“Tentu saja, taijin! Hamba bersumpah untuk membela dan bersetia, hamba suka membantu dengan jiwa raga hamba!” Hampir saja Kwee Siong tertawa bergelak mendengar omong kosong ini. “Nah, bagus kalau begitu,” katanya menahan senyum, “sekarang kaisar telah melarikan diri dan kami membutuhkan tentara untuk mengejar dan menawannya. Kau harus membantu dan berjuang di garis depan, menghadapi tentara penjaga kaisar.”
Bukan main terkejutnya Oei Lok Cun mendengar ucapan ini.
“Ampun, taijin! Hamba seorang yang lemah, tak pernah memegang senjata! Biarlah hamba membantu dengan harta benda hamba saja, untuk membeli ransum. Hamba hamba
bersedia berjuang di garis paling belakang saja!”
Habislah kesabaran Kwee Siong. Ia memberi tanda kepada penjaga dan memutuskan,
“Masukkan pengecut dan penjilat ini ke dalam penjara. Hukumannya sepuluh tahun, harta bendanya disita, ditinggalkan sepuluh bagian untuk putera dan keluarganya!”
Oei Lok Cun menangis dan mengeluh panjang pendek ketika ia diseret keluar. Seorang pembantu Kwee Siong yang duduk di sebelah kiri hakim itu dan yang tergerak hatinya oleh keluh kesah bekas pembesar kerajaan Sui itu memandang kepada Kwee Siong dengan mata memohon penjelasan.
“Orang macam itu,” kata Kwee Siong dengan sabar, “adalah orang yang amat berbahaya. Dalam keadaan negara aman, ia selalu berusaha untuk mengumpulkan kekayaan, tak perduli dengan jalan korupsi atau memeras rakyat. Kalau negara berada dalam bahaya, ia menyembunyikan diri, dalam persiapan perang ia selalu melepaskan diri mempergunakan uangnya.
Kalau peperangan selesai, ia akan gembar gembor menonjolkan diri sebagai pahlawan terbesar dan menuntut jasa. Ia pengecut dan penjilat, berusaha menyuap pembesar atasannya dan mencekik pekerja bawahannya.”
Penjelasan ini membuat semua orang menahan napas karena kagum dan takut. Kalau ada di antara para pembantu itu yang bercita-cita seburuk kelakuan Oei Lok Cun, akan lenyaplah cita-cita itu bagaikan asap tertiup angin.
Demikianlah, Kwee Siong memeriksa semua tawanan dan pesakitan dengan caranya sendiri, penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan keadilan. Banyak yang dibebaskan, ada pula yang dihukum mati atau dihukum sampai bertahun-tahun.
Ketika tiba giliran dua orang pesakitan wanita yang di dalam laporan disebut sebagai Toat- beng Mo-li dan Cialing Mo-li, ia mengerutkan keningnya. Disangkanya bahwa kedua orang wanita itu tentulah perampok-perampok jahat yang mempergunakan kesempatan dalam peperangan itu untuk melakukan kejahatan, Akan tetapi ketika ia membaca laporan itu mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita itu menyerang dan melukai Jenderal Li Goan, ia menjadi terkejut sekali.
“Bawa ke sini seorang demi seorang!” perintahnya.
Tak lama kemudian dari luar terdengar suara ribut-ribut dan seorang gadis muda yang cantik jelita diseret masuk. Gadis ini adalah Ling Ling yang diikat kedua kaki tangannya akan tetapi gadis itu masih berusaha meronta-ronta. Kalau saja ia tidak dalam keadaan tertotok maka ia akan dapat membuat tali-tali yang mengikat kaki tangannya itu akan putus semua.
“Hati-hatilah, jahanam-jahanam biadab!” desisnya dengan suaranya yang merdu dan nyaring sekali. “Kalau aku dapat bebas, aku akan patahkan lehermu seorang demi seorang.”
Ketika ia diseret di depan Kwee Siong, Ling Ling berdiri tegak dan memandang kepada pembesar ini dengan mata tajam dan penuh kebencian. Akan tetapi Kwee Siong memandangnya dengan senyum ramah dan pandang mata lembut, sehingga Ling Ling merasa heran dan juga jengah. Dengan heran ia merasa betapa kemarahannya mencair menghadapi wajah pembesar yang bermata tajam dan bermuka ramah itu.
