Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 28

NIC

Jenderal yang pandai dan telah banyak pengalamannya tentang siasat peperangan ini lalu memecah barisannya menjadi dua rombongan dan mengatur siasat untuk menyerbu Tiang-an dari dua jurusan, yakni dari selatan dan barat. Barisan yang menyerbu dari selatan akan dipimpin sendiri, adapun yang dari barat akan diserahkan kepada Liem Sian Lun untuk dipimpin.

Pengangkatan-pengangkatan diadakan, dan Kwee Siong dipilih sebagai penasehat dan sebagai hakim tertinggi yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman kepada para tawanan. Orang she Kwee ini yang memiliki sifat lemah lembut dan jujur, dipercayai untuk membujuk para tawanan sehingga mereka itu mau tunduk dan membantu perjuangan mereka.

Kalau tidak perlu, maka pertumpahan darah antara bangsa sendiri akan dicegah. Juga Kwee Siong mendapat tugas untuk memeriksa dan mengadili anggauta-anggauta sendiri yang menyeleweng. Pendeknya Kwee Siong mendapat kekuasaan penuh sebagai hakim tertinggi.

“Bahkan aku sendiri kalau dianggap menyeleweng dan tidak benar, saudara Kwee berhak untuk menangkap dan mengadili!” kata Jenderal Li yang gagah itu. Semua orang setuju sekali dan demikianlah, pada keesokan harinya barisan yang ratusan ribu orang jumlahnya itu dikerahkan, lalu bagaikan air bah barisan ini menuju Tiang-an.

Makin dekat dengan Tiang-an, dua barisan yang bergerak dari selatan dan barat ini makin bertambah jumlahnya karena banyaknya rakyat yang menjadi suka rela dan membantu perjuangan ini. Dengan girang Sian Lun melihat betapa di antara para sukarelawan ini banyak terdapat pendeta-pendeta Pek-sim-kauw. Kwee Siong ikut pula dalam barisan Sian Lun, karena Kwee Siong ingin berjuang dekat dengan keponakannya yang tercinta ini. Ketika kedua orang ini berangkat, mereka di antar oleh keluarga mereka, yakni nyonya Liem Siang Hong, nyonya Kwee Siong, dan Kwee Cun yang masih kecil.

“Kalau aku sudah besar, aku akan membantu engko Sian Lun bertempur!” kata Kwee Cun dengan gagah. Sian Lun memondong anak itu dan berkata,

“Kelak kau akan menjadi seorang yang lebih gagah dari pada semua pahlawan!”

Sian Lun memesan kepada ibunya agar baik-baik menjaga diri, sedangkan Kwee Siong yang sudah meninggalkan rumahnya di kotaraja, berpesan kepada isterinya agar isteri dan anaknya tinggal bersama dengan nyonya Liem Siang Hong.

Tepat sebagaimana telah diperhitungkan oleh Jenderal Li Goan, pertahanan barisan kerajaan di kota raja tidak kuat, karena balatentara kerajaan telah dipecah-pecah untuk memadamkan pemberontakan yang timbul di mana-mana. Hanya pasukan-pasukan yang kecil jumlahnya saja yang melakukan perlawanan terhadap barisan yang dipimpin oleh Jenderal Li Goan dan oleh Liem Sian Lun. Pasukan-pasukan kerajaan ini dengan mudah dihancurkan, sebagian besar ditawan dan bahkan ada yang menyerah dan menggabungkan diri dengan barisan pemberontak.

Liem Siang Hong memimpin pasukannya menyerbu kota raja dari barat, ketika sudah tiba di luar tembok kota, barisannya dihadang oleh sepasukan tentara kerajaan yang besar juga jumlahnya dan nampak kuat, teratur baik, dan dikepalai oleh seorang panglima berkuda putih yang tinggi besar. Panglima yang bertubuh seperti seorang raksasa itu duduk di atas kudanya dan suaranya seperti geluduk ketika ia menantang,

“Barisan pemberontak! Apakah kalian sudah bosan hidup dan berani menghadapi tentara dibawah pimpinanku?” Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang itu di atas kepala sehingga nampaklah sinar yang kekuningan dan terdengar suara nyaring ketika pedang itu memecahkan hawa disekitarnya.

Melhat lagak panglima barisan kerajaan Sui ini, Sian Lun diam-diam kagum. Pamglima itu benar-benar gagah dan amat pantas dalam pakaian perangnya.

“Siapakah dia, Kwee-siokhu (paman Kwee) ?” tanyanya kepada Kwee Siong yang duduk di atas kuda, di sebelahnya.

“Dia adalah seorang jenderal muda yang amat gagah perkasa, bernama Kwan Sun Giok. Ia dulu mengepalai barisan penjaga tapal batas di sebelah selatan. Hati-hatilah, Sian Lun. Ia amat gagah dan berkepandaian tinggi,” jawab Kwee Siong sambil mengerutkan kening.

Memang ia sudah mendengar nama jenderal muda ini yang benar-benar amat terkenal gagah perkasa tak terlawan.

Sementara itu, jenderal muda Kwan Sun Giok sudah melihat Kwee Siong, maka ia menudingkan pedangnya dan membentak keras.

“Orang she Kwee! Kau benar-benar anjing tak mengenal budi! Kaisar telah memberi anugerah kepadamu, akan tetapi siapa kira kau sekarang bahkan menggabungkan diri dengan pemberontak. Mana anjing tua Li Goan? Suruh dia maju dan lekas berlutut minta ampun untuk ku bawa menghadap kepada kaisar!”

