Kembali Hwee Li berseru kaget dan sekali ini seruannya adalah karena dua hal, pertama karena dia merasakan keadaan pemuda itu yang sedang diamuk berahi dan kedua kalinya mendengar bahwa pemuda itu yang memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berbareng dengan seruannya itu, tangannya bergerak dan dua ekor kepala ular mematuk dari kanan kiri ke arah leher dan dahi Kian Bu.
"Heiii....!"
Kian Bu berteriak keras dan cepat dua tangannya menangkis dengan pengerahan tenaga.
"Plak! Plak! Bukkkkk....!"
Dua ekor ular itu ditangkis remuk kepalanya, akan tetapi tangan Hwee Li telah mendorong dadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kian Bu terguling jatuh dari atas punggung garuda! Untung bagi Kian Bu bahwa pada saat itu, mereka telah tiba di atas dasar tebing itu, tidak begitu tinggi lagi sehingga ketika dia terguling, dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan meloncat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di bawah itu dan menyambar cabang pohon sehingga dia dapat mendarat dengan selamat. Cepat dia lalu meloncat turun ke atas tanah dan peristiwa berbahaya itu sekaligus mengusir semua bayangan yang tadi membuat dia kehilangan kesadaran dan diamuk oleh nafsu berahi. Mukanya menjadi merah sekali ketika dia teringat dan dia melihat kini burung garuda yang ditunggangi oleh Hwee Li itu terbang berputaran di atas kepalanya.
"Kau laki-laki cabul! Kau laki-laki kurang ajar, tidak tahu kesusilaan dan kau laki-laki porno!"
Terde-ngar Hwe Li memaki-maki sambil menjenguk dari atas punggung garudanya, suaranya penuh dengan kemarahan.
"Dan engkau juga laki-laki kejam dan durhaka, memukul kakak sendiri!"
Kian Bu merasa malu bukan main mengingat apa yang terjadi di atas punggung garuda tadi. Tentu saja dara itu menjadi kaget kemudian menjadi geli dan jijik! Tentu saja dara itu merasa dan tahu bahwa dia diamuk berahi karena tubuh mereka begitu rapat seolah-olah dara itu tadi setengah dipangkunya!
"Nona.... kau maafkanlah aku...."
Dia berkata dengan pengerahan khikang sehingga suaranya pasti dapat terdengar dari atas punggung garuda yang terbang berputaran di atas kepalanya beberapa tombak tingginya itu.
"Engkau.... engkau begitu cantik dan kita duduk begitu berdekatan dan aku.... aku hanya orang lemah...."
Kian Bu menunduk, kemudian berkata lagi,
"Aku menyesal sekali, Nona. Percayalah!"
Pemuda ini memang benar-benar merasa malu dan amat menyesal mengapa dia tadi membiarkan saja pikirannya melamun dan mengingat-ingat hal yang dapat membangkitkan berahinya. Dia tidak tahu betapa di atas punggung garuda, Hwee Li yang marah-marah itu menjadi merah mukanya karena jengah atau malu teringat akan keadaan pemuda itu tadi yang duduk mepet di belakangnya sehingga pinggulnya dapat merasakan kebangkitan berahi pada pemuda itu.
Mendengar ucapan Kian Bu, diam-diam Hwee Li memuji kejujuran pemuda itu dan dia memang sudah memaafkannya karena bukankah sesungguhnya pemuda itu tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya? Kalau pemuda itu sudah menggerakkan tangan untuk merabanya misalnya, barulah hal itu dapat dianggap sebagai suatu kekurangajaran. Yang membuat dia penasaran adalah ketika mendengar betapa Siluman Kecil itu memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berahi yang timbul pada diri Siluman Kecil tadi bahkan membuktikan bahwa dia memang mempunyai kecantikan dan daya tarik istimewa sehingga seorang tokoh besar seperti Siluman Kecil, yang dia melihat sendiri menolak cinta kasih seorang gadis cantik jelita seperti Cui Lan, ternyata timbul berahinya terhadap dia!
"Aku tidak mau bicara tentang itu!"
Bentak Hwee Li dari atas dan dia membiarkan garudanya terus beterbangan perlahan mengelilingi pemuda itu.
"Akan tetapi engkau telah memukul Suma Kian Lee, padahal, dia kakakmu sendiri!"
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, lima enam tahun yang lalu,
Kim Hwee Li pernah bertemu dengan Suma Kian Lee ketika pemuda ini terluka pahanya oleh senjata rahasia peledak yang dilepas oleh Mauw Siauw Mo-li dan Kim Hwee Li yang ketika itu baru berusia sebelas dua belas tahun, telah menolong pemuda itu, menyembunyikannya dan mengobatinya. Melihat Suma Kian Lee yang tampan dan gagah, di dalam hati gadis kecil yang ketika itu baru menjelang dewasa, telah terdapat perasaan kagum dan memuja, dan Kian Lee merupakan pemuda atau pria pertama yang pernah menggoncangkan perasaan wanitanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa Kian Lee terluka parah dan yang memukulnya adalah pemuda yang mengaku adiknya itu sendiri, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Apa lagi, ketika menangkis serangan ular-ularnya tadi, Siluman Kecil telah memukul mati kedua ularnya!
Kian Bu mengerti bahwa hanya dengan bantuan gadis itu dia dapat mencapai dasar tebing, dan juga tanpa bantuan gadis dengan garudanya itu, agaknya akan sukar bahkan tidak mungkin baginya untuk mendaki tebing yang amat tinggi itu. Dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya terkurung di situ, akan tetapi kalau tidak dibantu, tentu dia akan terlambat sekali membawa obat untuk kakaknya. Maka dia mengambil keputusan untuk mengaku terus terang kepada gadis yang aneh itu. Siapa tahu gadis yang aneh itu mempunyai watak gagah yang dapat mempertimbangkan keadaan dengan adil. Buktinya gadis itu pun telah menghabiskan saja urusan yang timbul karena bangkitnya nafsu berahinya tadi, dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa gadis itu mempunyai kebijaksanaan dan kegagahan.
"Nona dengarlah baik-baik. Kakakku itu kena pukulanku karena kami berdua berkelahi dalam keadaan saling menyamar. Aku menyamar sebagai kakek-kakek dan dia menyamar sebagai seorang jagoan Gubernur Ho-nan sehingga kami tidak saling kenal dan saling serang. Setelah dia roboh dan penyamarannya terbuka, barulah kami saling mengenal. Melihat dia terluka parah, aku pergi ke sini untuk mencarikan obat penyembuhnya. Nah, terserah apakah engkau mau percaya atau tidak. Aku hendak mencari obat itu sekarang juga."
Dia lalu membalikkan tubuhnya dan tidak lagi mempedulikan nona itu, melainkan meneliti keadaan di situ untuk mencari anak sungai seperti yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya.
Biarpun dia maklum bahwa dia membutuhkan bantuan nona itu dan burung garudanya untuk dapat menyampaikan obat, kalau sudah ditemukannya, kepada kakaknya, namun bukanlah watak Suma Kian Bu untuk mengemis-ngemis bantuan orang. Maka dia pun tidak merasa kecewa ketika melihat burung itu terbang naik meninggalkan dirinya, dan dia melanjutkan penyelidikannya. Akhirnya ditemukanlah anak sungai tidak jauh dari situ dan tepat seperti yang digambarkan oleh kakek itu dari hwesio yang secara kebetulan menemukan tempat itu, dan Kian Bu cepat mengikuti aliran sungai kecil itu sampai anak sungai itu memasuki sebuah gua yang gelap. Tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu turun ke air sungai yang dalamnya hanya selutut itu karena untuk mengikuti aliran sungai dari tepi sudah tidak mungkin lagi sekarang.
Ketika dia hendak memasuki gua, dia melihat burung garuda itu menukik dan nona yang duduk di atas punggung burung itu memandang penuh perhatian, akan tetapi dia tidak mau mempedulikan lagi dan terus memasuki gua yang gelap. Dia tidak tahu berapa jauhnya dia menempuh jalan yang amat gelap dan sukar itu karena dia harus terus berjalan di dalam sungai dengan air kadang-kadang sampai sedalam dadanya dan dasar sungai itu kadang-kadang amat licin dan kadang-kadang penuh dengan batu-batu runcing. Akan tetapi, setelah melewati waktu yang agaknya tiada habisnya itu, akhirnya Kian Bu melihat cahaya terang di sebelah depan dan tibalah dia di daerah terbuka. Dia lalu mendarat di tepi sungai yang penuh dengan batu-batu besar hitam dan hatinya lega ketika dia melihat bahwa tempat itu terbuka,
Langit dapat kelihatan dari situ sungguhpun daerah itu merupakan sumur raksasa yang amat dalam dan sekeliling tebingnya terjadi dari dinding batu yang amat licin dan tidak mungkin sama sekali untuk mendaki naik. Akan tetapi di bawah dinding licin yang amat tinggi itu terdapat banyak batu-batu karang besar dan terdapat pula gua-gua yang besar dan hitam sehingga tempat yang terpencil itu kelihatan menyeramkan sekali. Kian Bu menjadi bingung. Menurut petunjuk Sai-cu Kai-ong, setelah tiba di tempat terbuka, dia harus memasuki sebuah gua karena di dalam gua yang katanya merupakan terowongan panjang itulah dia akan menemukan jamur panca warna yang akan menjadi obat bagi kakaknya. Akan tetapi gua yang mana? Dilihat dari tempat dia berdiri, agaknya di sekeliling tempat yang merupakan lambung gunung terhimpit tebing itu terdapat ratusan buah gua!
Mana dia bisa tahu gua yang manakah yang benar? Dia tidak menyalahkan Sai-cu Kai-ong karena kakek itu sendiri belum pernah tiba di tempat ini dan hanya mendengar dari orang lain. Tiba-tiba ada bayangan hitam didekat kakinya. Cepat dia melihat ke atas dan benar saja, jauh sekali di atas tebing tebing itu nampak titik hitam yang bukan lain adalah burung garuda tadi! Tentu saja seekor burung yang terbang dapat memeriksa keadaan sekeliling itu dan dapat menemukan "sumur raksasa"