Lembah Selaksa Bunga Chapter 76

NIC

“Akan tetapi engkau, Li Ai ”

“Jangan khawatir, Enci Siang Lan. Aku telah menceritakan dan mengaku terus terang kepada An-ko tentang malapetaka yang menimpa diriku, bahwa aku telah diperkosa dua orang Pek-lian-kauw yang kaubunuh itu.” Kini wajah Siang Lan berseri karena ia merasa gembira sekali mendengar keterangan Li Ai itu. Ia memandang kepada pemuda itu dengan kagum dan bertanya.

“Bouw Kongcu, benarkah engkau rela dan mau menerima Li Ai sebagai calon isterimu setelah ia ”

“Pang-cu, aku bahkan merasa kasihan dan semakin cinta kepada Li Ai, sama sekali tidak memandang rendah. Yang kucinta adalah manusianya, pribadinya bukan hanya jasmaninya. Cinta itu bagiku urusan hati, bukan sekedar urusan jasmani. Pula, kalau mau bicara tentang kerendahan dan kehinaan, akulah yang rendah dan hina, tidak sepadan dengan Adik Li Ai. Ia puteri seorang pahlawan, sebaliknya aku hanya anak seorang pengkhianat dan pemberontak.”

“Hushh! Jangan sekali-kali kau ulangi kata-katamu itu, Bouw Cu An!” Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan membentak sehingga Cu An dan Li Ai memandang kaget. “Biarpun pernah melakukan kesalahan besar, namun akhirnya mendiang Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang pahlawan besar!”

Wajah Cu An berubah pucat sekali. Biarpun hatinya merasa lega dan ada sinar kegirangan mendengar Siang Lan memuji ayahnya sebagai pahlawan, namun ayahnya disebut mendiang oleh gadis itu.

“Mendiang......? Apa...... apa maksudmu Pang-cu?” tanyanya dengan muka pucat dan suara tergagap.

Baru Siang Lan teringat bahwa pemuda ini belum mengetahui bahwa ayahnya telah tewas, maka ia menghela napas panjang dan mengajak mereka berdua duduk.

“Bouw Kongcu, setelah engkau pergi meninggalkan kota raja, terjadi peristiwa yang amat besar dan gawat. Para pemberontak itu, seperti kauketahui karena yang membujuk Ayahmu adalah engkau dan susiok (Paman Guru) Ouw-yang Sianjin, dapat dibasmi atas bantuan Ayahmu. Akan tetapi urusannya bukan hanya berhenti sampai di situ.

“Tiba-tiba saja Sribaginda Kaisar diculik orang dan banyak pengawal dan pelayan istana terbunuh. Penculiknya tidak ketahuan siapa dan tidak diketahui pula ke mana Sribaginda Kaisar disembunyikan. Kemudian setelah melakukan penyelidikan, kiranya yang menculik Sribaginda dan juga Ayahmu yang hilang pula, adalah seorang pelayan di gedung Ayahmu, seorang pelayan tua yang tampak lemah ”

“Ah Kakek A-kui?” tanya Cu An yang masih pucat.

“Dia adalah Cui-beng Kui-ong yang menyamar dan berhasil menyusup menjadi pelayan di rumah Pangeran Bouw Ji Kong. Dia menyembunyikan Sribaginda yang diculiknya ke ruangan bawah tanah di bawah kamar tidur Ayahmu. Karena Ayahmu hendak menentangnya, maka dia pun menangkap Ayahmu dan menahannya di ruangan bawah tanah itu.”

“Aduh...... semua ini salahku. Kalau aku tidak meninggalkan rumah, tentu aku dapat mencegahnya ”

“Tidak, Bouw Kongcu, bahkan mungkin engkau pun terancam bahaya maut. Cui-beng Kui-ong itu sakti bukan main. Dengarkan ceritaku selanjutnya. Aku mendengar dari Ibumu bahwa Sribaginda dan Ayahmu disembunyikan di ruangan bawah tanah itu. Aku terlalu memandang rendah Kakek A-kui, maka aku segera menyerbu. Akan tetapi A-kui muncul di kamar Ayahmu dan kami berkelahi. Akibatnya, aku sendiri tertawan olehya, tertotok dan dimasukkan dalam ruangan bawah tanah itu.

“Ibumu lalu melarikan diri dari rumah dan melapor kepada Panglima Chang Ku Cing tentang A-kui. Kebetulan ketika itu panglima Chang kedatangan Paman Bu-beng-cu. Paman Bu-beng-cu segera menuju ke rumah Ibumu dan Panglima Chang mengerahkan pasukan mengepung rumah itu.

