Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 27

NIC

Pada jurus ke dua puluh dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Ombak, Sian Lun memperhebat gerakan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terengar suara nyaring dan keras sekali dan tahu-tahu lima batang pedang dari pendeta-pendeta itu terlepas dari pegangan dan terlempar jauh.

Tentu saja lima orang pendeta itu berdiri dengan melongo saking herannya. Hanya suhu mereka saja yang dapat mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat sedemikian hebatnya.

“Dari manakah kau mencuri ilmu pedang kami?” Pek Im Ji berseru sambil memandang tajam.

Akan tetapi, Sian Lun tidak menjawab, hanya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kiri sambil berseru,

“Suhu !”

Lima orang pendeta itu terkejut dan cepat menengok ke kiri dan benar saja, Liang Gi Cinjin telah berdiri di situ sambil tersenyum. Hal ini menunjukkan pula betapa tajam pemandangan mata dan pendengaran pemuda ini, jauh lebih lihai dari pada mereka yang tidak mengetahui bahwa suhu mereka telah berada di situ. Cepat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut pula dihadapan Liang Gi Cinjin.

“Kembali kalian berlima telah menurutkan nafsu untuk maju mengeroyok pemuda ini. Baiknya kalian ketahui bahwa tiada baiknya mempergunakan kekerasan karena di dunia ini masih banyak orang yang lebih pandai dari pada kita. Ketahuilah bahwa pemuda ini adalah muridku sendiri, atau juga sute (adik seperguruan) kalian yang jauh lebih berhasil dalam mempelajari ilmu silat daripada kalian berlima.”

Sian Lun lalu berpaling kepada suheng-suhengnya dan berkata,

“Mohon suheng sekalian sudi memberi maaf kepadaku yang kurang ajar!”

“Tidak apa, sute, bukan salahmu karena kami berlimalah yang menyerangmu lebih dulu.” Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali melihat kemajuan Sian Lun. Ia benar-benar merasa puas dan tidak sia-sialah ia mewariskan ilmu kepandaiannya kepada pemuda ini. Ia lalu mengajak semua muridnya masuk ke dalam dan berkatalah Liang Gi Cinjin kepada Sian Lun,

“Muridku, menururt berita yang sampai di sini, di kotamu, yakni Tai-goan, telah mulai ada pergelokan. Agaknya jenderal Li Goan telah bergerak pula dan menurut pendengaranku, jenderal ini adalah seorang bijaksana dan gagah perkasa. Kau pulanglah dan coba kau perhatikan sepak terjang para pejuang itu dari dekat. Kalau aku tidak salah, Li Goan inilah orangnya yang patut kita bantu.”

Kemudian ia memberi perintah kepada Pek-sim Ngo-lojin untuk memberitahukan semua anggauta Pek-sim-kauw agar supaya di manapun juga cabang mereka berada, suka membantu pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan kejam.

Maka setelah kakek sakti ini selesai memberi wejangan, bubarlah enam orang muridnya itu. Sian Lun langsung melanjutkan perjalanan ke Tai-goan, sedangkan kelima orang pendeta itu lalu berpencar untuk menghubungi anak buah mereka di berbagai kota.

Kemudian ternyata bahwa bantuan para pendeta Pek-sim-kauw ini merupakan dorongan yang besar sekali, dan tenaga mereka benar-benar amat berjasa dalam perjuangan menumbangkan pemerintah Sui yang sudah tak disukai rakyat lagi.

Adapun Liem Sian Lun segera keluar dari kota Ceng-tu dan menuju ke timur. Akan tetapi, baru saja ia keluar dari kota, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu Liang Gi Cinjin telah berada di sampingnya. Sian Lun cepat memberi hormat kepada gurunya ini sambil memandang heran.

“Sian Lun, sesungguhnya dalam keadaan kacau seperti ini, tidak semestinya aku memberitahukan ini. Akan tetapi sukarlah bagiku untuk menahan keinginan hatiku ini. Aku telah bertemu dengan seorang gadis yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan ia adalah ahli waris dari seorang yang dulu amat kuhormati. Ia telah mewarisi ilmu silat dari sahabatku, Panglima Besar Kam Kok Han dan tentang ilmu pedangnya, mungkin hanya dia yang akan dapat menghadapi Pek-sim-kiam-hoat. Melihat keadaan gadis itu, sebelum kau datang, telah timbul niat dalam hatiku untuk menjodohkan kau dengan dia. Hal ini tentu saja terserah kepadamu dan kepada orang tuamu, akan tetapi aku yakin bahwa kalau ayahmu mendengar bahwa gadis itu adalah ahli waris Panglima Kam Kok Han yang besar dan terkenal, pasti ia akan setuju juga. Nah, puaslah hatiku telah menyampaikan hal ini kepadamu, muridku.

Ketahuilah bahwa aku telah memberikan pedangku Pek-hong-kiam kepadanya, maka mudah saja kau mengenalnya apabila kau melihat pedangnya.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sian Lun, kakek itu berkelebat pergi.

Sampai beberapa lama Sian Lun berdiri dengan muka merah, dan ia heran sekali melihat sikap suhunya ini. Benar-benar orang-orang tua di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya.