“Kwan Sun Giok!” Sian Lun berseru marah sambil menggerakkan kudanya, maju menghadapi panglima itu. “Alangkah besar mulutmu! Kaisar yang lalim dan membikin sengsara rakyat tidak patut memegang pemerintahan lagi, dan kau orang yang tolol dan buta agaknya hanya mabok oleh kesenangan dan harta benda kotor yang diberikan oleh kaisar kepadamu. Tahukah kau harta benda siapa yang menyenangkan hidupmu? Keringat dan darah rakyatlah yang kaupergunakan untuk berfoya-foya setiap hari bersama seluruh pembesar- pembesar jahat. Untuk menghadapi orang macam kau, tidak perlu Li goanswe yang maju, cukup dengan pedangku saja!”

Bukan main marahnya Kwan Sun Giok mendengar ini. Ia membuka lebar-lebar kedua matanya dan memandang kepada Sian Lun.

“Siapa kau?” tanyanya dengan suara keras sehingga mengejutkan kuda yang ditungganggi oleh Sian Lun. “Aku tidak sudi berusan dan bicara dengan segala serdadu pemberontak. Suruh pemimpin barisan ini maju!”

“Akulah pemimpinnya,” jawab pemuda itu.

“Kau. !?? Kwan Sun Giok membelalakan matanya dan kemudian sambil berdongak, ia

tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya yang besar penuh arak. “Ha, ha, ha, ha! Agaknya anjing tua Li Goan sudah kehabisan panglima! Ia takut menghadapi aku dan menyuruh bocah ini mengantarkan nyawa. Ha, ha!”

“Sian Lun, jangan layani dia dan berilah perintah kepada barisan untuk menyerbu saja!” kata Kwee Siong perlahan, karena orang tua ini khawatir kalau-kalau Sian Lun tidak dapat menandingi perwira yang tangguh ini. Akan tetapi Sian Lun tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan bahkan menantang.

“Kwan Sun Giok, tak perlu banyak bertingkah dan menjual kesombongan. Kalau kau memang gagah, marilah kita bertempur mengadu kepandaian, disaksikan oleh barisan kita!”

“Baik, baik! Kalau kau dapat menangkan aku, biarlah semua tentaraku kau anggap kalah saja!” jenderal itu menantang sambil melompat turun dari atas kudanya.

Sian Lun juga melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya. Setelah berdiri di atas tanah, nampaklah oleh Sian Lun betapa panglima musuh itu benar-benar tinggi besar. Akan tetapi sedikitpun pemuda ini tidak merasa jerih dan berpesan kepada Kwee Siong agar supaya jangan menggerakkan tentara lebih dulu sebelum selesai pertandingan ini.

“Bocah yang masih ingusan!” Jenderal Kwan membentak sambil memutar pedangnya. “Bersiaplah untuk terima binasa!” Kemudian ia maju menyerbu dan mengirim bacokan dengan pedangnya.

Sian Lun melihat gulungan sinar kuning menyambar ke arahnya dan ia maklum bahwa selain pedang di tangan lawannya ini amat tajam dan berbahaya, juga tenaga lawannya benar-benar hebat. Ia cepat mengelak ke kiri, lalu membalas dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawannya. Kwan Sun Giok tercengang juga melihat kegesitan lawannya yang masih muda ini, maka ia cepat menggerakkan pedang dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang lawan. Akan tetapi Sian Lun bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia maklum akan tajamnya pedang lawan yang mengeluarkan sinar kuning itu, maka tentu saja ia tidak mau mengadu senjata.

Ia menarik kembali pedangnya dan cepat mengirim serangan-serangan lagi secara bertubi- tubi. Pedangnya berobah menjadi segulungan sinar putih yang amat kuat, lebar dan cepat gerakannya, berputar-putar bagaikan seekor elang mengitari dan menyambar kurbannya.

Makin heran dan terkejutlah Kwan Sun Giok menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Tak disangkanya sama sekali bahwa panglima pemberontak yang muda ini memiliki ilmu pedang yang demikian tingginya. Panglima kerajaan Sui ini lalu membentak nyaring dan mainkan ilmu-ilmu pedang yang banyak dipelajarinya.

Jenderal muda ini memang amat tangkas, bertenaga besar dan telah mempelajari banyak macam ilmu pedang., di antaranya dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali, bahwa biarpun pengertiannya amat banyak, namun tidak sebuahpun dari pada ilmu- ilmu pedang itu ia pelajari sampai sempurna.

Betapapun juga, tidak mudah bagi Sian Lun untuk mengalahkan lawannya dalam waktu singkat. Tidak saja gerakan jenderal itu cukup gesit dan tenaganya amat besar, akan tetapi terutama sekali karena ia tidak berani mencoba mengadu pedangnya dengan pokiam (pedang mustika) lawan.

Sian Lun hanya mengerahkan ginkangnya dan bergerak cepat sekali, mengirim serangan- serangan dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, dan kadang-kadang juga mengeluarkan ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang dipelajarinya dari Beng To Siansu. Akan tetapi ternyata bahwa jenderal itupun mengenal ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat, maka dapat mengimbanginya. Terpaksa Sian Lun lalu mengerahkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang benar-benar hebat dan belum dikenal oleh jenderal ini.

Setelah bertempur lima puluh jurus belum juga berhasil mengalahkan Sian Lun, Jenderal Kwan Sun Giok lalu membentak sambil menahan pedangnya.

“Tunggu dulu, aku tidak suka bertempur melawan orang yang tidak bernama! Melihat ilmu pedangmu, kau tentu seorang murid dari guru yang pandai. Siapa namamu dan siapa pula gurumu?”

Posting Komentar