merah yang terbang berkelompok ke arah dia berdiri! Dia merasa heran dan kagum sekali. Binatang itu warnanya sungguh merah cerah, seperti warna pakaian para wanita tadi ! Dan kalau saja tidak mendapat peringatan susiok couwnya, dia tidak akan percaya bahwa binatang kecil mungil yang indah warnanya itu dapat membunuh manusia dengan sengatannya. Kini lebah-lebah itu sudah datang dekat dan tiba-tiba, seperti dikomando saja, mereka menyerbu ke arah Ci Kong !
Pemuda itu melompat jauh menghindarkan diri, akan tetapi betapapun cepatnya gerakan tubuh pemuda itu, mana mungkin dia dapat mengalahkan lebah-lebah itu dalam hal kecepatan gerakan? Ci Kong mulai kewalahan, karena kemanapun dia melompat, lebah-lebah itupun mengejarnya dengan kecepatan yang mengerikan dan suara mereka berdengung itu, ditambah lagi dengan pengetahuan bahwa sengatan mereka mematikan, makin membuat hatinya merasa serem dan ngeri. Dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mulailah dia mengebut ke sana sini, ke arah lebah-lebah yang menyerangnya.
Memang hebat kebutan kedua tangan Ci Kong. Gerakan tangannya mengandung tenaga pukulan yang mematikan dan lebah-lebah yang terkena sambaran angin pukulan telapak tangannya, terlempar atau terbanting dan tewas seketika. Akan tetapi, lebah-lebah itu terlalu banyak dan menyerangnya dari atas kepala sampai ke kaki, mana mungkin dia dapat menyambut mereka semua dengan kedua tangannya. Dia bergidik ketika merasa ada benda menyentuh leher bagian tengkuk dan cepat tangannya bergerak menangkis. Lebah yang berhasil menyusup itu tidak keburu menyengatnya, sudah mati terpukul tangan Ci Kong.
Akan tetapi pengalaman ini membuat Ci Kong maklum bahwa hanya dengan kedua tangannya saja, dia tidak akan mampu menyelamatkan diri. Maka dia lalu menanggalkan bajunya dan memutar bajunya itu. Lebah-lebah itu tentu saja terdorong oleh angin yang ditimbulkan oleh pemutaran baju itu dan mereka menjadi kacau balau. Akan tetapi, hal ini agaknya tidak membuat mereka menjadi jerih, bahkan mereka menjadi marah, menyerang makin liar. Begitu hebatnya serangan mereka sampai ada beberapa bagian baju Ci Kong berlubang ketika mereka terjang!
Ci Kong melihat betapa hanya angin kebutan baju itu yang mampu mendorong lebah-lebah itu, maka ia menggunakan akal. Dia tidak memukul dengan bajunya, melainkan memutar bajunya sedemikian rupa sehingga timbullah angin berputar yang menggulung lebah-lebah itu. Sekali masuk ke dalam putaran angin yang ditimbulkan oleh putaran baju, lebah-lebah itu tidak lagi mampu menguasai diri sendiri dan tergulung atau terlibat ke dalam putaran angin hanya terbang berputaran dengan kacau. Ci Kong bermaksud menggulung mereka sedemikian rupa, lalu membungkus dengan bajunya.
Usahanya berhasil. Makin cepat dia memutar bajunya, angin putaran itu semakin kuat dan lebah-lebah itu semakin cepat pula terputar dan akhirnya, begitu Ci Kong menggerakkan baju menelungkup ke arah kelompok lebah, binatang-binatang itu kena ditangkapnya di dalam gulungan bajunya! Beberapa ekor lebah yang luput dan berada di luar gulungan baju, karena tiba- tiba kehilangan semua kawannya, menjadi bingung dan ketakutan, lalu terbang pergi.
Suara berdengung di dalam gulungan baju itu nyaring sekali, dan Ci Kong sudah tersenyum. Kini sekali banting saja bajunya ke atas tanah, lebah-lebah di dalamnya akan mati semua.
“Tahan...!
Tiba-tiba terdengar bentakan halus ketika dia sudah mengangkat bajunya yang berisi lebah-lebah itu ke atas. Ci Kong menahan gerakannya, menoleh dan melihat seorang wanita yang diikuti oleh duabelas orang wanita Cap-ji-kiam tadi.
