Warisan Jendral Gak Hui Chapter 29

NIC

"Anak muda kau jangan bergusar hati. Aku tahu khasiat batang Lok-bwee kim-keng itu dapat menolong jiwaku dan memusnahkan pengaruh racun dalam tubuhku. Tetapi aku sudah ingin mati, maka tugas akan kuserahkan padamu! Sekarang kau tahu?” seru kakek itu bersungguh-sungguh dengan suara yang telah bernada lemah. Mendengar perjelasan itu maka akhirnya Kiam Ciu mengerti. Maka kini dia menundukkan kepala dan mengangguk.

"Nah, kini dengarlah baik-baik pesanku ini. Ketika suhuku akan meninggal dunia beliau telah mengatakan bahwa cucu perempuanku telah ditawan di kota Pek-seng. Terkurung di suatu tempat. Jika kau pergi kesana kau harus bebaskan dia. Tugas ini mungkin sukar dan berbahaya, namun aku yakin bahwa kau dapat melaksanakannya” suara kakek itu sudah sangat lemah kedengarannya.

Tiada lama kemudian setelah kata-kata terakhir itu tampaklah kakek itu memuntahkan darah terhuyung-huyung dan jatuh terjungkal dihadapan Tong Kiam Ciu. Dengan sekali loncat Tong Kiam Ciu telah memasukkan batang Lok-bweekim-keng ke mulut kakek itu, tetapi mulut kakek itu telah terkancing rapat.

Setelah berkelojotan sejenak maka kakek itu telah menghembuskan nafas yang terakhir. Tong Kiam Ciu lalu merawat jenazah Gan Hua Liong kemudian menguburnya.

Setelah mengadakan upacara penguburan yang sangat sederhana maka Kiam Ciu lalu masuk kedalam kuil untuk bermalam.

Walaupun malam itu mata Kiam Ciu sukar untuk dipejamkan, karena dia mengenangkan pengalaman sepanjang hari. Tetapi akhirnya dia terlena.

Ketika telinganya sayup-sayup menangkap suara kicauan burung. Maka dia agak terperanjat juga. Dirabanya saku jubah untuk meyakinkan babwa peta Pekseng itu masih ada. Hatinya merasa lega dan Kiam Ciu segera meloncat bangun.

Ketika kesadarannya telah penuh kembali, barulah dia menuju kepintu kuil.

Kiam Ciu menyadari dia harus cepat-cepat ke kota Pek-seng, dan sebelum semuanya berantakan harus dapat menemukan kitab pusaka Pek-seng itu. Maka segeralah dia mendorong batu penghalang didepan pintu kul Pao-yan-ta. Setelah dia melompati lubang besar yang dibuat oleh Kwa Si Lokoay maka simpailah pemuda itu di depan pagoda Pao-yan-ta. Terciumlah hawa sejuk pegunungan yang tertiup angin semilir.

Matahari tampak bersinar dengan berkas sinarnya yang menembus diselasela dedaunan di puncak pegunungan itu. Sekian lama Kiam Ciu memandang kearah makam Kwa Si Lokoay. Seolah-olah dia berjanji, kemudian tampak lengan jubahnya bergerak. Tahu-tahu pemuda itu telah melesat dan meninggalkan kuil yang bersejarah, kuil itu membisu dan tetap angker penuh keagungan.

Kiam Ciu telah memperhitungkan untuk menujuj ke kota Pek-seng. Dia harus seIekas-lekasnya sampai di kota itu sebelum tokoh-tokoh lain tiba di tempat penyimpanan kitab pusaka Pek-seng. Karena kitab pusaka Pek Seng itu yang kini sedang dicari oleh tokoh persilatan.

Dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat Pek Seng itu. Hingga sebagian besar tokoh Bu Lim sangat mengilerkan kitab pusaka itu. Karena mereka berpendapat, kalau toh mereka tidak berhasil merebut pedang pusaka Oey Liong Kiam tetapi dapat mendapatkan ilmu silat Pek Seng, itu sama saja hebatnya.

Ilmu silat Pek Seng Itu tiada terkalahkan. Sangat hebat dan langka.

Tong Kiam Ciu telah berhasil mendapatkan peta Pek Seng itu. Maka suatu milik yang luar biasa didapat dengan jalan yang sangat mudah tanpa mengadu kekuatan dan tanpa pertumpahan darah. Suatu yang jarang dapat terjadi. Maka dia sangat berhati-hati. Waspada akan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada saat-saat yang sangat penting dimana dia nanti akan mengambil kitab pusaka Pek Seng. Dirabanya sekali lagi saku kanan dimana peta Pek-Seng itu tersimpan. Tanpa sengaja Tong Kiam Ciu menarik nafas panjang.