“Ketika itu, Cui-beng Kui-ong alias A-kui tahu bahwa Ibumu pergi meninggalkan rumah. Dia menjadi marah dan tahu bahwa tentu tempat persembunyian itu akan ketahuan dan akan diserbu, maka dia membunuh tujuh orang pelayan di rumahmu dan pada saat itu terdengar teriakan Paman Bu-beng-cu dari luar yang minta kepada Cui-beng Kui-ong untuk menyerah.

“Cui-beng Kui-ong menjawab dan berteriak minta agar para tawanan pemberontak dibebaskan. Kalau tidak dia akan membunuh Sribaginda Kaisar. Ketika permintaannya ditolak, dia hendak membunuh Sribaginda, akan tetapi Ayahmu, Pangeran Bouw Ji Kong yang memungut pedangku yang terjatuh, membela Sribaginda Kaisar dengan gagah berani. Akan tetapi Cui-beng Kui-ong terlalu lihai sehingga Ayahmu kalah dan tewas di tangan Cui-beng Kui-ong.

“Setelah membunuh Ayahmu, kakek sakti itu juga hendak membunuh aku yang tidak mampu bergerak karena tertotok dan luka dalam. Untung pada saat yang amat gawat bagi keselamatanku itu muncul Paman Bu-beng-cu dan setelah melalui perkelahian yang amat hebat, akhirnya Cui-beng Kui-ong roboh dan tewas. “Nah, bukankah Ayahmu telah menebus kesalahannya dengan dua hal yang amat hebat. Pertama, membantu pemerintah membasmi para pemberontak dan kedua, telah mengorbankan nyawa demi melindungi Sribaginda Kaisar? Maka jangan kau berani mencaci Ayahmu dengan kata-kata yang keji, Bouw Kongcu!”

“Ayah !” Bouw Cu An lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! “Maafkan aku, Ayah!”

“An-ko, jangan terlalu bersedih......!” Li Ai juga berlutut di dekat pemuda itu dan memegang pundaknya, akan tetapi kedua matanya juga basah air mata. Ia ikut merasa terharu dan sedih melihat kekasihnya menangis.

Melihat ini, Siang Lan tersenyum, diam-diam merasa berbahagia sekali bahwa Li Ai telah menemukan laki- laki yang benar-benar mencintainya walaupun dia sudah tahu akan keadaan Li Ai yang telah ternoda. Cu An merupakan calon suami yang baik sekali bagi Li Ai dan ia merasa ikut berbahagia! Maka, melihat keduanya bertangisan, ia lalu meninggalkannya, memasuki kamarnya.

Dalam kamar, Siang Lan termenung. Ia teringat kepada Bu-beng-cu. Bu-beng-cu juga amat mencintanya, seperti cinta Cu An kepada Li Ai. Bu-beng-cu juga sudah tahu bahwa ia telah dinodai orang, akan tetapi tetap mencintanya! Akan tetapi, sebelum ia membuka perasaan hatinya kepada pria yang juga menjadi gurunya itu, ia harus menyelesaikan dulu masalah yang teramat penting bagi hidupnya, yaitu membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi) yang telah memperkosanya itu. Setelah ia berhasil membunuh Thian-te Mo-ong, barulah ia akan menyatakan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu?

14.42. Akhirnya Thian-te Mo-ong Kalah!

Pinangan terhadap Kui Li Ai yang dilakukan oleh utusan Nyonya Bouw Ji Kong kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera tiba setelah Bouw Cu An kembali ke kota raja. Pinangan itu diterima dengan baik dan tiga bulan kemudian, pernikahan antara Bouw Cu An dan Kui Li Ai dirayakan di kota raja dengan meriah, dihadiri para perwira dan pejabat tinggi, dan juga hadir pula Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun. Panglima Chang Ku Cing juga hadir bersama keponakannya, Chang Hong Bu.

Mengingat akan pembelaan terakhir Pangeran Bouw Ji Kong terhadap Sribaginda Kaisar, maka keluarganya selain mendapat pengampunan juga mendapatkan kehormatan dari para pejabat tinggi. Bahkan Menteri Yang Ting Ho juga memerlukan hadir dalam pesta pernikahan itu.

