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya seperti seekor burung mempermainkan tikus! Ia menjadi marah dan maju menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali turun menyambar.
"Tranggg....! Bukk!"
Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget dan rajawalinya memekik kesakitan dan terbang tinggi.
Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki yang menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar, sedangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha ra-jawali itu. Wan Keng In yang sudah memeriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak terduga-duga dia telah mendapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari ibunya, tidak mau menempuh bahaya menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai itu, apalagi kini rajawalinya terluka berat, sebelah kakinya buntung dan bercucuran darah sedangkan pahanya juga terluka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya akan kuat membawanya terbang ke Pulau Neraka, maka ia lalu menyuruh rajawalinya terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.
Maharya menyumpah-nyumpah.
"Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia membawa lari ularku!"
"Dan Lam-mo-kiam juga dirampasnya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita bunuh saja dia!"
Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun Beng yang masih duduk bersila mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.
"Jangan!"
Tiba-tiba Maharya berteriak dan Tan Ki menahan pedangnya, me-noleh dan memandang gurunya dengan heran.
"Mengapa? Apakah Guru menaruh kasihan kepada bedebah ini?"
"Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap dan Lam-mo-kiam juga hilang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru benar-benar mampus, ha-ha-ha!"
Tan-siucai tertawa geli.
"Maksudmu bagaimana, Guru?"
"Begini!"
Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya diserang, akan tetapi tubuhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.
"Cusss! Cusss!"
Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang pinggang, kanan-kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan sesuatu, hanya rasa pegal di tempat yang ditotok.
"Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan hawa kundalini, dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha!"
Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua kali totokan gurunya itu tidak membuat Bun Beng kesakitan.
"Terlalu enak kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksanya tanpa membunuhnya."
Gurunya mengangguk.
"Asal jangan kau pergunakan sin-kang agar tidak membunuhnya, sesukamulah."
"Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pendekar Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!"
Tan-siucai mengayun kakinya, tanpa menggunakan tenaga sin-kang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.
"Ngekkk!"
Biarpun tidak menggunakan sin-kang, namun tendangan yang keras itu membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.
"Desss!"
Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepala sehingga bangkit duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.
"Desss!"
Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru. Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng, menendang keras sekali.
"Krak! Krak!"
Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya terlepas! "Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita kejar bocah perempuan itu!"
Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali.
Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apalagi ketika tampak beberapa ekor burung gagak hitam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu, agaknya mereka sudah mencium bau mayat dan darah. Bun Beng sadar dan membuka matanya ketika ia merasa pipinya sakit seperti ditusuk-tusuk pedang. Betapa mendongkol dan marah hatinya ketika ia melihat dua ekor burung gagak mematuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mematuki mayat-mayat, makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu.
Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan belas orang itu telah menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambungan lutut kedua kakinya terlepas dan nyeri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia mengeluh dan bangkit duduk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Kemudian ia menggerakkan kedua tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu. Dia harus pergi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung. Mereka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi bulu matanya ia berbisik,
"Sahabat-sahabatku sekalian, aku ber-sumpah kalau masih dapat sembuh dan hidup, aku akan membalas kematian kalian kepada Maharya dan Tan Ki."
Kemudian ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku tulang terasa seperti ditusuki jarum. Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu? Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri, pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biarpun dia mati, tentu Pendekar Super Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti.