Naga Sakti Sungai Kuning Chapter 73

NIC

"Omitohud. ! Agaknya orang muda ini diam-diam

memang berpihak kepada para tosu maka dia menghendaki agar kita melupakan semua urusan yang lalu. Kalau kita teringat betapa mendiang Thian Cu Hwesio, ketua Siauw-lirn terpaksa membakar diri sampai mati gara-gara pengkhianatan mendiang Cun Bin Tosu, hati siapa tidak akan terbakar karena kejahatan tosu itu?" demikian seorang hwesio berseru marah. Thian Gi Hwesio lalu berkata kepada Han Beng. "Sudah, minggirlah, orang muda dan jangan mencampuri urusan kami. Maksudmu baik, akan tetapi tidak tepat. Pergilah engkau!"

Berkata demikian, Thian Gi Hwesio menggerakkan tangan kirinya mendorong, tentu saja sambil mengerahkan sin-kang agar pemuda itu terkejut dan menyingkir. Akan tetapi, biarpun dari ujung lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat ke arah pemuda itu, ternyata sama sekali tidak membuat pemuda itu bergoyang, apalagi mundur dan terkejut! Pemuda itu tetap tenang saja, bahkan ujung lengan baju itu yang balik seperti bertemu dengan benda kuat yang menghalang tiupan angin dorongan tadi.

"Omitohud. ! Kiranya engkau memiliki kepandaian

juga? Pantas saja berani mencampuri urusan kami!" bentak Thia Gi Hwesio yang berhati keras dan galak. "Nah, majulah orang muda. Kalau memang engkau hendak memamerkan kepandaian, maju dan lawanlah pincei sebelum engkau melanjutkan kelancanganmu!"

Melihat sikap itu, Han Beng terkejut tak disangkanya bahwa usahanya mendamaikan kedua pihak yang bermusuhan itu diterima salah oleh kedua pihak pula. Bahkan kini ia ditantang oleh seorang hwesio yang kelihatannya galak dan lihai.

"Maaf, Lo-cian-pwe. Saya bermaksud untuk melerai, mendamaikan dan melenyapkan permusuhan, bukan menanambah permusuhan baru!"

"Kalau engkau tidak berani melawan pinceng, hayo cepat pergi dari sini!"

Pada saat itu, terdengar suara ketawa halus dan tiba-tiba saja munculah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakainnya sederhana sekali dari kain putih. "Siancai , ini namanya orang-orang tua yang

sepatutnya berguru kepada orang muda, akan tetapi merasa malu untuk mengakuinya!"

Para tosu yang tadinya sudah bediri dan siap untuk berkelahi, begitu Melihat tosu ini, cepat mereka lalu memberi hormat dengan membongkok, bahkan ada yang segera berlutut kembali. Juga Thian Gi Hwesio dan para hwesio lain ketika melihat tosu tua renta ini, mereka terkejut dan cepat memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.

Akan tetapi, Thian Gi Hwesio mengepulkan alisnya karena ada rasa khawatir juga penasaran dalam hatinya melihat munculnya kakek ini. Biarpun kakek ini, yang terkenal dengan nama Pek I Tojin, merupakan seorang pertapa suci dari Thai- san yang agaknya tidak mungkin mau mencampuri urusan dunia akan tetapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang tosu dan tentu akan berpihak kepada para tosu! Dan kalau kakek ini campur tangan, maka keadaan pihaknya akan menjadi gawat.

Siapa yang tidak mengenal Pek I-Tojin, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa saja? Bahkan suhengnya sendiri, mendiang Thian Cu Hwesio, pernah mengatakan kepadanya bah untuk jaman itu, sukar dicari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti Pek I Tojin. Mungkin hanya Hek Bin Hwesio saja, suheng dari Thian Cu Hwesio da lam perguruan kebatinan di Himalaya yang mampu mencapai tingkat itu.

