Pendekar Bunga Chapter 04

NIC

"Nah, cepat kau pergi ambil pelana kudamu yang telah butut itu! Tetapi awas, kau jangan coba-coba ingin mencari barangku, walaupun hanya satu potong." Namun Eng Song sudah tidak mau banyak rewel, dia telah mengangguk saja, walaupun hatinya mendongkol bukan main mendengar perkataan hartawan itu.

13 Kolektor E-Book Dengan menahan sakit pada muka dan tubuhnya akibat siksaan yang diterimanya, Eng Song telah cepat-cepat kembali kekamarnya.

Dia telah mengambil pelana kuda warisan ayahnya.

Sedangkan hartawan she Bie itu juga bersama kedua tukang kepruknya telah mengikuti dibelakangnya, mereka juga telah meninggalkan lapangan rumput itu.

Karena mereka takut kalau-kalau nanti Eng Song akan mengambil sepotong dua potong barang milik hartawan kaya raya ini.

Dengan hanya membawa pelana kuda bekas itu, Eng Song telah meninggalkan kota itu.

Sedangkan uang yang tiga tail pemberian dari Bie Wanggwe tidak diambilnya.

? ? ooo O ooo ? ? ????????? 1 ????????? DENGAN HATI penuh kedukaan Eng Song telah melakukan perjalanan meninggalkan kota itu, karena dia anggap terlepasnya dia dari tangan Bie Seng Kian Wanggwe itu memang jauh lebih baik.

Sebab dirinya tentu tidak akan menderita lagi disiksa terus menerus oleh hartawan kaya raya tetapi bengis dan licik itu.

Menjelang sore hari, maka Eng Song telah tiba diluar kota Pay-hoa-kwan, sejauh dua puluh lie.

Tetapi waktu itu dia tidak melihat ada sebuah rumah disekitar tempat tersebut.

Keadaan sunyi sekali.

Si bocah memandang sekelilingnya, dia melihat ditepi jalan terdapat rerumputan yang agak tebal.

Maka bocah ini telah menghampiri tempat itu.

Direbahkan tubuhnya yang penat bukan main, didalam waktu yang sangat singkat, dia telah tertidur pulas.

Lapar yang dirasakan pada perutnya tidak diacuhkan, karena si bocah memang telah kenyang terlalu menderita sekali dalam usianya yang masih muda.

Angin malam yang membuat Eng Song jadi menggigil kedinginan, memaksa di tengah malam itu dia jadi terbangun dari tidurnya.

Keadaan disekitar tempat tersebut sangat sepi dan gelap sekali.

Sebagai seorang bocah cilik seperti Eng Song, jelas dia jadi takut dan ngeri.

Tetapi akhirnya dia nekad.

"Akhhhhh, paling tidak aku hanya dimakan binatang buas!" pikirnya.

"Itu lebih baik kalau dibandingkan dengan jatuhnya ditangan manusia berhati serigala seperti hartawan she Bie yang jahat itu!!" Dan dia merebahkan lagi tubuhnya, dia memejamkan matanya.

Pelana kuda peninggalan mendiang ayahnya dipergunakan untuk bantal kepalanya.

Tetapi hawa udara yang dingin menusuk tulang dimalam hari dalam keadaan udara terbuka itu, membuat Eng Song tidak bisa tidur dengan baik.

14 Kolektor E-Book Berulang kali dia dikejutkan oleh suara yang membuat dia sering terbangun dan duduk.

Tetapi selama itu Eng Song tidak melihat makluk apapun juga disekitar dirinya.

Mungkin juga suara-suara yang sering didengarnya itu adalah suara binatang buas yang berada dalam hutan yang memang tidak jauh letaknya dari tempat itu.

Karena beberapa kali dia memaksakan dirinya untuk tidur, dan selalu gagal, maka akhirnya Eng Song telah duduk saja dibatu itu.

Dia duduk termenung mengingat akan nasibnya yang sangat buruk.

Coba kalau dia masih mempunyai ayah dan ibu, tentu tidak ada orang yang berani menghina dirinya.

Dan pedih sekali hatinya teringat akan hal itu.

