Kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.
"Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing di gebuk atau, seekor babi yang hendak di sembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Kalau bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kau tandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanya merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"
Sian Li mengerutkan alisnya. Ia seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk.
"Ah, benar sekali pendapat Bibi itu. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombonganyang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terimakasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita tidak perlu melarikan diri."
Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh gerombolan itu dan Yo Han terluka. Andaikata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suhengnya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi. Tiba-tiba Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang.
"Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"
"Apa yang kau lihat?"
Tanya nyonya itu.
"Ada dua orang pendeta jubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."
"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"
"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."
"Jahanam!"
Sian Li mengepal tinju.
"Ternyata mereka memang hendak melakukan kecurangan!"
Nyonya Gak bersikap tenang.
"Sudah kuduga demikian. Ingat, kalau mereka mulai memperlihatkan kecurangan, hendak mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja dan kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biar Sin-ciang Tai-hiap yang keluar menandingi Ketua Hek I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apabila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul tiba-tiba nanti. Yo Han, kausambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."
Yo Han dan Sian Li kagum. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang berpengalaman. Bersikap tenang dan dapat mengatur segalanya dengan teliti dan tegas. Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tidak dapat percaya.
Inilah Sin-ciang Tai-hiap yang namanya menggetarkan dunia perbatasan itu! Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, dan Cu Ki Bok. Biarpun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, namun ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang,Yo Han yang kini telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu. Biarpun dia sudah menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apalagi yang muncul di depannya adalah Ketua Hek I Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, mem beri hormat dan membungkuk.
"Selamat datang, Jiwi Locianpwe."
Dia hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh! Pemuda itu memandang ke arah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Tai-hiap! Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau rada besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suhengnya bicara.
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud, kiranya Sin-ciang Tai-hiap, selain lihai ilmu silatnya, juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau dapat bekerja sama denganmu!"
"Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara tentang tantangan Ketua Hek I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?"
Dia menatap ke arah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu. Kakek tinggi kurus yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah,
Akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa diantara mereka semua, Ketua Hek I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu. Pandang mata Sin-ciang Tai-hiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andaikata dia tidak kalah sekalipun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suhengnya. Dobhin Lama yang tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Tai-hiap.
Tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan memesan agar sutenya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Kini dia sudah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun, Dobhin Lama tidak pernah bertemu lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa gembira dan timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.
"Omitohud....!"
Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah.
"Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Tai-hiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."
Yo Han melangkah maju mengha-dapi kakek bertongkat panjang itu dan dia pun memberi hormat.
"Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Akan tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."
"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"
"Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuang-an menentang penjajah Mancu!"
"Bagus, janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan diper-caya. Nah sekarang majulah, Sin-ciang Tai-hiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaian-mu sama tingginya dengan nama besarmu.."