Han yang gagah perkasa dan yang kemudian dibunuh secara mengecewakan. Pedang ini patut sekali dipergunakan sebagai pedang pusaka kerajaan baru, karena ia menjadi lambang kegagahan dan kepahlawanan seorang patriot besar.
Dengan pedang ini pula menteri-menteri dorna yang telah mengacaukan negara dan memeras rakyat akan kupenggal lehernya!” Sambil berkata demikian, Jenderal Li Goan lalu menggerak-gerakkan pedang itu sehingga nampaklah gulungan sinar kuning yang menyilaukan mata.
Sian Lun memandang kagum. Jenderal itu nampak agung, gagah, dan berpengaruh sekali memegang pedang yang sakti itu. Sebagai ganti jasa atas kemenangan Sian Lun, pemuda itu lalu menerima pengangkatan sebagai panglima muda dan menerima pula sebilah pedang pusaka, yakni pedang Gi-tiang-kiam, pedang mustika yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang Jenderal Li Goan.
Jenderal Li Goan lalu mengumpulkan semua pemimpin barisan yang kini telah diangkatnya menjadi perwira-perwira, dan dengan kata-kata keras ia memberi perintah,
“Cuwi-ciangkun! Berkat kerja sama dan semangat kepahlawanan seluruh barisan, akhirnya kita berhasil menggulingkan tahta kerajaan Kaisar Yang Te dan menduduki Tiang-an!
Sungguhpun kaisar sendiri berhasil mengungsi, akan tetapi kerajaan dan singgasana telah berada di tangan kita. Sekarang kita harus bertindak tegas, membuktikan kemauan kita yang baik dan perjuangan kita yang suci. Para pembesar yang kini masih berada di kota, tangkap dan tahan semua, akan tetapi jangan sekali-kali melakukan tindak hukum sendiri-sendiri.
Semua tawanan baru harus diserahkan kepada Hakim Agung kita, saudara Kwee Siong. Hanya dialah seorang yang berhak memutuskan hukuman atau pembebasan seorang tawanan. Juga awaslah terhadap penyelewengan-penyelewengan para perajurit!”
Pada saat Jenderal Li Goan sedang berunding dengan para perwira, tiba-tiba datanglah seorang perwira yang bicara dengan gugup.
“Celaka, tai-goanswe! Di sebelah barat jalan raya terdapat orang mengamuk. Banyak perajurit dia tewaskan dan kepandaiannya amat tinggi!”
Mendengar ini, Sian Lun lalu melangkah maju dan berkata, “Biarlah hamba diberi ijin menangkap perusuh itu!”
Li Goan memberi persetujuan dan berangkatlah Sian Lun keluar dari istana itu sambil membawa pedangnya Gi-tiang-kiam. Sebetulnya apakah yang terjadi di tempat keributan itu? Orang yang mengamuk itu bukan lain adalah Ling Ling bersama ibunya. Kedua orang wanita gagah ini, terutama sekali Ling Ling, sedang mengamuk hebat, dikeroyok oleh sepuluh orang perajurit dan sudah banyak yang roboh tewas di bawah pedang Ling Ling yang digerakkan sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya sinar merah yang menyilaukan saja.
Mengapa Ling Ling menjadi begitu marah dan mengamuk? Hal ini diakibatkan oleh penyelewengan para perajurit. Memang tidak mengherankan apabila di dalam suatu peperangan, pihak yang menang selalu tergoda oleh setan angkara murka dan bertindak sewenang-wenang. Demikianlah, maka banyak juga anggauta tentara dari barisan Jenderal Li Goan yang menang perang itu, setelah memasuki kota, lalu melakukan perampokan dan penculikan terhadap kaum wanita.
Serombongan tentara terdiri dari tujuh orang dengan kurang ajar sekali melakukan perampokan dan menyeret keluar orang-orang wanita, keluarga dari para bangsawan. Pekik orang-orang yang terbunuh, jerit wanita-wanita yang diculik keluar dari rumah, menarik perhatian Ling Ling dan ibunya yang juga diam-diam sudah ikut masuk ke dalam kota yang diduduki oleh barisan Jenderal Li Goan itu.
Ketika Ling Ling melihat tujuh orang perajurit merampok dan mengganggu wanita, ia menjadi marah sekali.
