Dengan huncweenya, Tie Hong Liu menunjuk kepada sepuluh buah kereta-kereta harta karun. Dia kata: "Disana ada sepuluh peti besi, maka itu, kita baik majukan saja sepuluh orang masing-masing, dengan begitu, pertempuran pun berarti sepuluh kali juga, batasnya yaitu sampai saling towel saja, jangan kita meminta jiwa. Siapa menang satu kali, dia dapat satu peti. Tidakkah ini paling adil? Anggap saja kita sedang sempat, hitung-hitung kita berlatih di sini, untuk menambah pengetahuan, siapa dapati barang permata, dia dapat hadiah kepala. Siapa tidak peroleh pahala, jangan dia berkecil hati, karena toh asalnya bukan kepunyaan kita sendiri! Bagaimana jiewie pikir?"
Mendengar usul itu, Thia Ceng Tiok paling dulu nyatakan akur.
See Thian Kong juga nyatakan akur, karena ia pikir: "Biar aku antap setiap rombongan majukan orang- orangnya, umpama mereka masing-masing menang, itu pun memang hak mereka, tapi umpama mereka kalah, kekalahan mereka tidak ada ruginya untuk aku. Jikalau dari pihakku, aku sendiri yang keluar bersama Tam Lo-jie, pasti kita tidak akan kalah, tentu kita bakal dapat dua buah peti."
Sampai di situ, kedua pihak lantas balik kedalam masing- masing barisannya, yang pun berbareng mereka tarik pulang, setelah mana, mereka mulai pilih orang-orang sendiri yang bakal dimajukan dalam pertandingan.
Tie Hong Liu sendiri lantas perintah orang beri tanda dengan coretan huruf-huruf kepada sepuluh peti itu, alat pencoretnya adalah tanah lempung kuning.
Sin Cie dan Ceng Ceng antap saja orang cumprang- compreng peti mereka.
Thia Ceng Tiok lihat dua anak muda itu tenang-tenang saja, sedikit juga tidak tertampak mereka berkuatir, ia heran, karenanya, beberapa kali ia melirik ke arah mereka itu.
Kemudian kawanan berandal itu berkerumun mengurung Tie Hong Liu, yang menjadi seperti saksi atau wasit.
Mulanya pihak Shoatang majukan jagonya, disusul sama jago pihak Hoopak; mereka ini bertubuh besar dan kasar, terang mereka bertenaga besar, maka itu, perkelahian mereka seru. Pihak Hoopak kurang waspada, satu kali kakinya kena direngkas, dia jatuh, rubuh terbanting. Dia hendak bangun, untuk berkelahi pula. Tapi Tie Hong Liu, sang wasit, goyangi tangan padanya dan tulisan huruf "Lou" (Shoatang) pada peti pertama yang bertanda huruf "Kak", itu berarti pihak Shoatang yang rebut kemenangan pertama.
Pertandingan ini disambut dengan tampik-surak. Sebagai jagonya yang kedua, pihak Hoopak majukan seorang yang See Thian Kong kenal sebagai ahli tangan- pasir Tiat-see-ciang, maka itu, ia suruh ketua mudanya, Tam Ceecu, untuk layani musuh itu.
Kedua jago tak berbeda banyak kepandaiannya, tapi Tam Hu-ceecu lebih terlatih, selang beberapa puluh jurus, dia berhasil hajar lengan lawan hingga lengannya jago Hoopak itu tak dapat diangkat. Maka untuk kedua kalinya, pihak Shoatang yang menang.
Bukan main girangnya pihak Shoatang. Tapi di babak ketiga, keempat, kelima dan keenam, mereka kalah dengan beruntun, hati mereka juga goncang.
Kapan sampai waktunya babak ketujuh, kedua jago yang maju masing-masing bekal senjata.
Di pihak Shoatang maju ceecu dari Sat Pa Kong, bukit Sembelih Macan Tutul, yang bergegaman golok besar Poat- hong Kiu-hoan-too. Dia ini gagah, dia berhasil membacok sebelah bahu lawannya.
Melihat sampai di situ, Tie Hong Liu berpikir. Peti tinggal tiga buah, apabila ia tidak lantas turun tangan, dia bisa kehabisan, dia bakal dapat tangan kosong, maka ia ingin majukan orangnya sendiri guna layani pihak Ceng Tiok Pay. Dia anggap cukup asal ia dapatkan satu peti saja....