Pada saat itu, seorang perwira datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Kwee Siong. Ketika Kwee Siong membaca surat itu, ternyata itu adalah surat dari Li Goan yang minta agar supaya Kwee Siong menyelidiki keadaan kedua orang wanita yang mengamuk itu dengan seksama dan teliti. Dalam suratnya ini, Li Goan menceritakan betapa di dalam perjalanannya menyerbu kota raja, kedua orang wanita itu telah membantunya mati-matian dan jasa mereka amat besar.
“Nona, siapakah namamu?” tanyanya setelah membaca surat itu.
“Perlu apa bertanya lagi. Aku disebut Iblis Wanita dan aku sudah kalah karena keroyokan yang pengecut sekali. Aku sudah tertangkap, mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak tanya?”
“Kau gagah berani sekali, nona. Sayang sekali seorang gadis yang masih muda seperti kau, seorang yang masih banyak harapan di hari depan, yang seharusnya menjadi seorang calon ibu yang bijaksana, seorang berkepandaian tinggi yang seharusnya menjadi pejuang yang amat dibutuhkan oleh rakyat, kau ternyata telah tersesat sedemikian jauhnya. Sungguh sayang sekali kau menerima pelajaran ilmu kepandaian setinggi itu, kalau hanya kau pergunakan untuk membunuh Jenderal Li Goan, pemimpin besar dari rakyat jelata!”
Kata-kata pertama yang dikeluarkan oleh Kwee Siong mengharukan hati Ling Ling sehingga hampir saja ia mengeluarkan air matanya. Akan tetapi ucapan terakhir itu memanaskan hatinya sehingga ia menjawab marah,
“Kau ini siapakah maka berani bicara tentang kegagahan? Siapa yang tersesat? Aku selamanya membela rakyat dan membenci kaisar lalim dan pembesar terkutuk. Aku mengamuk dan membunuh perajurit-perajuritmu karena mereka merampok dan menculik wanita!”
Kwee Siong tersenyum dan mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu, nona. Aku sudah tahu pula betapa kau dan kawanmu yang seorang lagi telah membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Akan tetapi, mengapa kau tiba-tiba menyerang Jenderal Li Goan? Mengapa kau dan kawanmu tiba-tiba berbalik pikiran dan berusaha mati-matian untuk membunuhnya?”
“Karena ia musuh besar Kam Kok Han! Karena dia yang memegang Oei Hong Kiam!” “Apa maksudmu?” tanya Kwee Siong dengan heran sekali. “Tak perlu aku banyak bicara. Pendeknya siapa saja yang menjadi ahli waris pedang Oei Hong Kiam, orang itu harus kubunuh!”
Tertarik sekali hati Kwee Siong mendengar ini. Ia sudah hampir dapat membuka tabir rahasia tentang penyerangan itu. Ia mendesak dan membujuk, akan tetapi benar saja, Ling Ling tidak mau menjawab lagi. Ia tidak mau membuka rahasia Bu Lam Nio, dan hanya menyatakan bahwa ia harus membunuh Jenderal Li Goan, karena jenderal itu membawa pedang Oei Hong Kiam.
Kwee Siong menjadi kewalahan menghadapi gadis yang keras kepala ini. “Bawa yang seorang lagi ke sini!” perintahnya kepada penjaga.
Berbeda dengan Ling Ling, Sui Giok masuk ke dalam ruangan itu dengan patuh dan tidak banyak memberontak. Ketika ia dihadapkan kepada Kwee Siong, Sui Giok mengangkat mukanya dan memandang, juga Kwee Siong memandang tajam. Dan. keduanya menjadi
pucat sekali. Baik Sui Giok maupun Kwee Siong seakan-akan melihat setan di siang hari, mata mereka terbelalak, mulut celangap, bibir gemetar dan tubuh menggigil.
“Siapa namamu?” tanya Kwee Siong menahan getaran hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar parau dan menggigil sehingga semua orang memandangnya dengan khawatir.