"Namun aku harus berusaha untuk menjadi manusia yang kuat dan tangguh, aku harus berusaha mencari seorang guru yang pandai, guna membalas sakit hati ayahku!! Nanti kalau aku sudah dewasa, aku akan mencari musuh besar ayah...!!" pikiraya dengan semangat yang menyala-nyala.

Dan pikiran serupa itu telah membuat Eng Song jadi berani untuk menerima kesengsaraan yang bagaimanapun juga.

Maka dia telah menghela napas berulang kali.

Tetapi dikala dalam kesunyian seperti itu, tiba-tiba Eng Song dikejutkan oleh suara orang yang menegurnya dengan lembut : "Apa yang kau pikirkan nak....?" Eng Song saking kagetnya sampai melompat berdiri dan membalikkan tubuhnya.

Dia melihatnya seorang lelaki tua dengan jenggot yang panjang dan telah memutih itu, tengah berdiri dengan senyuman yang ramah padanya.

Eng Song jadi gugup sekali, dia bertanya tergagap : "Si...

siapa paman?" Orang tua itu telah tersenyum.

"Aku seorang pengelana yang tidak menentu tempat tinggalku...!" katanya.

"Dan kau nak......

mengapa didalam kegelapan malam seperti ini kau keluyuran? Apakah kau sedang dimarahi orang tuamu, sehingga ngambul dan melarikan diri? Itu bukan sifat yang baik.....! Pulanglah kembali kerumah orang tuamu, kau tidak tahu keadaan diluar sangat berbahaya sekali.....

banyak orang jahat, dan juga binatang buas! Dimana rumahmu, biar kakek yang akan mengantarkan kau pulang....!" Mendengar perkataan si kakek yang begitu lembut dan halus, dan juga mengandung kasih sayang, hati Eng Song jadi terharu sekali.

Sejak kematian kedua orang tuanya, kakek inilah pertama kali yang memberikan kasih sayang dengan sikapnya yang begitu ramah.

Sedangkan hari-hari sebelumnya, Eng Song selalu memperoleh perlakuan yang kasar dan siksaan-siksaan yang sangat kejam dari Bie Seng Kian Wanggwe dan orang-orangnya.

Tanpa terasa air matanya mengucur deras dan dia hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa dapat menjawab.

Kakek tua itu yang melihat si bocah menangis begitu, jadi terkejut.

"Ihhhh.....

mengapa kau menangis nak? Ada suatu kesulitan?" sabar sekali suaranya.

Hati Eng Song jadi tambah berduka dan sedih saja, tangisnya semakin keras.

Si kakek tua telah menghela napas, dia menghampiri, dan mengelus rambut si bocah.

15 Kolektor E-Book "Anak.....

hentikanlah tangismu, jangan membuat kakek jadi ikut sedih........!" katanya sabar.

"Nanti kalau kakek sudah bersedih hati dan ikut menangis, kau tidak mungkin menghentikan tangis kakek yang akan panjang selama dua hari dua malam!" Mendengar perkataan orang tua yang sabar itu, Eng Song jadi kaget dan agak lucu.

"Pa......

paman kalau menangis selalu dua hari dua malam" tanyanya sambil menyusut air matanya.

Orang tua itu telah tersenyum sabar sambil mengangguk.

"Benar nak......

aku selalu akan menangis dua hari dua malam....

maka dari itu, kau jangan menangis, nanti kakek bisa ikut-ikutan bersedih...!!" kata si kakek tua itu.

"Nah, kau ceritakanlah, kesulitan apa yang tengah kau hadapi, mungkin juga kakek bisa menolongnya....!" Memperoleh sikap yang begitu menyayang dan penuh kasih, maka hati Eng Song jadi menyukai orang tua ini.

Dia menceritakan semua pengalamannya dan keadaan dirinya yang sebenarnya.

Mendengar itu wajah si kakek jadi berobah muram.

"Hemmmmm....

manusia seperti Bie Wanggwe benar-benar bukan manusia, tetapi serigala yang berkedok menusia! Bayangkan saja, seorang anak yatim piatu yang tengah kesusahan, malah harta miliknya telah diserakahi begitu....!" dan dia menghela napas berulang kali.

