Halo!

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 32

Memuat...

Ia amat manis budi akan tetapi memegang disiplin teguh sekali. Di dalam pemeriksaan, ia amat jujur dan adil, pandai sekali memancing omongan pesakitan. Pandai pula ia mengangkat dan menyanjung-nyanjung pesakitan untuk kemudian dibantingnya sehingga banyaklah para pesakitan yang tadinya mati-matian menyangkal perbuatannya, terkena bujuk dan masuk dalam perangkap sehingga tanpa diminta lagi mereka itu dengan sukarela telah mengakui semua perbuatannya.

Di dalam pekerjaan ini, sistim yang dipergunakan oleh Kwee Siong jauh berbeda dengan sistim pengadilan di masa itu. Biasanya, seorang hakim mengandalkan alat penyiksaan untuk memaksa pesakitan mengakui perbuatannya.

Pendapat Kwee Siong lain lagi, karena menurut pendapatnya, pemeriksaan mengandalkan alat penyiksaan ini banyak sekali membuat orang-orang yang tidak bersalah terpaksa mengakui perbuatan pelanggaran yang sebenarnya tidak dilakukan, semata-mata karena tidak tahan terhadap siksaan-siksaan tadi. Dengan demikian terkenal di zaman itu banyak sekali orang tidak berdosa terpaksa menjalani hukuman, karena terpaksa mengakui perbuatan kejahatan yang tidak dilakukannya, dipaksa oleh alat-alat penyiksa tadi.

Algojo-algojo atau tukang-tukang penyiksa yang seperti raksasa itu diadakan di situ oleh Kwee Siong hanya untuk menakut-nakuti saja, dan mereka berempat ini jarang sekali turun tangan.

Setelah memeriksa surat-surat tuduhan dan laporan dari para pesakitan yang banyak sekali jumlahnya, Kwee Siong lalu memanggil nama seorang pesakitan. Dengan amat lancar dilakukan tanya jawab dan pemeriksaan terhadap para pesakitan, seorang demi seorang.

Cara memutuskan sesuatu perkara amat bijaksana dan kadang-kadang membuat para pembantunya diam-diam saling pandang dengan terheran-heran. Sebagai contoh dari pada kebijaksanaan pemeriksaan dan keputusan Kwee Siong yang dianggap aneh oleh para pendengarnya, adalah dua hal sebagai berikut.

Seorang bangsawan tua yang dekat dengan keluarga kaisar, ketika dibawa menghadap di ruangan itu, tidak mau berlutut di depan meja pengadilan.

“Berlutut!” bentak seorang algojo sambil memaksanya untuk berlutut. Karena tenaga algojo itu amat kuat, maka bangsawan tua itu terpaksa berlutut. Akan tetapi, begitu ia berlutut dan tangan algojo yang menekan pundaknya dilepaskan, ia berdiri lagi dengan tegak dan memandang kepada Kwee Siong dengan mata menentang.

“Tua bangka kurang ajar! Kau harus berlutut!” Alagojo itu berseru lagi dan mengangkat tangannya untuk mengancam bangsawan itu, akan tetapi terdengar Kwee Siong berkata. “Biarkan saja!” Kemudian ia memandang kepada bangsawan itu dengan sabar, dan ia mengenal bangsawan itu yang bukan lain adalah Cin Kui Ong, seorang yang berpangkat kepala urusan kebudayaan di zaman pemerintah Sui.

“Kiranya Cin Kui Ong taijin yang berdiri dihadapanku,” hakim ini berkata tenang, “kerajaan Sui telah musnah, apakah kau masih saja berkeras kepala dan hendak melakukan perlawanan dengan sikapmu yang angkuh?”

Cin Kui Ong meludah ke atas tanah dengan sikap yang menghina sekali. “Cih! Kerajaan boleh musnah, akan tetapi kesetiaanku takkan musnah, biarpun kau akan memenggal leherku. Aku Cin Kui Ong tidak boleh dipersamakan dengan segala siauwjin (orang rendah) she Kwee yang tidak ingat budi. Kau dulu mendapat anugerah kaisar dan sekarang kau berbalik memihak pemberontak. Apakah kau tidak malu menghadapi nenek moyangmu?”

Seorang algojo hendak turun tangan membungkam mulut yang amat menghina itu, akan tetapi Kwee Siong memberi tanda agar bangsawan itu dibiarkan saja bicara.