"See Lautee," kata dia pada See Thian Kong, sesudah dia berdehem-dehem, "pihak sana itu, makin lama jadi makin hebta, maka itu kali ini, biarlah aku yang sambut padanya."
See Thian Kong mengerti, wasit ini tak boleh pulang dengan tangan kosong, ia suka mengalah.
"Aku harap bantuan Tie Chungcu untuk lindungi nama baik kita," katanya. Tapi kapan telah sampai waktunya pihak Ceng Tiok Pay majukan jagonya, chungcu dari Cian-liu-chung jadi melongo, ia berdiri tercengang. Karena yang maju itu adalah A Kiu, si nona muda, yang umurnya tidak lebih dari lima-belas atau enam-belas tahun! Dan tangannya pun tidak menyekal senjata tajam, melainkan dua batang bambu yang kecil.
"Aku adalah satu jago Rimba Persilatan, mana dapat aku perhina diri dengan layani satu nona cilik?" pikir dia. Dia sudah maju beberapa tindak, atau mendadakan dia merandek, lantas dia kembali.
"Lautee, kau majukan lain orang saja," katanya pada See Thian Kong. "Aku nanti maju di babak lainnya. "
See Ceecu tahu, chungcu itu tidak mau lawan satu nona, maka ia serukan orang-orangnya: "Saudara yang mana yang mempunyai kegembiraan hati akan temani nona kecil itu memain?"
Segera maju satu orang yang tubuhnya tinggi dan romannya gagah, mukanya putih, senjatanya sepasang poan-koan-pit, gegaman mirip pit peranti menotok jalan darah. Dialah Cin Tong, ceecu dari Uy Sek Po, dia gemar pelesiran, dari itu dia ketarik sama si nona Thia, yang romannya cantik manis dan menggiurkan. Dia maju sambil menyahuti seruannya See Thian Kong.
Melihat orang yang maju itu, See Ceecu bersenyum. "Memang, di antara kita, lautee adalah yang paling
cocok!" katanya.
Cin Tong hendak banggakan kepandaiannya, dia berlompat ke depan si nona. Dia benar-benar bertubuh enteng, gesit sekali gerakannya. Diapun telah pikir untuk bicara dengan nona itu, untuk membikin senang hati si nona. Tapi, Baru saja ia menaruh kaki, atau tangannya A Kiu telah bergerak, bambu di tangan kanannya sudah sambut ia dengan satu tusukan, yang arah dadanya. Dia satu ahli menotok jalan darah, sudah wajarnya dia gesit, akan tetapi sekjarang, dipapaki secara demikian, dia terkejut sekali, tidak ayal lagi, dia menangkis dengan poankoanpit kiri. Tapi menyusul tangan kanannya itu, tangan kiri si nona menusuk secara cepat luar biasa sampai, saking sibuk, ceecu ini mesti tolong diri dengan jatuhkan tubuhnya untuk terus bergulingan di tanah, hingga kepalanya penuh debu, hingga dia keluarkan keringat dingin.
Semua berandal dari Shoatang terperanjat, mereka tak menyangka nona itu begitu muda tapi demikian liehay, malah Sin Cie dan Ceng Ceng turut merasa heran juga, hingga kedua pemuda dan pemudi ini saling melirik.
Cin Tong sudah berlompat bangun, akan layani pula A Kiu, dengan begitu, keduanya sudah mulai bertempur, hingga tertampak lebih jauh, nona Thia telah gunakan dua batang bambunya bagaikan tumbak, gegamannya itu lemas tetapi bisa dibikin kaku.
Dalam tempo yang pendek, Cin Tong telah kena dibikin berpikir keras, sebab kadang-kadang ujung bambunya si nona juga mencari jalan darahnya. Dia pun pikirkan apabila dia tak sanggup rubuhkan si nona, bagaimana dengan nama besarnya di Shoatang sebagai seorang ceecu yang kesohor? Maka dalam sibuknya, dia bikin perlawanan dengan sungguh-sungguh.
