Liang Gi Cinjin mengangguk-angguk, kemudian ia berkata, “Jadi demikianlah kalian dapat mewarisi kepandaian itu? Hm, aku sudah menduga bahwa kitab rahasia kawanku yang bernasib malang itu tentu dilarikan oleh seorang pelayannya yang setia. Syukurlah, kau mempunyai bakat baik sekali, nona kecil, dan patut menjadi ahli waris sahabatku Kam Kok Han yang malang. Dan di manakah adanya bini muda sahabatku itu? Apakah dia masih hidup?”
Mendengar pertanyaan ini, Sui Giok lalu menangis, teringat kepada Bu Lam Nio yang dikasihinya. Ling Ling memeluk ibunya dan menghiburnya. “Locianpwe,” kata Ling Ling, “sungguh mengherankan sekali kalau locianpwe tidak mengetahui hal itu. Yang disebut iblis wanita dan yang dibunuh oleh anak murid locianpwe, sesungguhnya adalah Bu Lam Nio itulah!”
“Apa !” Liang Gi Cinjin merasa lemas tubuhnya dan ia menjatuhkan diri duduk di atas
bangkunya. Ia merasa menyesal sekali dan hendak marah kepada anak muridnya, akan tetapi apa hendak dikata? Hal itu terjadi dan sesungguhnya bukan salah pihak murid-muridnya.
“Coba ceritakan tentang Bu Lam Nio itu, mengapa ia menjadi begitu galak dan menyeramkan keadaannya?”
Sui Giok lalu menceritakan tentang kesengsaraan Bu Lam Nio dan kakek itu mengangguk- angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. “Kasihan sekali wanita itu,” katanya, “akan tetapi sudahlah. Sesungguhnya semua peristiwa itu terjadi karena salah mengerti. Akan tetapi, yang amat mengecewakan hatiku adalah keadaanmu, terutama sekali puterimu yang masih muda ini. Ilmu silat keluarga Kam adalah ilmu silat dari keluarga patriot, dari keluarga pendekar besar yang rela mengorbankan nyawa demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, sungguh harus disesalkan bahwa ilmu silat itu akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tahu sama sekali tentang kepahlawanan. Kalian menuntut penghidupan liar di dalam hutan, sehingga oleh orang-orang disebut iblis-iblis wanita, bukankah ini amat merendahkan nama baik keluarga Kam? Negara sedang kacau balau, rakyat sedang sengsara mengalami penindasan dari kaisar yang lalim. Mengapa kau tidak mau membela rakyat? Rakyat di mana-mana sedang bergerak untuk maksud yang mulia, mengapa kalian bahkan menakut-nakuti rakyat? Ah, sayang sekali, kalau ilmu silat itu masih berada di tangan Kam Kok Han, tentu ia dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Sayang ilmu itu berada di tangan seorang bocah perempuan yang masih hijau, bodoh dan bisanya hanya marah-marah saja.”
Bukan main panasnya hati Ling Ling mendengar ucapan ini. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berkata dengan mata terbelalak,
“Liang Gi Cinjin! Aku bersikap hormat terhadapmu, akan tetapi sebaliknya kau memaki- makiku sesuka hatimu! Kau kira aku ini orang macam apakah? Apa kau kira hanya orang- orang laki seperti kau saja yang bisa berjasa terhadap tanah air dan bangsa? Apakah kau kira hanya kalian saja yang telah merasai kesengsaraan akibat kelaliman kaisar? Aku sendiri, bersama ibuku ini, telah menjadi korban “kelaliman kaisar”! Aku sendiri akan mengambil kepala kaisar! Kau dengar ini? Aku akan mengambil kepala kaisar! Dan kau harus menarik kembali omonganmu tadi, kalau tidak, aku akan menganggap kau sebagai musuh besarku dan pada suatu hari aku pasti akan membuat perhitungan denganmu!”
Aneh sekali, melihat gadis itu marah dengan muka merah dan mata terbelalak berdiri dengan mengangkat dada dan mengedikkan kepala sehingga Sui Giok menjadi kaget, malu, dan tidak enak hati, kakek itu bahkan menjadi terharu sekali. Akan tetapi, ia tersenyum puas dan dari kedua matanya menitik air mata.
“Kau? Kau hendak mengambil kepala kaisar? Ha, ha! Kau hanya bisa membuka mulut besar! Menarik kembali omonganku? Gampang saja kau buktikan dulu kesombonganmu tadi! Kalau sudah terbukti bahwa kau adalah seorang dara perkasa yang benar-benar pendekar, barulah aku orang tua pikun hendak menarik kembali omongan tadi! Ha, ha, ha!” Kakek ini lalu berjalan ke arah sebuah peti, mengeluarkan sebatang pedang berikut sarungnya, lalu berkata.
