Kembali menyerang dengan serangan yang lebih hebat lagi.
Namun Kiam Ciu sekali lagi berhasil menghindari serangan lawan. Gadis itu merasa heran karena serangan-serangannya sama sekali tidak berhasil bahkan dapat dihindari dengan mudah, padahal dia menyerang dengan tiba-tiba. Yang paling menjengkelkan pula ialah ketika menyaksikan orang-orangnya. Orangorang partai Kim-sai yang sedianya dibawa untuk mengerubut Kiam Ciu itu ternyata hanya diam saja menonton.
Karena sudah merasa kepalang tanggung dan malu untuk mundur. Maka dengan meningkatkan ilmunya dia telah memasang kuda-kuda dan sedia tangannya membentuk seperti cakaran setelah memiringkan tubuh dan agak merandek dengan diaertai jeritan gadis itu melonpat menerkam lawan.
Namun Kiam Ciu tampak tenang saja dan meloncat kesimping. Gadis itu menerkam angin dan terhuyung kedepan kemudian jungkir balik. Meloncat berdiri kemudian memutar tubuh dan dengan mata berjaga-jaga meloncat menerkam punggung Kiam Ciu.
Tetapi dalam keadaan itu tiba-tiba orang-orang Kim-sai tampak berlutut, Di tempat itu tampak seorang kakek berjubah putih dan seluruh rambutnya sudah berwarna putih dan digelung diatas kepala. Kakek itu menyaksikan beberapa orang Kim-sai kemudian memandang kearah kedua orang yang sedang bertempur itu. "Oh, luar biasa kakek itu wibawanya. Siapakah sebenarnya” pikir Kiam Ciu ketika menyaksikan kakek itu yang telah berada ditempat itu dengan tiba-tiba dan mempunyai pandangan mata yang memukau.
Gadis yang menyerang Kiam Ciu menahan serangannya, sedangkan Yun Leng yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu juga telah berlutut. Ji Tong Bwee juga merasa heran menyaksikan kakek itu, juga menyaksikan orang-orang Kim-sai dengan tiba-tiba telah berlutut. Begitu pula gadis yang angin-anginan itu tampak menahan serangan dan keningnya berkerut.
"Kalian terlalu lancang semua ! Kalian mengaku orang dari partai Kim-sai ! Tetapi kalian telah melupakan peraturan partai Kim-sai !” seru kakek itu dengan suara lantang dan nyaring.
Kemudian suasana menjadi sepi sesaat. Hanya terdengar kesiur angin menghembus dedaunan dalam hutan itu. Kakek itu ganti menatap kearah gadis tadi yang menyerang Kiam Ciu detigan sinar mata tajam.
"Li Kun ! Kau bertindak terlalu sembrono dan melanggar pesanku !” seru kakek itu kepada gadis yang menyerang Kiam Ciu yang ternyata bernama Li Kun itu. "Ayah . . . . .” seru Lio Kun sambil berlutut dan menjura kepada kakek itu yang ternyata adalah ayahnya. Ialah ketua partai Kim-sai.
Tetapi kakek itu tidak memperhatikan puterinya. Bahkan mendekati Kiam Ciu dan menegurnya dengan suara ramah.
"Siauwhiap, siapakah namamu ?” seru kakek itu.
"Aku Tong Kiam Ciu” seru Kiam Ciu sambll menghormat dan menjawab dengan suara sopan. "Tong Kiam Ciu ? Oh. kalau tidak berkeberatan aku ingin tahu siapakah suhumu ?” sambung kakek itu dengan suara ramah dan wajah cerah.
"Aku adalah asuhan suhu Pek-hi-siu-si” jawab Kiam Ciu pula.
"Oh . . . . . . . .” kini kakek itu tampak terperanjat.
"Mengapa locianpwee ?” seru Kiam Ciu heran menyaksikan sikap kakek itu yang tampak pucat wajahnya dengan tiba-tiba.
"Namaku Kuk Kiat. Aku sudah puluhan tahun mengasingkan diri. Apakah suhumu tidak pernah menceritakan tentang diriku dan pariai Kim-sai kepadamu Tong Siauwhiap ?” sambung kakek itu sambil mengusap wajahnya.