A Kiu berkelahi secara luar biasa. Satu kali ia renggang dari lawan, dengan bambu kiri dia menekan tanah, lalu tubuhnya mencelat naik, berlompat ke arah musuh, bambu kanannya, dari atas, menyerang turun; kapan serangannya ini gagal, bambu kanan itu diteruskan dibikin mengenai tanah, hingga di lain saat, tubuhnya mencelat naik pula, hingga sekarang ia bisa menyerang pula dengan tangan kiri.
Tak tahu Cin Tong, bagaimana dia harus layani penyerangan macam ini, karena sibuk, dia terpaksa main menangkis saja sambil saban-saban mundur. Tetapi A Kiu terus desak dia, hingga dia jadi repot sekali dan berkuatir dia tak dapat ketika, untuk balas menyerang. Dalam repotnya, tahu-tahu ujung bambu telah mengenai bahu kirinya, di bagian jalan darah "kin-ceng-hiat", maka tak ampun lagi, lengan kirinya jadi kaku, poankoanpitnya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah, berbareng dengan itu, mukanya jadi bersemu merah! Mau atau tidak, dia mesti mengaku kalah, dia mundur sambil tunduki kepala....
A Kiu antapkan lawan itu mundur, dia berniat undurkan diri, tapi segera ia tampak Tie Hong Liu bertindak menghampiri padanya sambil jago dari Cian-liu-chung itu terus berkata: "Nona, tunggu dulu! Nona sungguh liehay, benar-benar, di bawahannya satu jenderal perang ternama, tidak ada serdadu yang lemah! Umpama kata nona masih belum letih, aku suka main-main denganmu beberapa jurus. Bagaimana?"
A Kiu tertawa gembira.
"Sebenarnya aku belum memain!" sahutnya. "Jikalau Tie Pehhu hendak berikan pengajaran kepadaku, itulah baik sekali. Pehhu hendak gunai senjata apa?"
Tie Hong Liu tertawa.
"Orang tua layani anak kecil memain, mustahil aku mesti pakai gegaman?" katanya. "Aku akan bertangan kosong!"
Hong Liu telah saksikan orang bertempur, ia terperanjat akan dapatkan nona muda itu demikian liehay, hingga ia percaya, disebelah si nona, dipihaknya nona ini, mesti ada lain-lain orang yang tak kurang liehaynya, maka itu, dari sungkan turun tangan, dia pikir baik ia mendahului maju, akan rintangi nona ini, asal dia telah dapati sebuah peti, urusan lainnya boleh lihat belakangan....
Di pihak Ceng Tiok Pay, tiga orang hendak majukan diri, karena mereka kuatir si nona menjadi terlalu lelah, akan tetapi A Kiu besar nyalinya, dia beri tanda kepada tiga kawan itu sambil berkata: "Aku telah beri kata-kataku kepada Tie Pehhu!" Maka itu, tiga orang itu terpaksa mundur pula.
Tie Hong Liu bertindak dengan perlahan menghampirkan si nona di tengah-tengah kalangan, sembari bertindak, dia telah kerahkan semangatnya, tenaga khie-kang, maka di lain saat, mukanya yang tadinya putih lantas saja berubah menjadi bersemu dadu.
Ceng Tiok saksikan perubahan muka itu, dia gapekan puterinya, atas mana, sambil berlompat, A Kiu hampiri sang ayah.
Segera Ceng Tiok bisiki gadisnya, siapa manggut- manggut, sesudah itu, si nona kembali ke dalam kalangan, di depan Hong Liu, dia membungkuk, untuk memberi hormat, habis itu, ia putar sepasang tumbak bambunya itu, untuk mengurung diri. Ia tidak segera menyerang.
Dengan tindakan ayal sekali, Hong Liu dekati si nona, lalu dengan sekonyong-konyong, ia menyerang.
A Kiu menangkis dengan pentang kedua tumbaknya, apabila ia sudah menarik pulang, lantas ia mulai dengan serangannya membalas, dimulai dengan tangan kanan, disusul sama tangan kiri, kemudian kedua batang bambu itu diteruskan, dipakai menyerang saling susul tak hentinya, ia mendesak bagaikan serangan badai. Di pihak Ceng Tiok Pay orang bertampik-surak melihat cara berkelahinya pahlawan mereka.