“Aku tidak main-main, benar-benar aku menantangmu untuk memenuhi ucapanmu yang sombong tadi. Kau hendak mengambil kepala kaisar? Nah, terimalah pedang ini. Aku mau bukti, bukan omongan besar yang kosong melompong! Pedang ini bernama Pek-hong-kiam, dulu menjadi saudara dari pedang Oei-hong-kiam yang dipegang oleh Kam Kok Han dan yang lenyap entah di mana adanya! Buktikan omonganmu tadi, dan baru aku percaya kalau tercium olehku darah kaisar pada pedang ini!”
Baik Sui Giok maupun Ling Ling terkejut dan terharu sekali mendengar bahwa pedang itu adalah pedang yang sejajar dengan Oei-hong-kiam, pedang yang dirampas oleh pembunuh Kam Kok Han sebagaimana yang dipesankan oleh Bu Lam Nio. Nenek itu dulu berpesan agar supaya Ling Ling mencari pemegang pedang Oei-hong-kiam, karena pedang ini adalah pedang Kam Kok Han yang dirampas oleh pembunuhnya sehingga siapa saja yang memegang pedang Oei-hong-kiam tentu mempunyai hubungan dengan pembunuh Panglima Kam itu.
Ling Ling masih marah sekali, akan tetapi ia menerima pedang itu berkata, “Baiklah kita sama lihat saja. Setelah selesai tugasku, aku akan mengembalikan pedang ini sebagai bukti, dan kau orang tua harus menarik kembali omonganmu yang amat menghina!” Setelah berkata demikian, Ling Ling memegang tangan ibunya dan membawanya lari keluar dari tempat itu.
Kembali para pendeta memandang dengan melongo ketika melihat dua orang wanita ini berlari cepat sekali dari ruang Liang Gi Cinjin.
Adapun kakek itu, setelah Ling Ling dan ibunya pergi, berkata seorang diri, “Mudah- mudahan ia berhasil! Ia seorang murid yang amat baik, bahkan belum tentu kalah baik
oleh Sian Lun!” Tiba-tiba wajahnya berseri karena ia teringat akan sesuatu. “alangkah baiknya, alangkah cocoknya! Benar, bagus sekali! Ah, semoga keduanya akan dapat melewati masa kacau ini dengan selamat sehingga akan tercapai maksudku!” Ucapan ini adalah akibat dari pikiran kakek itu yang melihat betapa baiknya apabila terikat tali perjodohan antara gadis tadi dengan Sian Lun.
******
Memang benar sebagaimana yang terdengar dalam percakapan antara Liang Gi Cinjin dan Beng To Siansu, kaisar Yang Te yang lalim dan hanya mengingat untuk melampiaskan nafsunya sendiri itu, telah membuat rakyat amat tergencet dan sengsara.
Mulailah timbul pemberontakan-pemberontakan di mana-mana. Pertama-tama pemberontakan timbul di propinsi Santung dan Hopak, setelah kaisar memimpin balatentara menyerang Korea. Seorang patriot besar bernama Wang Po telah menulis sajak yang membongkar semua keburukan pemerintah Sui, dan ia lalu memimpin barisan pemberontak yang terdiri dari para petani di pegunungan Cingpai di propinsi Santung.
Juga di sepanjang lembah Yang-ce-kiang dan sungai kuning, timbullah pemberontakan yang besar jumlahnya. Makin lama barisan pemberontak ini makin meluas sehingga mereka mulai menduduki kota-kota dan dusun-dusun. Seorang pemimpin pemberontak lain bernama Li Mi memimpin barisan pemberontak di Honan. Memang tadinya para pemberontak yang terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok ini seringkali kena pukul mundur oleh tentara kerajaan Sui akan tetapi mereka ini makin lama makin besar jumlahnya dan mulai bersatu dengan barisan lain.
Ketika tentara kerajaan dari utara hendak menyerang barisan pemberontak yang dipimpin oleh Li Mi, seorang pemimpin lain yang bernama Tou Cian Tek memimpin pasukan pemberontak yang besar bergerak dari Santung ke Hopak dan memotong pasukan kerajaan yang hendak menyerang barisan pemberontak Li Mi. Demikianlah, mulai ada kerja sama antara barisan pemberontak sehingga tentara kerajaan dapat dipukul di sana sini.
