Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa Si Raksasa Hitam itu amat kuat dan memiliki sin-kang yang ampuh dan dapat menandingi kekuatan cucu Pendekar Sakti dari Pulau Es itu! Gangga Dewi melolos sabuk sutera putihnya dan cepat membantu suaminya dan suami isteri itu kini mengeroyok Lulung Ma. Gangga Dewi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun sudah menghunus sepasang pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma juga sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh dan dahsyat, yaitu sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi sirip-sirip tajam dan berwarna kuning keemasan. Sementara itu, pemuda jangkung tukang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja Sian Lun segera menyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk!"
Pertemuan dua lengan membuat Sian Lun hampir terjengkang maka mengertilah Sian Lun bahwa pemuda jangkung itu benar seperti dugaannya tadi, bukan orang sembarangan dan memlliki tenaga sin-kang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga otot dan tulang, tenaga kasar. Pemuda jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam pertemuan tenaga pertama kali tadi, Sian Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu, gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke depan dan sambil mengeluarkan bentakan, ia sudah menyerang dengan ilmu yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong dan yang paling disukainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang).
"Keparat, jangan menjual lagak di sini!"
Bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si Pemuda Jangkung terkejut. Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik tiga kali.
"Nona Merah cantik sekali. Mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet,"
Pemuda itu berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga pandai bicara dan lincah. Wajah gadis itu menjadi semerah pakaiannya, matanya melotot dan tanpa banyak cakap lagi Sian Li sudah menerjang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat berbahaya. Sian Lun juga membantu sumoinya dan pemuda ini bahkan sudah mencabut pedang dan menyerang pemuda jangkung dengan ganasnya. Si Pemuda Jangkung terkejut.
Kiranya dua orang pengeroyoknya itu amat berbahaya, maka setelah berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya, yaitu sehelai sabuk rantai baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia memutar senjata itu dan dua batang pisau menyambar-nyambar ke arah Sian Li dan Sian Lun bagaikan dua ekor burung walet menyambari belalang. Sian Li juga sudah mencabut pedangnya dan bersama suhengnya, ia mengeroyok pemuda jangkung. Bagaimanapun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang murid dari Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es yang paling tangguh, maka sebentar saja dia sudah terdesak hebat dan kedua pisau di ujung rantai bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan lawan.
Lulung Ma ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang besar bersirip itu selain dapat dipegang kedua tangan untuk menangkis dan menghantam lawan, juga dapat dia lontarkan ke arah lawan. Gelang itu berputar menyambar ke arah lawan, dan kalau lawan mengelak, gelang itu berputar dan membalik kembali ke tangannya. Beberapa kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambaran senjata yang istimewa itu. Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, keturunan orang-orang sakti, maka betapapun dahsyatnya permainan sepasang gelang atau roda di tangan Lulung Ma, tetap saja mereka dapat mempertahankan diri, bahkan serangan balasan mereka pun seringkali membuat Lulung Ma menjadi repot sekali.
"Kepung tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!"
Gangga Dewi berteriak lantang. Mendengar aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu lalu serentak maju mengepung dan mengeroyok.
Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan kedua orang pembantu mereka tadi, yaitu Badhu dan Sagha yang melakukan perlawanan. Para pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berkelompok di sudut dengan ketakutan. Penonton menjadi panik, apalagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke tengah penonton. Beberapa orang penonton roboh dan ketika Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Sian Lun dan Sian Li melakukan pengejaran, empat orang itu telah lenyap di antara penonton. Para pemusik ketika ditanya, menjawab dengan ketakutan bahwa mereka tidak tahu, bahkan tidak mengenal empat orang itu. Pamimpin rombongan itu, seorang kakek yang lemah, akhirnya mengatakan bahwa dia terpaksa menerima empat orang itu sebagai anggauta rombongan.
"Kenapa engkau menerima mereka?"
Gangga Dewi bertanya.
"Hamba takut menolak, mohon Paduka mengampuni hamba...."
Kata kakek itu ketakutan.
"Hamba sama sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pemberontak, tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang Nepal yang hendak mengacau."
"Katakan, bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu,"
Kata pula Gangga Dewi.
"Pada malam hari ketika hamba menerima perintah untuk meramaikan penyambutan terhadap Paduka, hamba didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya hamba mengenal dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama, seorang pemimpin dari para pendeta Lama Jubah Hitam di Tibet. Adapun pemuda jangkung itu adalah muridnya, seorang peranakan Han-Tibet yang bernama Cu Ki Bok. Mereka itu.... aughhh....!"
Sian Li yang bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang terbang dan menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan di antara penonton. Ia mengejar terus, akan tetapi karena banyak penonton yang kembali menjadi panik dan lari ke sana-sini,
Ia kehilangan jejak bayangan itu. Akan tetapi melihat bayangan itu bertubuh jangkung, ia dapat menduga bahwa bayangan yang melempar pisau membunuh kakek pemimpin rombongan pemusik yang sedang memberi keterangan itu tentulah pemuda jangkung pemukul tambur yang lihai tadi. Ketika ia kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa mampu melanjutkan keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju dan ia mengajak suaminya dan dua orang muda-mudi itu untuk segera melanjutkan perjalanan ke kota raja Thimphu karena ia harus segera melaporkan semua hal yang terjadi itu kepada raja agar dikerahkan pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan jaringan mata-mata orang Nepal dan Tibet yang agaknya bersekongkol itu.
Harus mengirim berita pula kepada Kerajaan Nepal dan para pimpinan Lama di Tibet tentang orang-orang Nepal Tibet yang hendak mengacaukan keadaan yang aman tenteram itu. Tan Sian Li dan suhengnya diterima dengan penuh keramahan dan kegembiraan oleh keluarga raja di Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga Dewi telah bersuamikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es pula! Sebentar saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Bangau Merah, julukan Sian Li. Selama seminggu tinggal di istana, kedua orang muda itu setiap hari dijamu dan disambut penuh kehormatan dan keramahan.
Setelah selama seminggu tinggal di istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun berpamit dari keluarga kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di mana mereka disambut sebagai tamu agung itu karena mereka harus sudah tiba kembali di rumah Suma Ceng Liong sebelum sin-cia (tahun baru). Selain itu, mereka juga ingin meluaskan pengalaman dan akan melakukan perjalanan pulang melalui daerah Tibet. Dengan hati yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Ia telah merasa amat sayang kepada dara yang lincah itu dan ia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata darinya. Selain itu, juga ia menyediakan dua ekor kuda terbaik untuk mereka. Akan tetapi ketika Gangga Dewi hendak menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li menolaknya.
"Kami berdua dapat menjaga diri sendiri, kenapa harus dikawal? Pula, pengawalan membuat perjalanan tidak menarik dan tidak leluasa,"
Demikian Sian Li menolak dan akhirnya, Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar keluarga kerajaan mengantar keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja. Selain mendapatkan hadiah emas permata yang amat berharga, dan dua ekor kuda terbaik, juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat.
Selain itu, Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati. Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenal tanda keluarga Raja Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya. Ternyata kemudian bahwa tanda kebesaran ini amat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan penuh penghormatan setiap kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu kalau ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.