Kemudian Sian Lun melanjutkan perjalanan. Ia melihat berbondong-bondong rakyat mempersatukan diri dan ikut dalam perjuangan menyerang tentara Sui yang berada di daerah mereka. Di mana-mana orang memegang pedang dan tombak sehingga suasana menjadi panas sekali.

Hal ini membuat Sian Lun makin ingin lekas-lekas tiba di rumah dan ia mempercepat perjalanannya. Apalagi setelah ia tiba di daerah Tai-goan dan mendengar bahwa kini Tai-goan sudah bergolak dan Jenderal Li Goan sudah mengumpulkan balatentara untuk menyerang kota raja.

Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarganya, ia melihat di depan tergantung kain putih dan di ruangan depan nampak duduk banyak sekali tamu.

Ibunya sedang bersembahyang, menyembayangi meja tanpa ada peti matinya. Sian Lun melompat maju dan memeluk ibunya.

“Ibu....., ada apakah....? Siapa.... siapa yang ?” Nyonya yang sedang menangis itu

menengok dan melihat Sian Lun, ia menubruk puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Di antara tangis dan sedu sedan, nyonya Liem menceritakan kepada anaknya betapa Liem Siang Hong telah dihukum mati oleh kaisar.

Bukan main seduh dan marahnya hati Sian Lun mendengar ini. Dengan air mata bercucuran ia berlutut di depan meja sembahyang itu dan tanpa memperdulikan pandangan semua mata yang berada di situ, ia bersumpah keras-keras.

“Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini, untuk membantu perjuangan menumbangkan pemerintahan yang lalim dan untuk mencari serta membunuh kaisar jahat itu.”

“Anak muda, bangunlah! Berlakulah tenang. Ucapanmu tadi lebih mudah dikeluarkan dari mulut dari pada dilaksanakan!” terdengar suara yang berpengaruh dan sebuah tangan yang amat kuat memegang pundaknya.

Sian Lun merasa terkejut sekali karena merasa betapa tangan ini telah mengerahkan tenaga menekan pundaknya dengan kekuatan yang sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya. Ia cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan tekanan ini dan dengan gerakan pundak yang gesit ia berhasil melepaskan pundaknya lalu bangun berdiri.

Ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah sekali. Orang ini berpakaian sebagai seorang panglima, seperti pakaian ayahnya dan untuk beberapa lama Sian Lun tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.

“Sian Lun, berilah hormat kepada Li-goanswe (Jenderal Li),” kata ibunya.

Mendengar ucapan ini, teringatlah Sian Lun bahwa ia sedang berhadapan dengan Jenderal Li Goan pemimpin besar yang gagah perkasa dan namanya telah terkenal di seluruh daratan Tiongkok itu. Cepat-cepat ia memberi hormat dan mengusap air matanya, karena dihadapan seorang gagah, ia merasa malu untuk mengeluarkan air mata.

Jenderal itu lalu menarik tangan Sian Lun, diajak bicara di ruang dalam, diikuti oleh Nyonya Liem Siang Hong yang menggandeng tangan puteranya. Ketika mereka berada di dalam, ternyata di ruang itu telah penuh dengan para orang-orang terkemuka, yakni pemimpin daripada pemberontakan yang dikepalai oleh jenderal Li Goan. Ketika Sian Lun datang, di dalam ruang itu sedang diadakan pertemuan yang merundingkan tentang pergerakan mereka. Di antara mereka terdapat juga Kwee Siong, yang segera menyambut dan memeluk Sian Lun sambil mengeluarkan airmata juga. Sian Lun amat terharu dan girang melihat pamannya yang amat dikasihinya itu berada pula di tempat itu.

“Kebetulan sekali putera mendiang saudara Liem Siang Hong telah datang dan melihat keadaannya, aku percaya bahwa di antara kita semua, dia seoranglah yang paling boleh dihandalkan tenaganya!” kata jenderal itu kepada semua orang yang hadir. “Kita amat membutuhkan tenaga seperti Liem Sian Lun ini dan alangkah bahagia rasa hatiku bisa mendapat bantuannya?”

“Aku akan membantu sekuat tenaga!” kata Liem Sian Lun dengan penuh semangat. “Kalau perlu, sekarang juga hamba bersedia untuk menyerbu!” sambungnya sambil menghadapi jenderal yang gagah itu.

Jenderal Li Goan lalu melanjutkan siasat dan rencananya yang tadi tertunda oleh kedatangan Sian Lun. Dengan singkat ia menceritakan tentang tugas yang dilakukan oleh mendiang panglima Liem Siang Hong dan betapa panglima itu tewas karena dihukum oleh kaisar.

“Sekaranglah waktunya bagi kita untuk bergerak dan menggempur Tiang-an,” katanya. “Balatentara kaisar sedang dikerahkan ke berbagai daerah untuk membendung barisan-barisan petani yang sedang membanjir dari segala jurusan. Kalau kita melakukan serangan tiba-tiba, tidak akan sukar bagi kita untuk merebut dan menguasai Tiang-an.

Posting Komentar