“Hamba bernama Liem Sui Giok, taijin. ” menjawab Sui Giok sambil menundukkan
mukanya untuk menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya. Ling Ling hampir saja berteriak saking herannya melihat sikap ibunya ini. Belum pernah ia melihat ibunya bersikap demikian lemah lembut dan tunduk.
“Dan........ dan ini........ ini anakmu. ?” Wajah Kwee Siong makin pucat dan suaranya makin
perlahan.
“Betul, inilah Ling Ling, puteri hamba ”
Terdengar teriakan keras dan ributlah semua orang di situ melihat betapa Kwee Siong roboh pingsan di atas bangkunya dengan kepala terkulai di atas meja. Dan yang amat mengherankan hati Ling Ling, ibunya berlutut sambil menundukkan muka dan menangis.
Dalam keadaan ribut-ribut, ibu dan anak ini dibawa kembali ke kamar tahanan, sedangkan Kwee Siong lalu digotong masuk ke dalam istana. Ia pingsan sampai lama sekali dan ketika siuman, ia menderita demam panas yang hebat. Ia menderita pukulan batin yang hebat sekali ketika ia melihat isteri dan puterinya telah menjadi orang-orang yang disebut siluman-siluman wanita.
Begitu siuman, ia berteriak-teriak dan kemudian jatuh pingsan lagi. Jenderal Li Goan cepat mencari ahli obat untuk memeriksanya dan memberinya obat. Semua orang berpendapat bahwa Kwee Siong terlampau lemah dan setelah ikut dalam peperangan yang melelahkan, sekarang kelelahan membuatnya jatuh sakit berat.
Malam hari itu, Sian Lun dipanggil oleh Jenderal Li Goan. “Kau pergilah ke tempat tahanan dan sedapat mungkin lanjutkan pemeriksaan pamanmu (Kwee Siong) atas diri dua orang wanita itu. Coba kau tanya dengan jelas, mengapa mereka itu membenci orang yang memegang pedang Peihk ini!” Jenderal ini sudah mendengar tentang hasil pemeriksaan itu dan hatinya ingin tahu sekali.
Kemudian Jenderal Li Goan lalu berpesan kepada Sian Lun agar supaya membebaskan kedua orang itu. “Mengaku atau tidak, kau harus bebaskan mereka. Biarlah mereka datang lagi kalau masih penasaran hendak membunuhku!” Jenderal ini tertawa. “Aku sudah siap menantinya.”
Demikianlah, malam hari itu sambil membawa surat perintah, Sian Lun menuju ke tempat tahanan. Sebelum ia tiba di tempat itu, Ling Ling dan ibunya bicara dengan asyik sekali. Berkali-kali Ling Ling membujuk ibunya agar suka menceritakan sikapnya yang aneh tadi, akan tetapi ibunya hanya menarik napas panjang.
“Tidak ada apa-apa, anakku, hanya bahwa dahulu aku pernah berkenalan dengan pembesar itu. Dia adalah kawan baik ayahmu dan. agaknya ia terharu melihat keadaan kita.
Sudahlah, tak perlu kau tahu lebih banyak akan hal ini dan tak perlu pula kau bicara dengan siapapun juga. Biar aku yang akan menyelesaikan sendiri urusan ini apabila dia sudah dapat memeriksa lagi.”
Ling Ling tak dapat mendesak ibunya yang nampak sedih dan selalu menangis itu. Dan pada saat itu, Sian Lun telah memperlihatkan surat kuasa kepada kepala penjaga, karena tanpa adanya surat kuasa dari Jenderal Li Goan, biarpun Sian Lun cukup dikenal sebagai panglima muda, tak mungkin ia diperkenankan masuk untuk bercakap-cakap dengan para tawanan.
Demikianlah disiplin yang amat baik dan keras dari Jenderal Li Goan.
Ketika melihat ada orang berjalan mendekati kamar tahanan mereka, Sui Giok menghentikan tangisnya dan Ling Ling memandang dengan marah ketika melihat bahwa yang datang adalah pemuda lihai yang kemarin bertempur dengan dia.