“Kurang ajar! Beginikah macamnya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai patriot- patriot?” bentaknya dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menjambak rambut kepala seorang tentara yang sedang menyeret seorang gadis bangsawan dan begitu ia mengerahkan tenaga, perajurit yang nyeleweng itu terlempar jauh, menjerit ketakutan dan ketika jatuh ke atas tanah ia tak dapat bergerak lagi. Ling Ling yang dibantu pula oleh ibunya lalu bergerak cepat dan tujuh orang perajurit yang berlaku sewenang-wenang itu sebentar saja menggeletak semua dalam keadaan terluka hebat.
Tentu saja para anggauta tentara lainnya yang melihat kawan-kawan mereka dihajar oleh dua orang wanita itu, lalu beramai-ramai menyerbu dan mengeroyok. Sebagian besar di antara mereka berlumba untuk dapat menangkap Ling Ling yang demikian cantik jelita.
Akan tetapi mereka itu kecele, karena gadis manis ini bukanlah sembarangan orang yang dapat ditangkap begitu saja. Belum juga mereka dapat mengulur tangan, tubuh mereka telah roboh kena pukulan atau tendangan Ling Ling dan ibunya yang mengamuk bagaikan dua ekor naga betina yang marah.
Sudah menjadi lazim bahwa di antara anggauta tentara terdapat rasa setia kawan yang amat besar. Mereka tentu saja selalu membantu kawan-kawan mereka tanpa memeriksa dulu apakah kawan-kawan itu bertindak salah atau bertindak benar.
Demikianlah, makin banyaklah perajurit-perajurit yang mengurung dan mengeroyok Ling Ling dan ibunya, bahkan kini mereka itu telah mencabut senjata dan kini tak seorangpun yang ingin menangkap dan memeluk Ling Ling, melainkan menyerang dengan maksud membunuh. Ling Ling dan ibunya sudah terlampau banyak merobohkan kawan-kawan mereka, melukai bahkan membunuh. Kini mereka mengamuk dan mengeroyok dua orang wanita itu untuk dibunuh. Akan tetapi, keroyokan yang sungguh-sungguh ini bahkan membuat Ling Ling dan ibunya makin menjadi marah. Kini Ling Ling dan tidak ragu-ragu lagi untuk mencabut pedangnya dan berkelebatlah sinar merah mengamuk dengan hebat sekali.
Para perwira yang mendengar keributan itu mulai tertarik dan datang ke tempat itu. Akan tetapi mereka juga tidak berdaya menghadapi Ling Ling yang sudah menjadi amat marah itu.
“Tidak tahunya pemberontak-pemberontak yang menggulingkan pemerintahan lama adalah perampok-perampok jahat!” seru Ling Ling di antara amukannya. “Sama halnya dengan mengusir harimau mendatangkan srigala! Ibu, mari kita basmi mereka semua ini!”
“Ling Ling!” teriak Sui Giok sambil memutar pedangnya, “jangan sembarangan membunuh! Cukup asal kau menjatuhkan mereka dengan melukai kaki mereka saja. Tak perlu kita melakukan pembunuhan. Lebih baik kita melaporkan kepada panglima yang berkuasa!”
Betapapun juga, Sui Giok masih lebih sabar dan dapat menduga bahwa tidak semua perajurit berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk kota itu yang sebagian besar terdiri dari para bangsawan. Akan tetapi mana Ling Ling mau menaruh hati kasihan kepada para pengeroyoknya?
Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Semua perajurit, mundur!” Dan berkelebatlah bayangan yang gesit sekali menghadapi Ling Ling dan Sui Giok. Perajurit-perajurit yang tadinya mengeroyok dua orang wanita itu, ketika melihat siapa orangnya yang datang, menjadi lega dan cepat melakukan perintah itu, dan melompat mundur menjauhi kedua orang wanita itu.
Ling Ling dan Sui Giok memandang dan mereka melihat seorang pemuda dengan pedang bersinar gemilang di tangan kanan berdiri dengan gagahnya. Adapun Sian Lun ketika melihat Ling Ling, ia menjadi kagum sekali dan untuk beberapa lama tak dapat mengeluarkan suara. Tak terasa lagi mereka berdua saling pandang sampai lama sekali dan akhirnya Sian Lun menjadi merah mukanya.
Bagaimana ia bisa tertarik kepada seorang gadis yang agaknya membantu kaisar dan telah merobohkan banyak sekali anak buahnya. Akan tetapi, untuk menegur gadis itu, hatinya merasa berat sekali.
Ketika melihat wanita kedua, seorang nyonya setengah tua yang juga cantik sekali, ia lalu menegur,
“Toanio, mengapakah kau dan kawanmu mengamuk dan membunuh banyak perajurit? Apakah kalian ini menjadi pembela-pembela kaisar lalim?”