"Tidak, Suhu belum pernah menceritakan tentang diri locianpwee dan partai Kim-sai bahkan aku menjadi sangat heran dan tidak mengerti urusan ini.
Mengapa putrimu selalu mengganggu dan menghalang-halangiku samoai tiga kali ini. Apakah kesalahanku dan ada urusan apa diantara diriku dan partai Kimsai..” seru Kiam Ciu menjelaskan dan menyampaikan rasa tidak tahunya itu kepada Kuk Kiat agar semua urusan menjadi terang.
"Oh, Pek-hi-siu-si. Aku merasa malu sekali karena perbuatan anakku,”
sambung kakek itu dengan nada rawan.
Sesaat suasana menjadi tenang. Semua diam, orang-orang dari partai Kimsai menunduk memandang tanah. Mereka tidak ada yang berani mengangkat wajahnya, apa lagi memandang kearah Kuk Kiat.
"Suhu memang belum pernah bercerita tentang diri Locianpwee, sedangkan partai silat Kim-sai aku belum pernah mendengar namanya” tiba-tiba Kiam Ciu memecahkan keheningan itu.
Kemudian terdengar kakek itu tertawa gelak gelak.
"Pek-hi-siu-si benar-benar adalah seorang yang jujur dan luhur budinya.
Dikalangan Kang-ouw orang harus menjunjung tinggi kejujuran dan kepercayaan orang lain. Pek-hi-siu-si adalah seorang budiman Suhumu tidak memberitahukan tentang diriku dan partai Kim-sai karena satu perkataan.
Akupun telah meninggalkan kalangan Kang-ouw dan meninggalkan keluarga tinggal disuatu tempat terpencil dipegunungan Tai-pie-san selama sepuluh tahun, juga karena satu perkataan !” seru kakek itu dengan wajah cerah dan mata bersinar bening kearah Kiam Ciu.
Sesaat suasana kembali lengang. Semua yang berada ditempai itu harap cemas. Mereka merasa telah melanggar pesan suhunya. Serta mereka telah melanggar peraturan partai Kim-sai.
Kemudian kakek itu berpaling kearah puterinya seraya berseru.
"Li Kun, kau telah lancang dan tanpa menyelidiki terlebih dahulu, kau telah menyerang seseorang yang tidak bersalih ! Sehingga aku kehilangan muka untuk menjumpai Pek-hi-siu-si”
Tong Kiam Ciu tidak mengerti maksud kakek itu. Dia merasa bahwa itu bukanlah urusannya. Karena kata-katanya itu ditujukan kepada puterinya maka Kiam Ciu hany diam dan mendengarkan pula kata-kata yang diucapkan oleh kakek itu. Kemudian tampaklah kakek itu mengelus jenggotnya yang tekah memutih dan panjang. "Sebelum aku pergi menuju ke Tai-pie-san aku telah berpesan kepadamu Li Kun dan kepada kalian untuk mematuhi sejala peraturan partai Kim-sai serta menjunjung nama baik kita. Bagi yang telah melanggar harus rela menerima hukuman partai” sambung kakek itu dengan suara tenang sambil menatap Li Kun yang menunduk dan orang-orang ya.ng berlutut didepannya.
Orang-orang partai Kim-sai yang telah merasa melanggar peraturan partai itu menyahut serentak seperti mendapat aba-aba "Aku merasa bersalah dan rela menerima hukuman partai!” seru beberapa orang serentak. Hingga suara itu mengatasi suara desir angin dan desauan daun-daun liu yang ditiup angin kencang saat itu.
Belum lagi orang-orang itu melanjutkan kata-katanya, kakek berjanggut panjang dan putih itu membentak.
"Dengar baik-baik perkataanku !”
Kemudian diam lagi dan tampak dia memandang ke langit, setelah menghela napas dia berseru lagi. "Sebelum aku menghukum kalian, aku harus menjumpai Pek-hi-siu-si terlebih dahulu. Mungkin kalian belum mengetahui tentang persoalanku dan hubunganku dengan pendekar budiman itu? Mungkin kalian ingin mendengarnya dan juga Tong Siauwhiap ingin mendengar kisahnya ?” kakek itu terhenti lagi dan mengamati orang-orang yang berada di tempai itu.