Setelah memberi hormat, Thian Hwesio mewakili teman- temannya. "Omitohud, kiranya Lo-cian-pwe Pek I Tojin yang datang. Tidak tahu apakah kedatangan Lo-cian-pwe ini untuk membesarkan hati para tosu dan memberi pelajaran kepada kami?" Pek I Tojin tertawa lembut mendengar ucapan itu. Dia bersikap lembut dan tenang. "Siancai, Thian Gi Hwesio sungguh masih saja penuh semangat. Apakah engkau sudah lupa ketika pinto datang bersama Hek Bin Hwesio melerai keributan antara hwesio dan para tosu? Pinto tidak berpihak siapa pun seperti juga Hek Bin Hwesio tidak berpihak siapa pun. Masing-masing melerai dan menahan golongan sendiri, itu baru benar, sesuai dengan petunjuk pemuda bijaksana ini bahwa perdamaian dimulai dari keadaan hati sendiri. Diri sendiri yang harus ditundukkan, bukan orang lain.”

Melihat munculnya Pek I Tojin, seorang datuk yang amat mereka hormati, para tosu tadinya berbesar hati. Akan tetapi mereka pun teringat betapa tokoh besar yang satu ini tidak suka akan pertentangan, maka tentu kedatangannya ini akan berakibat teguran bagi golongan sendiri. Oleh karena itu, seorang di antara paru tosu sudah cepat memberi hormat dan berkata, "Lo-cian-pwe, kami ini para tosu mohon petunjuk karena kami didesak dan dimusuhi para hwesio yang marah- marah!"

"Siancai, tidak ada kemarahan tanpa sebab dan tidak ada perselisihan timbul kalau kedua pihak tidak saling serang. Tak mungkin bertepuk tangan sebelah! Tak mungkin terjadi kebakaran kalau api tidak bertemu dengan bahan bakar. Para To-yu (sahabat), setelah pinto datang kalian minta petunjuk. Apakah benar kalian akan mentaati apa yang kunasihatkan?"

"Kami taat!" Serentak para tosu itu menjawab karena mereka percaya sepenuhnya kepada datuk besar itu.

"Nah, kalau kalian taat, sekarang juga kalian duduk bersila dan pasrah sepenuhnya. Kalau ada yang menyerang kalian, sampai membunuh kalian pun, kalian jangan bergerak dan jangan melawan!"

Tentu saja para tosu terbelalak. Mereka berhadapan dengan para hwesio yang sedang marah besar dan sudah siap untuk menyerang, bagaimana mungkin mereka harus berdiam diri, menyerang tanpa perlawanan biar dibunuh sekalipun?

"Akan tetapi bagaimana kalau para hwesio itu menyerang kami dan membunuhi kami, Lo-cian-pwe?"

Pek I Tojin tersenyum. "Adakah manusia membunuh manusia lain kalau Tuhan tidak menghendaki? Kalau sampai kalian mati terbunuh, anggap saja sebagai penebusan dosa yang dilakukan oleh kawan-kawan terdahulu. Biar pinto yang duduk terdepan!" Berkata demikian Pek I lojin juga duduk bersila di depan para tosu lainnya dan dia pun berkata kepada para hwesio dengan lembut dan senyum ramah. "Nah, Saudara-saudara para hwesio, sekarang para tosu sudah menyerah dan tidak akan melawan sedikitpun juga. Terserah kepada kalian apa yang akan kalian lakukan kepada diri kami," berkata demikian Pek I Tojin lalu memejamkan mata dengan mulut tersenyum dan agaknya sudah pulas dalam samadhi. Para tosu lainnya juga meniru perbuatan ini.

Para hwesio saling pandang dengan bingung. Jelas bahwa para tosu itu tidak lagi mau mengadakan perlawanan dengan kekerasan. Betapa mudahnya untuk melampiaskan nafsu amarah dan dendam. Tinggal menghajar saja mereka!

Posting Komentar