Dengan meningkatkan ilmu meringankan dan tubuh berlari cepat Kiam Ciu cepat menuruni gunung dan melompati jurang-jurang yang menganga. Dengan tidak memakan waktu terlalu lama dia telah tiba disebuah kota kecil dalam propensi An-Hwei. Dalam kota kecil itu terdapat dua buah rumah makan yang telah buka. Namun perjalanan yang telah dilakukan oleh Kiam Ciu pagi itu sangat cepat.

Hingga sampai di kota kecil itu masih dalam keadaan sepi sekali. Hanya beberapa orang saja yang tampak di jalanan menuju ke pasar. Sinar matahari yang menembusi kota lewat pintu gerbang karena matahari masih sangat rendah. Bayangan rumah-rumah dan pepohonan masih tampak memanjang.

Kiam Ciu memandang kedua rumah makan itu, lalu dia melangkah menuju kesaah satu rumah makan itu.

Ketika dia menginjakkan kaki didepan pintu rumah makan itu, sejenak memandang kedalam. Keadaan masih sangat sepi. Beberapa kursi dan bangku masih terbalik tertumpuk dengan meja. Namun seorang pelayan rumah makan itu ketika mengetahui kedatangan Kiam Ciu dengan sangat tergopoh-gopoh menurunkan kursi dan menyiapkan tempat di dekat jendela untuk tamunya yang baru datang itu. Kiam Ciu melangkah masuk dan menuju ke tempat yang telah disediakan dan pelayan itu menghormat dengan membongkok-bongkok hormat. Tempat yang telah disediakannya adalah dua buah kursi. Kiam Ciu tidak begitu mengacuhkan keadaan itu. Beberapa pelayan rumah makan itu telah mempersiaphan tempat. Kiam Ciu hanya ingin makan pagi dan segera akan melanjutkan perjalanan. "Selamat pagi anak muda. Rupa-rupanya kau sangat lelah dan apakah kami dapat menolongmu ?” seru pelayan itu dengan hormat dan mendekati tempat dimana Kiam Ciu duduk. Kiam Ciu tersenyum mendapat kehormatan dan teguran yang sopan itu.

Diam-diam dia sangat memuji kesopanan pelayan rumah makan itu. Maka sambil tersenyum pula Kiam Ctu memesan makanan.

Beberapa saat kemudian Kiam Ciu melihat seorang nenek masuk kedalam rumah makan itu. Ketika pandangan mata mereka beradu, nenek itu tersenyum.

Kiam Ciu juga tersenyum. Tahu-tahu nenek itu telah duduk di kursi dekat tempat duduk Kiam Ciu. Mereka berdua saling berpandangan. Tiada lama kemudian pesanan makanan telah dihidangkan. Nenek itupun mendapat makaiau yang sama dengan makanan yang dipesan Kiam Ciu. Karena pelayan rumah makan itu berpendapat bahwa nenek yang baru masuk itu adalah keluarga Kiam Ciu.

Nenek itu makan dengan lahap dan cepat sekali. Ketika makanan yang berada didepannya telah dlsantap habis maka nenek itu lalu berdiri sambil berbicara kepada Kiam Ciu.

"Teruskanlah kau anak muda makan dan minum. Aku akan segera berlalu karena masih banyak urusan yang harus kuselesaikan !” bisik nenek itu kepada Kiam Ciu dan segera berlalu menunggu dan tanpa memberikan kesempatan kepada Kiam Ciu untuk berbicara lagi.

Kiam Ciu hanya memandangnya dengan mulut melompong kearah punggung nenek itu. Baru ketika pelayan rumah makan itu mendekati. Kiam Ctu dapat berbicara kepada pelayan itu.

"Berapa ?” Kiam Ciu menanyakan harga makanan yang telah dimakannya itu sambil berdiri. "Tujuh , , “ jawab pelayan itu seraya memberesi meja.

"Hah ? Tujuh apa?” tanya Kiam Ciu heran. "Ya tujuh Yen. untuk makan dan minum berdua , , “ jawab pelayan itu dengan hormat dan tersenyum.

"Berdua ? Oh , , “ Kiam Ciu segera menghentikan kata-katanya dan merogoh kantongya mengeluarkan uang tujuh Yen.

Ada-ada saja pengalaman yang telah dialami oleh Tong Kiam Ciu beberapa hari belakangan ini. Semuanya aneh dan lucu. Setelah membayar semua harga makanan itu dan memberikan persen kepada pelayan, maka Kiam Ciu lalu meninggalkan rumah makan itu. Dia bermaksud untuk cepat meninggalkan kota kecil itu dan menuju ke kota Pek-seng.

Posting Komentar