Kisah Si Bangau Merah Chapter 94

NIC

Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di derah yang tandus dan gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup jauh dan mereka harus melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur. Oleh karena itu, sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama minuman karena menurut keterangan dalam peta, di daerah itu, mereka tidak akan dapat menemukan makanan atau minuman bersih. Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan makin dalam mereka memasuki daerah itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat hidup di tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biarpun daerah itu masih cukup tinggi namun hawanya panas sekali.

Mengerikan kalau melihat ke sekeliling sedemikian sunyinya. Apalagi manusia, seekor binatang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu merupakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya burung terbang. Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan mengerikan. Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk dan karena sinar matahari menyengat kulit dengan hebatnya, Sian Li mengajak suhengnya untuk berhenti dan beristirahat sebentar di gubuk itu dan untuk makan roti dan minum air bekal mereka. Sebuah gubuk yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh, tanpa dinding, hanya atap dan empat buah tihang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar yang dapat mereka jadikan tempat duduk.

"Lihat, ada tulisan di sini,"

Kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekat batu di mana mereka duduk. Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat ukir-ukiran beberapa buah huruf yang agaknya dibuat dengan menggunakan senjata tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang pandai menulis dan mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka lalu meneliti tulisan itu dan membacanya.

Andaikata aku seorang raja,

Aku rela menukar kerajaanku

untuk segelas air jernih!

Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup. Sian Li dapat membayangkan keadaan Si Penulis itu. Tentu dia seorang yang kehabisan air, sedang kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali. Betapa berharganya segelas air jernih kalau sedang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga daripada sebuah kerajaan! Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia. Berlimpah-limpah sudah anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Betapa nikmatnya, betapa pentingnya, betapa berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian mudahnya. Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua anugerah yang berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.

Namun sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan segelas air, nafsu angkara murka membisikkan celaannya mengapa tidak ada anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan mengecewakan. Nafsu memang tak menganal puas, tak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun itu masih terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat lagi. Segala yang tidak ada, yang belum terjangkau tangan, selalu akan nampak lebih indah, lebih nyaman dan lebih menyenangkan daripada apa saja yang sudah kita miliki. Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah,

Sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan berarti lalu mandeg dan lunglai, bersandar kepada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak! Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar, sekuat tenaga sekuat kemampuan. Ini berarti menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggauta tubuh, hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencukupi semua kebutuhan hidup. Bukan demi meuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di dunia ini. Dan apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri kita,

Kita terima tanpa mengeluh! Semua kehendak Tuhan jadilah! Kita hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tidak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha, walaupun Tuhan sudah menyediakan tanahnya, airnya, udaranya, sinar mataharinya, benihnya. Kita harus membantu mengerjakan semua itu, mencangkul tanah, menanam benih, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui makanan. Sian Li tertawa dan ia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isarat kepada suhengnya untuk makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoinya tertawa lalu tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.

"Eh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?"

Dia mengamati wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah mata yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti. Betapa manisnya wajah sumoinya! Sian Li tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya.

"Tulisan ini yang membuat aku tertawa,"

Katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf itu.

"Apanya yang lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku mengharukan dan menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?"

"Bukan karena lucu, Suheng, melainkan karena senang dan gembira. Tulisan ini menyadarkan aku betapa bahagianya diriku. Di tempat ini aku tidak kehausan dan kelaparan, bukankah saat ini aku jauh lebih berbahagia dibandingkan seorang yang kaya raya seperti raja namun kehausan dan tidak mempunyai air?"

"Engkau benar, Sumoi. Akan tetapi, andaikata yang menulis ini benar seorang raja, aku yakin dia tidak akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja yang kehausan di tempat ini dan tidak mempunyai air? Tentu dia akan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mencarikan air minum untuknya."

Sian Li mengangguk.

"Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka dia menulis seperti ini. Manusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang aneh-aneh, kalau sedang menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya."

Sian Lun mengangguk.

"Manusia selalu dipermaihkan oleh keinginannya, padahal yang diinginkan di dunia ini selalu berubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang raja yang sakit mungkin mau menukar kerajaannya dengan kesehatan dan keselamatan nyawanya, akan tetapi dalam keadaan sehat, dia akan mempertahankan dan memperebutkan kedudukannya dengan taruhan nyawa!"

Setelah melepaskan lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa menit mereka melarikan kuda, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Sian Li yang berada di depan, menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun menahan kudanya pula dan mereka melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda mereka dari arah belakang dan melewati mereka. Rombongan itu terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berwajah bengis menyeramkan. Ketika mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang menjadi anak buah Lulung Lama, Sian Lun segera berkata kepada sumoinya,

"Sumoi, mari kita kejar mereka!"

Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu, akan tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, ia pun terpaksa melakukan pengejaran.

"Suheng, tahan dulu....!"

Serunya ketika ia dapat menyusul suhengnya. Sian Lun menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.

"Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?"

Tanyanya.

"Aih, bagaimana-kah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-mata yang mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?"

"Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan. Akan tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apalagi kita sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, juga engkau harus ingat bahwa kini kita tidak berada di daerah Bhutan lagi, melakukan daerah Tibet."

Mendengar ucapan sumoinya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia mengangguk maklum, lalu berkata,

Posting Komentar