Setelah tinggal di kota raja selama beberapa hari, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera kembali ke Ban- hwa-kok dan langsung saja ia menemui Bu-beng-cu yang tinggal di guhanya, tak jauh dari Bukit Ban-hwa- pang.

Bu-beng-cu bersikap biasa saja seperti biasa, namun kini tampak jelas oleh Siang Lan betapa besar kasih sayang laki-laki itu kepadanya yang dapat ia rasakan melalui pandang matanya, kata-kata yang keluar dari mulutnya, dan gerak geriknya. Akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan ia sendiri juga bersikap biasa.

Bahkan ia kini berlatih semakin tekun karena hari yang ditentukan oleh Thian-te Mo-ong yang akan datang mengunjungi setahun sekali untuk mengadu kepandaian tinggal beberapa bulan lagi. Sekali ini ia harus dapat membunuh musuh besar itu. Setelah musuh besar dapat dibunuhnya untuk membalas dendam, barulah ia akan mengaku kepada Bu beng-cu bahwa ia sudah tahu dan yakin benar akan rasa cinta pria itu terhadap dirinya!

Demikian tekun, rajin dan keras Siang Lan berlatih sehingga diam-diam Bu-beng-cu merasa terharu. Dia maklum benar betapa besar semangat dan keinginan Siang Lan untuk mengalahkan dan membunuh musuh besarnya yang bukan lain adalah dirinya sendiri! Dapat dibayangkan betapa hal ini menghancurkan perasaan hatinya.

Bu-beng-cu bukanlah seorang bodoh. Dia pun dapat merasakan bahwa sesungguhnya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mencintainya, seperti juga dia mencinta gadis itu, cinta yang timbul mula-mula karena penyesalan dan kasihan. Kemudian setelah bergaul dengan gadis itu, dia benar-benar jatuh cinta secara mendalam. Akan tetapi dia tidak tega untuk mengakui cintanya walaupun dia tahu benar cintanya sudah pasti akan diterima oleh Siang Lan yang juga jelas mencintainya.

Ngeri dia membayangkan betapa hati gadis yang dicintanya itu akan hancur kalau kemudian mengetahui bahwa pria yang saling mencinta dengannya itu adalah juga musuh besarnya, laki-laki yang amat dibencinya karena telah memperkosanya? Tidak, dia akan menebus kesalahannya yang membuat hancur kebahagiaan gadis itu dengan nyawanya. Biarlah gadis itu berhasil membalas dendam dengan adil dan sesungguhnya, bukan karena dia mengalah. Karena itu, dia pun menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan dan tidak akan berhenti sebelum gadis itu mampu mengalahkannya.

Setelah dengan tekun penuh perhatian menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan, pada suatu sore setelah mereka berlatih dan bertanding selama puluhan jurus, Bu-beng-cu menghentikannya dan mereka duduk di bawah pohon depan guha melepaskan lelah dan menyusut keringat. Siang Lan memandang Bu- beng-cu dengan pandang mata penuh rasa syukur dan mesra.

Bu-beng-cu semula juga menatap wajahnya dan biarpun mulut mereka tidak mengucapkan sesuatu, sinar mata mereka seperti mengandung seribu bahasa menyinarkan kasih sayang yang mendalam. Akan tetapi Bu-beng-cu segera menundukkan mukanya, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara lirih dan tenang.

“Siang Lan, semua yang kuketahui tentang ilmu silat telah kuajarkan kepadamu. Dalam latihan bertanding tadi aku mendapat kenyataan bahwa aku tidak lagi dapat mengalahkanmu. Karena itu, hari ini merupakan hari terakhir. Aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu dan kuharap dengan kepandaianmu sekarang, engkau akan mampu mengalahkan musuh besarmu.”

Diingatkan tentang musuh besarnya, bangkit semangat Siang Lan dan pandang matanya yang tadinya mengandung kasih sayang seketika berubah. Dia memandang ke atas, membayangkan wajah bertopeng Thian-te Mo-ong dan matanya mengeluarkan sinar kebencian yang mendalam.

“Hemm, sekali ini akan kulawan dia mati-matian, Paman! Karena aku tidak mungkin mendapatkan tambahan ilmu lagi, maka pertandingan nanti merupakan yang terakhir. Dia atau aku yang akan mati! Biasanya, dia muncul di hari ke limabelas, pada saat bulan purnama di waktu malam. Dan hari itu kalau tidak salah tinggal tiga hari lagi. Aku akan menantinya!” Ia berkata dengan kedua tangan dikepal dengan marah.

إرسال تعليق