“Si-cu, paicu kami minta agar engkau suka mengampuni lebah-lebah itu,” kata wanita bertahi lalat di dahinya.
“Hemm, bagaimana aku dapat melepaskan lebah-lebah jahat ini? Begitu dilepas dia akan menyerangku dan mungkin mencelakai orang lain.”
“Lepaskan dan aku tanggung mereka tidak akan menyerang siapapun juga,” katanya. Diapun mengeluarkan sebuah bumbung bambu dan mengangkatnya ke atas.
Ci Kong yang mendengar bahwa wanita ini adalah ketua Ang-hong-pai, mempercaya kata-katanya, dan diapun mengebutkan bajunya. Baju terbuka dan lebah-lebah merah itupun terpental keluar. Sejenak mereka beterbangan kacau, lalu berkumpul lagi di udara dan tiba-tiba mereka terbang cepat ke arah bumbung bambu yang dipegang oleh ketua Ang-hong-pai. Seperti sekelompok kanak-kanak yang pulang sehabis bermain-main, mereka berebutan memasuki lubang di bumbung itu. Wanita baju merah itu lalu menutup bumbung dengan kayu berlubang-lubang kecil dan menyerahkan bumbung itu kepada wanita bertahi lalat di dahi. Kemudian ia menoleh dan menghadapi Ci Kong sambil berkata.
“Murid Siauw-lim-pai, biarpun masih muda akan tetapi sungguh lihai.”
Kemudian ia melangkah ke arah Siauw-bin-hud dan memberi hormat dengan sikap sopan.
Sejak tadi, Siauw-bin-hud hanya menonton saja cucu muridnya berjuang melawan Cap-ji-kiam, kemudian melawan rombongan lebah merah, sambil tersenyum girang karena dia melihat kegagahan dan kecerdikan pemuda itu. Ketika muncul ketua Ang-hong-pai, dia sudah siap untuk menjaga keselamatan cucu muridnya. Dia sudah mengenal ketua ini, seorang wanita yang amat lihai dan berbahaya. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak bermaksud buruk. Sambil tertawa, diapun bangkit berdiri dan membalas penghormatan ketua Ang-hong- pai itu.
“Aha, ketua dari Ang-hong-pai sungguh lihai, dapat mengalahkan usia agaknya! Sudah lewat puluhan tahun masih nampak muda saja,” kata Siauw- bin-hud.
Memang mengagumkan sekali ketua Ang-hong-pai itu. Usianya kini ada enampuluhan tahun, akan tetapi masih tetap cantik, ramping dan orang akan menyangka bahwa usianya paling banyak tigapuluh tahun saja!
Pai-cu itu tersenyum manis.
“Dan Siauw-bin-hud tetap seorang locianpwe yang tidak pernah susah agaknya. Dibandingkan dengan aku, Siauw-bin-hud jauh lebih muda dan selalu bergembira lahir batin, sedangkan aku... ah, hanya lahirnya saja nampak muda, akan tetapi batinnya sudah tua sekali!”
Siauw-bin-hud tertawa dan lebih berhati-hati. Wanita ini, setelah kurang lebih tigapuluh tahun tidak dijumpainya, ternyata semakin cerdik dan berbahaya saja. Kata-katanya sudah matang dan siapa yang dapat menduga isi hati wanita ini?
“Pai-cu, engkaupun maafkanlah cucu muridku yang telah berani menentang hadangan Cap-ji-kiam dan tawon-tawon merahmu.”
“Sudahlah,” wanita itu menarik napas panjang dan memandang kepada Ci Kong.
“Orang-orang macam kita yang sudah berkecimpung di dalam dunia persilatan, kalau tidak bertanding dulu mana dapat saling mengenal? Karena tadi yang maju pemuda ini, maka murid-muridku dan lebah-lebahku berani keluar mencoba-coba. Kalau engkau yang keluar, siapa sih yang akan berani kurang ajar? Sesungguhnya, apakah maksud kedatangan locianpwe ke tempat kami yang buruk?”