Seorang pemimpin pemberontak lain yang penting untuk disebut adalah Tu Fu Wi, yang memimpin barisannya di sebelah selatan sungai Huai dan yang menyerang tentara Sui di Yangkou. Masih banyak lagi jumlahnya barisan-barisan pemberontak yang dipimpin oleh orang-orang gagah dan pandai, semua dengan tujuan sama, yakni menumbangkan pemerintah korup dari kerajaan Sui di bawah pimpinan kaisar Yang Te yang lalim.
Akhirnya, seorang jenderal besar yang amat gagah perkasa dan terkenal, yakni jenderal kerajaan Sui yang bernama Li Goan, yang sudah lama merasa tidak suka dengan pemerintahan Kaisar Yang Te, memberontak pula. Jenderal ini berkedudukan di Taigoan dan ia memimpin ratusan ribu tentara menyerang dan menduduki Tiang-an. Hal ini terjadi pada tahun 617 (Masehi).
Sebelum Jenderal Li Goan memberontak, terjadilah peristiwa yang hebat di kota Taigoan. Liem Siang Hong, panglima yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa itu, adalah seorang panglima kepercayaan Li Goan.
Biarpun Liem Siang Hong menjadi orang bawahan jenderal Li Goan, akan tetapi perhubungan mereka seperti sahabat-sahabat baik saja. Mereka saling kunjung-mengunjungi dan dalam segala hal mereka sependapat.
Juga Kwee Siong, yang kini telah pindah ke kota raja, kenal baik dengan jenderal Li Goan dan panglima ini amat suka kepada Kwee Siong yang berotak cerdas dan berpemandangan luas.
Pada suatu hari, beberapa bulan sebelum Li Goan memberontak, jenderal ini memanggil Panglima Liem Siang Hong untuk mengadakan perundingan penting. Ketika Liem Siang Hong sudah tiba, jenderal Li Goan membawanya ke kamar kerjanya dan menutup semua pintu dan jendela. Liem Siang Hong merasa heran melihat sikap rahasia ini, dan ia tidak merasa heran lagi ketika mendengar jenderal itu berbicara.
“Saudara Liem, kau tentu sudah mendengar tentang keadaan yang makin buruk dari pemerintah Sui. Sungguh menggemaskan mengapa kaisar masih saja menulikan telinga terhadap semua nasehat para tiong-sin (menteri setia dan jujur), sebaliknya bahkan mendengarkan hasutan-hasutan para kan-sin (menteri durna)! Tenaga rakyat diperas habis- habisan, dan selagi keadaan negara masih kalut dan lemah, bahkan melakukan penyerangan mati-matian ke utara!”
Liem Siang Hong menarik napas panjang. “Memang hal ini amat buruk dan patut disesalkan, Goanswe (bapak jenderal). Akan tetapi apakah yang harus dan dapat dilakukan oleh orang- orang militer seperti kita? Kita hanya menanti perintah, dan para menteri dorna yang lemah itu bahkan berkuasa untuk memegang kendali pemerintahan, mengatur segala urusan dengan maksud memenuhi kantong sendiri. Sungguh menyebalkan!”
“Kau, keliru, Liem ciangkun! Dalam keadaan seperti ini, biarpun kita tidak memegang jabatan sebagai pengurus-pengurus negara, namun kita harus menghadapi kenyataan dengan pikiran tenang dan matra waspada. Kalau negara terancam oleh barisan tentara asing, serahkanlah kepada kita yang akan menghancurkan mereka atau mengorbankan nyawa dalam perang.
Akan tetapi, jangan menyuruh aku melakukan penyembelian terhadap tentara pemberontak yang sesungguhnya adalah rakyat jelata yang sudah tidak sudi lagi dijadikan landasan kaki para menteri dorna berikut kaisar yang lalim. Aku masih cukup setia dan selama ini aku mengendalikan nafsu agar jangan ikut memberontak. Akan tetapi, aku sekarang hendak menghadap kaisar dan memberi nasihat terakhir. Kalau beliau tidak menurut nasehatku, menarik mundur barisan dari timur dan memperbaiki keadaan rakyat yang sengsara, aku akan memihak kepada pemberontak!”
Liem Siang Hong mengerutkan alisnya. “Berbahaya sekali tindakan ini, goanswe. Untuk memberi nasehat kepada kaisar, rasanya tidak perlu goanswe berangkat sendiri. Biarlah aku yang mewakili goanswe dan membawa surat untuk disampaikan kepada kaisar.”