Akan tetapi sebelum Sui Giok sempat menjawab, Ling Ling sudah mendahului ibunya dan membentak.
“Kaukah yang mengepalai semua bangsat-bangsat perampok ini? Bagus, kalau begitu rasakan tajamnya pedangku!” Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu maju menyerang dengan pedangnya yang bersinar merah. Sian Lun menjadi mendongkol dan marah sekali. Nona ini ternyata amat galak dan telah berani memaki perajurit-perajuritnya sebagai bangsat perampok. Tanpa banyak cakap iapun menangkis serangan itu dengan pedang Gi-tiang-kiam dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.
Terkejutlah keduanya ketika pedang mereka bertemu, karena mereka merasa betapa telapak tangan mereka pedas dan tergetar, sedangkan kedua pedang itu mengeluarkan titik bunga api. Pertempuran dilanjutkan dengan hebat dan makin lama keduanya menjadi makin heran, kagum dan kaget. Ilmu pedang lawan benar-benar kuat dan tinggi sekali. Mereka sama gesit, sama kuat dan sama pandai.
Betapun juga, lambat laun Ling Ling merasa betapa ilmu pedang pemuda itu benar-benar amat mengagumkan dan gerakannya lebih tenang dan kuat dari pada gerakan pedangnya sendiri. Memang, sesungguhnya Sian Lun masih menang sedikit ilmu pedangnya, karena selain ia telah menerima gemblengan dari suhunya, Beng To Siansu, iapun telah mewarisi ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat dari Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat akan tetapi kedua orang muda itu masih saling serang dengan hebatnya. Biarpun dalam keadaan terdesak, gadis yang tabah itu tidak menjadi gentar, bahkan ia lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan lawan. Bagi Sian Lun, ia makin tertarik kepada gadis ini dan hatinya tidak tega untuk melukainya. Maka ia berlaku hati-hati dan tidak mau melakukan serangan-serangan maut, sehingga keadaan mereka tetap berimbang.
Sui Giok merasa gelisah sekali. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, puterinya akan kalah. Akan tetapi, bagaimana ia dapat membantu?
“Ling Ling, hayo kita pergi dari sini!” teriaknya berulang-ulang karena kini para perwira lainnya telah mengurung tempat itu dan keadaan mereka amat terancam.
“Tidak, ibu. Sebelum aku berhasil merobohkan cacing tanah ini, aku tidak mau pergi?” jawab Ling Ling yang merasa penasaran sekali.
Beberapa orang perwira hendak maju membantu Sian Lun, akan tetapi begitu Sui Giok memutar pedangnya menghadapi mereka, senjata tiga orang perwira telah terpental dan tubuh mereka kena disapu oleh kaki Sui Giok sehingga terguling-guling. Melihat kehebatan nyonya ini, terkejutlah semua perwira dan mereka tidak berani lagi maju mendekati.
Pada saat itu, berkelebat bayangan orang tinggi besar dan terdengarlah seruannya yang menggeledek dan berpengaruh sekali.
“Sian Lun, tahan! Nona pedang merah, harap kau bersabar dulu!”
Mendengar seruan ini, Sian Lun lalu melompat mundur, karena yang datang adalah Jenderal Li Goan sendiri. Juga Ling Ling ketika melihat jenderal besar ini, menahan pedangnya. Akan tetapi ia berdiri tegak dan memandang kepada jenderal itu dengan pandangan mata tajam.
“Kau mau apa, goanswe?” tanyanya angkuh. Li Goan tersenyum dan berkata, “Kau dan panglimaku ini bertempur bagaikan dua ekor naga sakti saja! Sungguh hebat, sungguh indah dilihat, akan tetapi amat berbahaya!” Kemudian ia berpaling kepada Sui Giok dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata kepada ibu dan anak itu.
“Jiwi lihiap, baru kemaren jiwi membantu barisanku mengalahkan barisan kaisar, akan tetapi mengapa hari ini jiwi telah melakukan hal sebaliknya? Mengapa jiwi menyerang para perajuritku dan bahkan menyerang panglimaku? Sungguh aneh sekali jiwi ini, kemaren menjadi pembantu sekarang menjadi lawan!”
Jenderal ini bicara dengan suara yang jelas, tenang dan muka terang sehingga Sui Giok merasa malu. Akan tetapi Ling Ling menudingkan pedangnya kepada semua perajurit yang menggeletak di situ sambil berkata keras.