Halo!

Kuda Putih Menghimbau Angin Barat Chapter 21

Memuat...

Bernapsu mereka bertiga mencari sampai Aman lupa membuat tanda di tempat-tempat yang mereka lewatkan, hingga untuk sementara, sukar dibedakan mereka telah kembali ke tempat yang telah dilewatkan itu atau belum. Juga mereka tidak dapat melihat rata ke depan, karena kedudukan istana rahasia itu ada di lamping gunung, jadi ada kalanya kedudukannya tinggi, ada kalanya pun sangat rendah hingga orang mesti berdiri di tempat yang tinggi untuk dapat memandang ke bawah itu. Oleh karena wuwungan adalah bagian atas dari gunung, orang tidak dapat melihat dari atas. Orang tidak bisa naik ke atas wuwungan, yang sebenarnya tidak ada, sebab yang dinamai wuwungan mirip lelangit lauwteng.

Aman menjadi sangat berkuatir-.. dan berduka hingga air matanya berlinang-linang. Sia-sia Supu membujuki dan menghibur. Saking ruwetnya pikirannya itu, nona itu sampai tidak memanggil-manggil pula ayahnya.

Mereka lagi berjalan terus ketika dengan mendadak mereka mendengar suara keras di tembok sebelah kamar: "Eh, Cherku, kenapa kau membacok aku?"

Ketiga muda-mudi itu mclcngak. Itulah suaranya Suruke.

Segera terdengar suaranya Cherku: "Kau--- kau bikin apa ini?"

Setelah itu kuping mereka mendengar suara beradunya senjata tajam, disusul pula oleh bentakan-bentakan kemarahan Suruke dan

Cherku saling ganti. Mereka ini bertiga girang berbareng kaget dan kuatir.

"Ayah!" Aman berteriak. "Jangan berkelahi …Jangan berkelahi!"

Di kanan mereka tidak ada pintu, maka Supu lari ke kiri. Ia bermaksud menghampirkan ayahnya dan Cherku, sang paman itu, untuk melihat, guna memisahkan mereka. Sebab aneh mereka itu bertempur satu dengan lain. Hanyalah, pintu yang ada teras menerus di sebelah kiri, dengan begitu, ia bukan tiba ke kamar sebelah itu, ia justeni pergi semakin jauh... Bun Siu dan Aman mengikuti, mereka pun tidak berdaya. Maka kemudian mereka lari balik. Justeni itu mereka dengar, dari kamar di sebelah itu, jeritan yang menyayatkan hati dari Suruke, lantas sunyilah segala apa. Mereka kaget bukan mam.

Supu menjadi seperti kalap, dia lompat menubruk dengan pundaknya. Tapi ia gagal. Pintu itu kuat sekali dan tak bergeming.

Aman yang terliti memasang mata. Ia melihat sebuah batu di pojokan, yang agaknya terlepas, maka ia menghampirkan itu, ia mencekalnya, lantas ia menarik. Ia gagal. Ia lantas dibantu Bun Siu dan Supu. Kali ini mereka berhasil, dengan begitu, dari bekas lolosnya batu itu, mereka bisa mengintai ke kamar sebelah sana. Supu bekerja terus membongkarnya, hingga ia dapat memasuki tubuhnya, molos dari liang itu.

"Ayah! Ayah!" ia memanggil berulang-ulang.

Segera juga pemuda ini nampak apa yang hebat. Di kamar sebelah itu terlihat tubuh seorang rebah di lantai, di dadanya menancap sebatang golok panjang. Ia mengenalinya, ia lompat menubruk, untuk mengangkat. Atau ia mendapatkan ayahnya itu telah putus jiwanya!

"Ayah! Ayah!” ia berteriak-teriak, sambil menangis.

Bun Siu dan Aman menyusul masuk, mereka berdiri diam di samping Supu. Mereka bingung dan berduka. Supu mencabut galat di tubuh ayahnya itu. Itulah goloknya Cherku.

"Supu..." Aman memanggil seraya ia menarik tangannya si pemuda. Ia niat menghibur, hanya tak tahu ia harus mengatakan apa.

Supu tengah sangat berduka dan gusar, tangannya melayang ke arah si nona sambil mulutnya menanya bengis: "Mana ayahmu? Mana ayahmu?"

Ketika itu di mulut pintu nongol kepala dari satu orang, yang tubuhnya terlihat hanya bagaikan bayangan. Cuma sejenak, kepala itu lantas ditarik pulang, terus dia lari pergi. Walaupun sejenak, itu sudah cukup untuk Supu guna mengenali orang adalah Cherku yang mukanya berlumuran darah, Supu berteriak, tubuhnya bergerak, niatnya memburu.

"Supu!" memanggil Aman, tangannya menarik.

"Lepas!" bentak si anak muda. "Supu" kata si nona, "aku mau bicara; sepatah kata saja."

"Baik! Bilanglah!" kata Supu, mendongkol.

"Ingatkah kau aturan kaum kita tentang perkelahian perseorangan?" tanya Aman.

Supu mengertak gigi. “Ingat!**sahumya kaku. Dengan lantas pula wajahnya tampak kesangsian

Bangsa Kazakh bangsa gagah, di antara mereka, asal benterok, perselisihan biasa diakhiri dengan menghunus senjata. Demikian di antara kaumnya Supu, yang termasuk golongan Tiehyen. Dulunya kaum ini gemar sekali berkelahi, lama-lama, jumlah pria mereka jadi tinggal sedikit, sebaliknya, wanitanya tambah banyak, berlebihan. Maka itu, melibat ancaman bahaya itu bahwa golongannya akan kekurangan pria, selang seratus tahun yang lalu satu ketuanya mengadakan aturan untuk mencegahnya. Ialah: "Siapa membunuh orang, hukuman atasnya hukuman mati." Biarnya orang piebu, yaitu bertempur satu sama satu dengan cara terang, ancamannya tetap hukuman mati. Karena adanya hukuman ini, pertempuran menjadi dapat dicegah, pertambahan anggauta pria lantas bertambah. Aturan ini, aturan lisan, dituturkan oleh setiap orang tua kepada anak- anak muda, agar semua orang mengetahuinya. Maka itu, aturan itu ditaati turun-temurun.