“Orang she Kwee!” Cin Kui Ong melanjutkan bicaranya dengan semangat membubung tinggi dan muka merah. “Telah beberapa keturunan aku orang she Cin mengabdi kepada kaisar, mengalami jatuh bangunnya kerajaan, akan tetapi belum pernah keluargaku berlaku khianat. Kami adalah orang-orang setia yang tidak akan takut menerima datangnya hukuman dari pihak pemberontak keji. Bagi kami, lebih baik mati sebagai seorang pahlawan terhadap kaisar!”

“Bagus, Cin Kui Ong! Kau masih bisa bicara tentang kepahlawanan dan kegagahan. Memang tepat sekali ucapanmu bahwa orang harus menjunjung tinggi kesetiaan, akan tetapi lupakah kau bahwa diatasnya kesetiaan masih terdapat kebajikan, prikemanusiaan, dan keadilan?

Apakah benar-benar kau tidak melihat betapa Kaisar Yang Te berlaku amat lalim dan tidak memperdulikan keadaan rakyat jelata? Lupakah kau betapa ratusan laksa jiwa rakyat kecil dikorbankan hanya untuk kesenangan dan nafsu dari kaisar yang angkara murka itu? Tidak tahu pulakah kau betapa pembesar-pembesar tinggi berlaku korup, memeras rakyat, menggendutkan kantongnya dan perutnya sendiri tanpa memperdulikan keluh kesah dan penderitaan rakyat?”

“Tak usah kau memberi petuah kepadaku, Kwee Siong! Dalam hal ini, kau yang masih muda mana dapat melampaui pengalamanku. Aku tahu, tidak buta mataku, aku tahu akan semua itu, akan tetapi aku orang she Cin tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu. Betapapun juga, kami adalah orang-orang yang patuh akan kewajiban, tidak sudi memeras rakyat, tidak sudi berlaku korup, patuh dan setia dengan setulusnya hati!”

Kwee Siong tertawa, “Kesetiaan membuta, ketulusan yang timbul dari hati lemah. Eh, orang she Cin, pernahkah kau yang melihat segala ketidak adilan itu menegur kaisar? Pernahkah kau turun tangan menghalangi kawan-kawan sejawatmu yang melakukan pekerjaan terkutuk itu?”

Untuk pertanyaan ini, Cin Kui Ong tak dapat menjawab. Akhirnya ia membela diri. “Urusan orang lain bukanlah urusanku. Kewajibanku telah kuselesaikan dengan hati bersih. Perduli apa dengan urusan orang lain. Thian tidak buta dan semua orang yang berbuat jahat pasti akan mendapat hukumannya sendiri.” “Nah, itulah kelemahanmu, Cin-taijin! Kegagahan tanpa disertai keadilan dan kebajikan akan menjadi kegagahan yang merusak. Kesetiaan tanpa disertai pertimbangan dan prikemanusiaan akan menjadi kesetiaan yang palsu. Setialah orang-orang yang berani menegur dan memperingatkan junjungannya dari pada kesesatan. Setialah orang-orang yang berani melakukan hal itu, tanpa memperdulikan nasib sendiri, tidak takut menghadapi murka raja.

Rakyat menderita hebat, yang makmur hanyalah orang-orang yang memegang pangkat, akan tetapi kau membutakan mata terhadap nasib rakyat jelata. Aku dapat melihat hal itu dan aku membantu perjuangan rakyat yang memang sudah seadil-adilnya. Pemimpin yang tidak pandai membawa rakyat ke arah kemakmuran sudah tak layak lagi disebut pemimpin. Kaisar diangkat bukan untuk menyenangkan diri sendiri, melainkan untuk berusaha ke arah kemakmuran rakyatnya, kekuatan negaranya!”

Mendengar uraian ini, diam-diam Cin Kui Ong menjadi kagum sekali. Terbukalah matanya bahwa kesetiaannya terhadap pemerintah Sui itu sama halnya dengan mendorong dan membela kejahatan merajalela. Akan tetapi, ia tetap mengangkat dada dan berkata.

“Kalau begitu, biarlah aku mengaku bahwa pemerintah Sui memang buruk. Dan sebagai seorang pembesar dari pemerintah yang buruk, aku siap untuk dihukum mati. Biarlah aku membayar kesalahan kerajaan Sui dengan kesetiaan dan nyawaku!”

Kwee Siong tersenyum girang. Ia memberi tanda kepada penjaga dan berkata, “Bebaskan dia! Kembalikan gedungnya yang disita dan bebaskan pula semua keluarganya!”

“Kwee Siong, kau menghinaku!” Cin Kui Ong berkata marah. “Lebih senang hatiku kalau kau menjatuhi hukuman mati kepadaku!”