Tetapi kemudian dia menyambungi kata-katanya lagi : "Biarlah nak....

harta di dunia ini tidak ada gunanya...

yang terpenting adalah hati kita yang kaya akan kasih dan sayang sesama manusia...!" Eng Song mengangguk sambil mengucapkan terima kasih atas kata-kata si kakek tua itu.

"Ya paman...

aku juga tidak menyesali rumah dan barang-barang mendiang ayahku itu jatuh ditangan hartawan jahat itu, tetapi yang membuat aku suka bersedih, mengapa didalam usia sekecil ini aku harus menghadapi percobaan hidup yang sangat berat?" Mendengar perkataan Eng Song, kakek tua itu telah tersenyum.

"Bukannya percobaan hidup yang terlalu kejam, tetapi keadaan dilingkunganmu! Lagi pula setiap manusia yang menerima percobaan hidup dengan nasib yang buruk, malah lebih baik, karena jiwa dan pikirannya telah tergembleng, sehingga suatu saat dia memperoleh kebahagiaan didalam dunia ini dia tidak lupa pada sesamanya yang masih dalam keadaan sengsara dan menderita...!" Kakek itu sesungguhnya telah mengeluarkan kata-kata Kongfucu, tetapi disebabkan dia melihat yang diajak bicara itu hanyalah seorang bocah, maka kata-kata itu telah diperingan olehnya, agar dimengerti oleh Eng Song.

Namun tidak di sangka-sangka Eng Song telah berkata.

"Kata-kata paman itu adalah Kongfucu dari kitab May Fung, bukan?" kata Eng Song kemudian.

Dan bunyi dari kata-kata itu selengkapnya demikian....!" dan Eng Song telah menghafalnya diluar kepala.

Tentu saja kakek tua itu jadi terkejut.

Dia sampai melengak seperti orang kesima.

Namun akhirnya dia tertawa.

"Hebat kau anak!" katanya dengan girang.

"Di dalam usia sekecil ini kau ternyata telah dapat menghafal kata-kata berat seperti itu!" Hati Eng Song girang memperoleh pujian dari si kakek tua tersebut.

16 Kolektor E-Book "Mendiang ibu yang telah mengajariku!" kata Eng Song kemudian.

"Oh...! Kalau kakek boleh tahu, siapakah mendiang ayahmu itu?" "Ma Wie An...! menjelaskan Eng Song.

Kakek tua itu telah mengeluarkan suara seruan tertahan.

"Ma Wie An yang bergelar It Kun Kiehiap?" tanyanya dengan suara mengandung perasaan terkejut.

Eng Song yang melihat sikap kakek tua itu, jadi terkejut pula.

Tetapi dia telah mengangguk.

"Be..., benar paman....

apakah ada sesuatu yang tidak beres?!" tanya Eng Song.

Kakek tua itu telah menghela napas panjang, wajahnya jadi murung.

"Aku tidak menyangka sama sekali, bahwa It Kun Kiehiap bisa mati muda begitu di celakai orang! Siapakah yang telah mencelakainya." "Giok Bian Gin Kiam!" menjelaskan Eng Song.

Gelaran orang yang membunuh ayahnya itu memang selalu diingat benar oleh Eng Song.

"Hemmmm.....

iblis itu memang memiliki tangan yang telengas sekali....

didalam rimba persilatan, entah sudah berapa banyak korban-korbannya yang berjatuhan." Dan berulang kali dia menghela napas.

Eng Song mengawasi si kakek tua itu, sampai akhirnya dengan wajah berduka, kakek tua itu telah berkata : "Anak...

sesungguhnya mendiang ayahmu itu merupakan seorang pendekar yang sangat baik sekali! Lima tahun yang lalu, kakek pernah menerima pertolongannya! Walaupun pertolongan itu kecil, namun sampai mati aku akan mengingatnya! Waktu lima tahun yang lalu itu, disuatu malam hujan salju, aku tengah dikejar-kejar oleh musuhku yang tangguh tangguh dan memiliki kepandaian yang tinggi sekali...

Posting Komentar