Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan, meloncat maju. Ia masih ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.
"Pergilah."
Tangan kiri yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita terhuyung ke belakang, sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke arah kepala laki-laki suami wanita itu.
"Ahhhh....."
Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali tangan si perwira itu menyambar pundaknya.
"Krekkk."
Patahlah tulang pundak suami nyonya itu dan tubuhnya terpelanting roboh. Kakek itu meninggalkan tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan kemudian menghadapi si perwira yang bertolak pinggang, menjura dan berkata.
"Kepandaian Tai-ciangkun sungguh hebat sekali dan kami merasa beruntung dan berterima kasih telah mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan ini merupakan pengalaman dan pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk mengundurkan diri meninggalkan kota ini."
"Ha-ha-ha, nanti dulu, Kakek Tua. Kita telah bertanding dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa niat kalian untuk menarik persahabatan? Aku telah bertanding dengan puterimu, berarti aku telah menjadi sahabat pula, bukan? Nah, kulihat ilmu silat puterimu hebat. Malam nanti kami serombongan perwira hendak mengadakan malam gembira, maka sebagai sahabat, aku minta supaya puterimu sekarang juga ikut dengan aku untuk bantu meramaikan malam gembira itu."
Wajah kakek itu menjadi pucat.
"Maaf, Tai-ciangkun.... hal itu mana bisa dilakukan....?"
"Tentu saja bisa kalau mau."
Jawab Si Perwira.
"Aku tidak mau, Tai-ciangkun. Harap ingat bahwa aku adalah seorang isteri, seorang ibu...."
"Ha-ha-ha, beginikah harganya persahabatan kalian?"
Perwira itu mengejek dan dua orang perwira lain yang berada di bawah tertawa.
"Kami sudah bosan dengan gadis-gadis, sekali waktu diselingi seorang ibu muda tentu menggembirakan, ha-ha-ha."
Melihat sikap mereka, kakek itu maklum bahwa bahaya tak dapat dihindarkan lagi. Maka ia lalu berkata, nadanya tegas,
"Maaf, Tai-ciangkun. Kami sekeluarga tidak dapat memenuhi permintaanmu itu."
Perwira itu menggerakkan alisnya dan memandang kakek itu dengan mata disipitkan.
"Apakah ini berarti bahwa aku harus mengalahkan engkau dulu?"
Kakek itu maklum bahwa perwira berhidung bengkok ini lihai sekali. Melihat caranya mengalahkan puterinya dan merobohkan mantunya dengan sekali pukul ia tahu bahwa dia sendiri bukan tandingan si perwira. Akan tetapi, demi menjaga kehormatan puterinya dan nama baik keluarganya, ia memandang tajam dan berkata.
"Terserah penilaian Ciang-kun."
"Hemmm, engkau orang tua tidak memilih hidup enak, malah memilih kematian. Kalau begitu, bersiaplah kau untuk mampus."
Perwira itu melangkah maju dan pada saat itu berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus.
"Tunggu dulu....."
Perwira hidung bengkok itu menahan serangannya dan melangkah mundur, kemudian berdiri dan terpesona ketika melihat seorang pemuda remaja yang amat tampan telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang, sikapnya angkuh sekali seperti seorang jenderal, akan tetapi wajah yang tampan itu agaknya tidak bisa membayangkan kemarahan maka kelihatannya cerah dan berseri. Sepasang mata yang lebar dan bercahaya terang seperti sepasang bintang itu seolah-olah menembus dada menjenguk jantung.
"Pemuda"
Ini bukan lain adalah Lulu yang tak dapat menahan kemarahannya lagi menyaksikan lagak dan per buatan perwira itu.
"Eh, engkau ini siapakah dan mengapa menahan aku menghajar Kakek tak tahu diri ini?"
Si Perwira akhirnya berkata setelah pandang matanya puas meneliti seluruh tubuh pemuda yang berdiri angkuh di depannya itu.
"Engkau yang tak tahu diri."
Lulu membentak, mengejutkan hati semua orang termasuk kakek yang berdiri di belakangnya itu. Akan tetapi mereka semua makin terkejut dan khawatir lagi ketika pemuda tampan itu melanjutkan kata-katanya sambil menudingkan telunjuknya seperti hendak menusuk hidung yang bengkok itu,
"Engkau ini perwira macam apa, heh? Mengandalkan kepandaian untuk menghina wanita dan memukul rakyat, mengandalkan kedudukan untuk menindas rakyat. mentang-mentang menjadi perwira, apakah engkau lantas boleh menggunakan kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang? Apakah engkau dijadikan perwira untuk menginjak-injak rakyat? Seharusnya prajurit menjadi penjaga keamanan, akan tetapi engkau malah menjadi pengacau keamanan. Seharusnya perajurit menjadi pelindung rakyat, Akan tetapi engkau malah menjadi pengganggu rakyat. Kalau rekan-rekanmu di bawah itu tahu diri dan mengenal kewajiban, tentu engkau sudah diseret turun dari panggung ini dan menerima hukuman dari atasanmu."
Tidak hanya para penonton dan rombongan silat itu yang tercengang keheranan, juga Si Perwira sendiri berikut teman-temannya memandang dengan melongo. Sikap pemuda ini seperti seorang jenderal memarahi anak buahnya yang menyeleweng saja"
Perwira hidung bengkok menjadi curiga dan wajahnya berubah pucat. Ia menduga-duga akan tetapi tidak mengenal pemuda ini, maka ia lalu bertanya.
"Eh, pemuda yang lancang mulut. Siapakah engkau sebetulnya?"
"Aku rakyat biasa yang tidak sudi melihat adanya perwira macam engkau ini menghina rakyat yang tidak berdosa."
Sejenak perwira itu memandang, kemudian tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, pemuda liar macam engkau ini sungguh menggemaskan. Hemmm, ingin kupukul bibirmu sampai berdarah."
Ia menoleh kepada teman-teman di bawah panggung.
"Bagaimana kalau aku tangkap pemuda liar ini agar malam nanti dia menjadi badut meramaikan malam gembira kita?"
"Akur, Akur."
Teriak dua orang perwira dan para anak buahnya. Perwira hidung bengkok itu kembali menghadapi Lulu dan berkata mengejek.
"Kalian orang-orang Han memang sombong. Kalau aku menghina orang-orang Han, engkau mau apa?"
Kemarahan Lulu membuat mukanya menjadi merah. Dia muak menyaksikan sikap perwira bangsanya sendiri"
Ayahnya dahulu juga seorang perwira Mancu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ayahnya tidak jahat seperti orang ini.
"Mau apa? Mau apa kau tanya? Mau apa lagi kalau tidak menghancurkan hidungmu yang bengkok itu."
Bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri menyodok perut yang kanan mencengkeram leher"
"Wah-wah, ganas....."
Perwira yang memandang rendah gadis itu mengejek. Tangan kanan gadis itu datang lebih dulu ke lehernya, cepat ia tangkis dan tangan kiri gadis yang menyodok perutnya, hendak ditangkapnya seperti yang ia lakukan pada nyonya tadi. Akan tetapi, tiba-tiba ia mengeluarkan jerit mengerikan karena tangan kanan Lulu yang ditangkis itu tidak membalik, melainkan meluncur ke atas dan pada detik berikutnya, tangan gadis itu sudah menampar hidungnya yang bengkok.
"Dessss."
Perwira itu menjerit dan darah muncrat-muncrat dari hidungnya yang benar-benar telah hancur, bukit hidungnya lenyap dan remuk bersama tulang mudanya, dan kini hanya tinggal dua buah lubang yang penuh darah. Lulu mengayun kakinya dan tubuh perwira yang besar itu tertendang, terguling dari atas panggung, menimpa teman-temannya dalam keadaan pingsan.
"Pembunuh! Pemberontak! Tangkap."
Bentak dua orang perwira lainnya dan bersama sepuluh orang anak buah mereka, dengan marah mereka meloncat ke atas panggung dengan golok terhunus. Gegerlah tempat itu. Para penonton lari berserabutan saling tabrak, di antara mereka yang tidak keburu lari menjadi korban hantaman golok anak buah perwira yang seperti biasa dalam keadaan seperti itu memperlihatkan "kegagahannya"
Menyerang orang-orang yang tidak mampu membalas. Kini dua belas orang perajurit itu telah menerjang ke panggung. Melihat betapa "pemuda"
Yang perkasa itu terancam, kakek bersama puterinya cepat maju dengan pedang di tangan membantu. Bahkan kakek itu berseru,
"Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah pedang ini."
"Untuk melawan penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini, perlu apa menggunakan pedang, Lopek?"
Lulu menyambut mereka dengan tendangan-tendangan kilat dan dua orang perajurit pengawal roboh kembali ke bawah panggung. Karena maklum bahwa pemuda itu lihai, dua orang perwira segera memutar golok dan menyerang Lulu yang menggunakan kegesitan tubuhnya untuk berkelebat menghindarkan serangan-serangan golok mereka. Kakek dan puterinya menghadapi pengeroyokan anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu kakek itu, berdiri di sudut panggung dengan muka pucat.
Biarpun dalam hal ilmu silat Lulu belum dapat dikatakan seorang ahli, namun dia memiliki sin-kang yang amai kuat sehingga gerakannya cepat luar biasa dan tenaga dalamnya juga sukar dicari tandingannya. Hujan bacokan dua buah golok di tangan dua orang perwira itu selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira ini sebetulnya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira Hidung Bengkok tadi. Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang rendah Lulu, kiranya dia tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu, dan kehilangan hidungnya. Kakek dan puterinya bersilat dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, gerakan mereka cepat dan indah. Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah merobohkan dua orang pengeroyok. Lulu akhirnya berhasil pula menendang perut seorang perwira yang segera berjongkok menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas itu.