“Omitohud... tempat ini indah, semua tempat di seluruh pelosok dunia ini indah sekali, sayang dibikin buruk oleh perbuatan-perbuatan manusia. Pai-cu, seperti sudah kami katakan kepada murid-muridmu tadi, pinceng berkunjung bukan bermaksud buruk, melainkan ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Theng Ci, karena pinceng ingin menanyakan sesuatu darinya.”
“Theng Ci...? Murid kepala di sini?” Wanita itu mengangguk-angguk.
“Ia sedang berlatih dan mungkin dalam waktu dua atau tiga jam lagi selesai. Mari, locianpwe, dan engkau orang muda, silahkan naik dan menanti di tempat kami. Ji-wi (kalian berdua) menjadi tamu-tamu Ang-hong-pai yang terhormat.” “Omitohud... engkau terlalu baik, pai-cu, kami sama sekali tidak menduga akan hal ini. Bagaimana kalau kami menanti saja di sini sampai murid kepala Ang-hong-pai itu selesai latihan dan keluar menemui kami di sini?”
“Aihh, locianpwe… apa akan kata orang di dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa Ang-hong-pai menyambut tokoh besar Siauw-lim-pai di lapangan rumput saja? Kemana mukaku yang buruk ini akan kusembunyikan? Marilah, mari, tamu-tamuku yang terhormat, mari ikut dengan kami.”
Ci Kong memandang kepada susiok-couwnya yang mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, akan tetapi Ci Kong melihat betapa sepasang mata yang lembut dari susiok-couwnya itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya aneh. Diapun dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang menarik, akan tetapi karena dia melihat kakek itu sudah melangkah mengikuti rombongan orang Ang-hong-pai, diapun terpaksa mengikuti kakek itu dari belakang.
Ketika memasuki pintu gerbang tembok yang mengelilingi perkampungan Anghong-pai, kemudian diajak masuk ke dalam ruangan dari bangunan terbesar, Ci Kong merasa kagum bukan main. Tak disangkanya bahwa di puncak bukit sunyi itu, terdapat perkampungan yang amat indah, penuh dengan bangunan-bangunan mungil dan taman-taman bunga yang amat indah teratur, dan terutama sekali setelah memasuki ruangan gedung tempat tinggal ketua Ang-hong-pai, dia menjadi bengong karena ruangan itu amat hebat! Layaknya menjadi ruangan di dalam istana puteri-puteri dalam dongeng saja. Jelaslah bahwa Ang-hong-pai amat kaya raya. Lantainya licin seperti kaca, ruangannya terhias perabot yang serba mahal dan indah, sutera-sutera halus bergantungan, periuk-periuk kuno yang serba aneh dan indah, hiasan-hiasan batu giok yang mahal, lukisan-lukisan yang pilihan. Akan tetapi dia melihat betapa susiok-couwnya memasuki ruangan itu seperti memasuki sebuah ruangan kuil atau sebuah guha belaka, sama sekali tidak nampak heran atau kagum, masih tetap tersenyum-senyum seperti biasa.
“Silahkan duduk, silahkan...!” kata wanita itu dengan ramah.
“Sambil menanti selesainya Theng Ci, kita ngobrol sambil menikmati hidangan sekedarnya.”
“Omitohud, engkau terlalu sungkan, terlalu menghormat, sehingga kami merasa tidak enak hati dan mengganggu saja, paicu.” Siauw-bin-hud berkata sambil tersenyum lebar.
“Ah, tidak, locianpwe, dan jangan khawatir, aku tahu bahwa locianpwe dan cucu muridnya ini tentu tidak makan barang berjiwa, juga tidak minum arak. Kami akan menghidangkan makanan dan minuman yang bersih.”
Tanpa menanti jawaban tamu-tamunya, ketua ini lalu menyembunyikan sebuah genta yang terbuat dari pada emas sehingga terdengar amat gemercing nyaring. Bukan main, pikir Ci Kong. Genta kecil itu saja sudah merupakan benda yang luar biasa mahalnya!
Tak lama kemudian, beriringan datanglah lima orang wanita berpakaian merah yang membawa baki-baki terisi masakan masakan. Bau gurih sedap memenuhi ruangan itu. Seorang di antara mereka membawa baki terisi guci- guci kecil terbuat dari pada batu giok! Mangkok-mangkok besar terisi masakan sayuran-sayuran yang beraneka warna memenuhi meja di hadapan mereka.