Aman menangis, ia kata: "Ayahku telah kesalahan membunuh ayahmu, dia bakal diadili oleh, tertua-tertua kita yang akan menghukumnya, maka itu kau.. jangan kau membunuh ayahku."

Nona ini bingung bukan main. Ia menginsafi kesalahan ayahnya, kalau ayah itu sampai dihukum, bercelakalah ia. Sedangnya ia bingung ini, sekarang ia melihat sikapnya Supu. Ia bisa mengerti yang pemuda ini hendak menuntut balas. Biar bagaimana, tidak ingin ia si pemuda melakukan pelanggaran pula seperti ayahnya itu.

Supu memandang mayat ayahnya. Ia pun menginsafi aturan, yang keras itu.

"Baik," katanya, "aku tidak akan bunuh ayahmu. Aku cuma hendak menangkapnya!"

Lantas anak muda ini lari, mulutnya berkaokan: "Cherku! Kau hendak kabur ke mana?" Tidak lagi ia memanggil paman.

Tiba-tiba datang jawabannya Cherku: "Aku di sini! Kenapa aku mesti kabur?"

Cherku berada tidak jauh dari situ. Dia benar berlepotan darah pada mukanya.

Dengan golok di tangannya dia berdiri tegar, romannya bengis.

Supu menghampirkan. Ia membawa goloknya tetapi senjata itu ia tidak lantas menggunakannya. Cuma obor di tangan kirinya, yang ia tancapkan di pasir. Ia kata dengan keren: "Letaki senjatamu! Aku tidak akan bunuh kau!"

"Kenapa aku mesti meletaki senjataku?" Cherku membaliki. "Hm! Apakah kau mengira kau dapat membunuh aku?"

Bun Siu dan Aman menyusul. Mereka mendapatkan dua orang itu berdiri berhadapan dengan masing-masing senjatanya di tangan, roman mereka bengis, sikap mereka tegang.

"Ayah, sukalah kau lepaskan golokmu," berkata Aman kepada orang tuanya itu. "Supu telah berjanji tidak akan membunuh kau..."

"Kau suruh dia meletaki senjatanya!" kata Cherku dengan jumawa. "Aku juga berjanji tidak akan membunuh dia!"

"Benarkah kau tidak hendak melepaskan senjatamu?" tanya Supu bengis, hatinya panas. "Mungkinkah kau benar hendak membunuh aku?"

Cherku tertawa berkakak "Kau, bocah, kau memikir untuk membunuh aku?" dia kata, mengejek. "Jikalau kau mempunyai kepandaian, nah, kau cobalah!"

"Kenapa kau membunuh ayahku?" tanya Supu sengit. Ia berteriak. "Aku... aku hendak menuntut balas untuk ayahku itu!"

Belum lagi Cherku menyahuti ketika mendadak ada angin bertiup keras, hingga obor padam seketika. Hingga ruang menjadi gelap petang. Tibanya sang gelap gulita itu dibarengi sama bentakan dari kemurkaan dari Supu, disusul sama benteroknya senjata, disusul pula dengan robohnya tubuh Cherku...

"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!" Aman berteriak- teriak, kuatimya bukan main.

Bun Siu sendiri lantas berdaya menyulut api. Setelah obor menyala pula, terlihat Cherku rebah dengan tubuhnya tertancap golok. Dia mati sama seperti matinya Suruke. Di situ Supu berdiri diam dengan tangan kosong, dia menjublak saja.

Aman lantas menubruk mayat ayahnya, ia pingsan. Bun Siu maju, guna menolongi nona itu.

Sebentar kemudian, Aman tersadar. "Bagaimana, Aman?" tanya Supu, menghibur.

Aman gusar. Ia menjawab sengit: "Kau telah membunuh ayahku! Semenjak hari ini, jangan kau bicara pula denganku!" Ia mencabut tusuk kondenya, terus ia mematahkannya, terus ia melemparkannya ke tanah.

"Aku tidak membunuh ayahmu!" berkata Supu, menyangkal.

"Kau masih menyangkal?" kata Aman, sengit sekali. Dia menuding kepada golok di dada ayahnya Dia kata pula: "Apakah itu bukan golokmu? Jikalau bukannya kau yang membunuh ayahku, habis apakah aku? Ataukah kakak Kang?"

Supu terdesak hingga ia tidak dapat bicara, kepalanya tunduk.

Oood~wooO

Didalam suku Kazakh bagian Tiehyen itu ada tiga orang tertuanya. Mereka telah mengadakan sidang di mana mereka mendengari tuduhannya Aman serta penyangkalan atau keterangannya Supu, setelah itu mereka berunding sekian lama. Keputusan mereka dinantikan oleh orang-orang bangsanya.

Selang sekian lama, ketua yang usianya paling lanjut, yang kumisnya telah ubanan, berbangkit dari kursinya, lalu dengan suara nyaring dan tenang ia mengasih dengar perkataannya: "Adalah aturan dari kaum kita semenjak seratus tahun yang lampau yang melarang pembunuhan di antara kita sendiri, bahwa siapa membunuh, hukumannya ialah hukuman mati. Supu telah membunuh Cherku, maka itu dia harus dihukum mati!"

Semua orang berdiam sambil berduduk.

Post a Comment