Akan tetapi Kwee Siong menggelengkan kepalanya. “Tidak, Cin-taijin. Orang-orang bersemangat kesatria dan berjiwa pahlawan seperti kau amat dibutuhkan oleh rakyat yang perlu dipimpin. Pemerintahan baru membutuhkan tenagamu, dan kalau kau memang mencinta nusa dan bangsa, tentu kau akan suka menyumbangkan tenagamu!”

Demikianlah, Cin Kui Ong yang terheran-heran itu didorong keluar dari ruang sidang itu dan disuruh pulang. Hal ini amat mengherankan semua orang, akan tetapi perhitungan Kwee Siong memang tepat.

Sebelumnya ia memang telah tahu bahwa pembesar ini termasuk di antara para pembesar yang jujur dan adil, dan setelah kini dikeluarkan, ternyata kelak Cin Kui Ong akan merupakan seorang pembesar yang amat baik dan membantu lancarnya roda pemerintahan yang baru.

Keputusan kedua yang dijatuhkan kepada seorang pembesar muda bernama Oei Lok Cun juga mengherankan semua orang. Pembesar ini usianya baru tiga puluh tahun lebih dan tadinya ia berpangkat kepala bagian perbendaharaan.

Seperti juga Cin Kui Ong, ia ditawan sebelum sempat melarikan diri, karena ia tidak dapat pergi meninggalkan gedungnya yang penuh dengan harta bendanya. Sebelum melakukan pemeriksaan, Kwee Siong sudah membuat catatan riwayat hidup dan keadaan seorang pesakitan, maka ia tahu bahwa pembesar muda she Oei ini dulunya terkenal sebagai seorang pembesar tukang korupsi. Betapapun juga, ia hendak melihat sikapnya dulu, baru mengambil keputusan. Begitu dihadapkan dengan Kwee Siong, Oei Lok Cun lalu menjatuhkan diri berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.

Atas pertanyaan Kwee Siong, Oei Lok Cun menjawab bahwa dia adalah seorang bekas pembesar bagian perbendaharaan, mempunyai seorang putera dan tidak ikut mengungsi dengan kaisar karena katanya ia hendak tunduk terhadap pemerintah yang baru.

“Oei Lok Cun!” Kwee Siong membentak dengan suara keras. “Kau kini menyatakan hendak tunduk terhadap pemerintahan yang baru, apakah kau tahu siapakah para pemberontak yang kini menggulingkan kaisar?”

“Hamba tahu, hamba tahu!” jawab Oei Lok Cun cepat-cepat. “Yang menggulingkan kaisar adalah Jenderal Li Goan yang gagah perkasa dan adil.”

Marahlah Kwee Siong mendengar jawaban ini. “Bodoh! Tidak terbukalah matamu bahwa Li- goanswe hanya menjadi pemimpin yang terpilih oleh rakyat? Rakyat jelatalah yang menggulingkan pemerintah kaisar lalim. Tahukah kau? Rakyat jelata yang telah lama terinjak- injak dan tercekik yang bangkit menggulingkan kaisar!”

“Betul..... betul ” kata Oei Lok Cun gagap. “Hamba tadi lupa, rakyat jelatalah yang gagah

berani yang memberontak dan menggulingkan raja lalim!”

Kwee Siong tersenyum menyindir. Manusia yang tak dapat dipercaya, makinya di dalam hati. Anjing penjilat yang berbahaya.

“Hm, sekarang kau menyebut rakyat jelata yang gagah berani? Akan tetapi berapa banyak sudah uang suapan yang kau terima pada waktu rakyat diperas dan dipaksa menjadi pekerja paksa?”

Pucatlah muka Oei Lok Cun mendengar tuduhan ini. Dengan bibir gemetar dan tubuh menggigil, ia berkata, “Itu..... itu..... hamba terpaksa , taijin!”

“Terpaksa bagaimana?”

“Hamba..... hamba hanya menurut perintah kaisar...... hamba hamba tidak memakai uang

itu...... kalau taijin kehendaki, sekarang juga hamba akan kembalikan semua uang itu.....

sungguh mati, hamba tidak menggunakan uang itu, hamba mau menyerahkan kembali kepada taijin. ”

“Tutup mulutmu!” Kwee Siong membentak marah karena merasa ia akan diberi suapan secara demikian berterang dan tak tahu malu. “Kau kira aku semacam engkau? Kau bilang bahwa kau sekarang hendak menurut dan tunduk kepada pemerintah baru? Betul-betul kau bersumpah bahwa kau akan membantu kami?”

Gembiralah wajah Oei Lok Cun karena mendapat harapan baru.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment