Halo!

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 24

Memuat...

Bukan main berbahayanya serangan ini yang merupakan serangan maut. Akan tetapi Ling Ling yang bersikap tenang, memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Ia merendahkan tubuhnya sehingga serangan kedua tangan itu tidak mengenai kepalanya dan dengan gerak cepat, kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram ke arah ujung lengan baju itu.”

“Brett!!” ketika Pek Hong ji yang serangannya gagal itu melompat ke belakang, ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terobek oleh cengkeraman tangan Ling Ling dan kini robekan baju itu berada di tangan gadis itu.

“Hebat, hebat!” kata pendeta itu sambil menghela napas. “Kau cukup pandai untuk menghadapi twa-suheng, nona!” Pendeta ini diam-diam berterima kasih atas kemurahan hati Ling Ling, oleh karena kalau gadis itu mau, bukan ujung lengan bajunya yang robek, akan tetapi bagian lain yang berbahaya dari tubuhnya.

Ling Ling sudah nampak lelah sekali, dan ibunya mengetahui akan hal ini. “Ling Ling, biarlah rintangan terakhir ini aku yang menghadapinya. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Liang Gi Cinjin, ketua mereka!”

Ling Ling dapat menyetujui pendapat ibunya ini, akan tetapi ia merasa khawatir oleh karena dapat menduga bahwa ilmu kepandaian murid pertama itu tentulah lebih lihai lagi. Pada saat itu mereka telah maju sampai di pintu ruangan dalam dan di situ telah menanti Pek Im Ji yang berdiri dengan gagah sambil memegang pedang.

“Totiang,” kata Sui Giok sambil maju menghadapi tosu itu, “belum cukupkah kami mengalahkan empat orang saudaramu? Lebih baik kau mempersilahkan gurumu keluar agar dapat bertemu dengan kami.”

Pek Im Ji terkenal paling sabar di antara semua saudaranya. Ia tersenyum dan memandang kagum.

“Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa kalian dua orang wanita lemah ini dapat mengalahkan empat orang suteku. Ketahuilah bahwa kami telah diberi tugas oleh suhu untuk menjaga di sini, maka sebelum kau mengalahkan pedangku ini, jangan harap akan dapat bertemu dengan suhu. Aku telah mendengar bahwa kalian orang-orang yang dijuluki iblis wanita di lembah sungai Cialing, dan mengapakah kalian masih mendesak terus kepada kami? Suhu telah menganggap habis urusan dengan kalian berdua, mengapa kalian datang mencari penyakit?

Seandainya kalian bisa menangkan aku, apakah kalian dapat melawan suhu?”

Mendengar ucapan ini, Sui Giok lalu berkata, “Totiang, kau keliru. Kami datang bukan hendak berlaku kurang ajar terhadap Liang Gi Cinjin, kecuali kalau orang tua itu masih merasa penasaran atas kematian murid-muridnya dan hendak menyerang kami, terpaksa kami takkan mundur demi membela kebenaran.

Ketahuilah bahwa sampai saat inipun, kami tidak merasa salah dan bahkan kami hendak mengadukan perbuatan para pendeta Pek-sim-kauw kepada orang tua itu untuk minta pertimbangan yang adil. Kamipun bukan orang-orang yang mencari permusuhan, dan kami takkan mengganggu apabila tidak diganggu lebih dulu. Maka, kau mundurlah dan biarkan kami bertemu dengan suhumu.”

“Enak saja kau bicara! Apakah kau suruh aku melalaikan kewajibanku menjaga di sini? Tidak bisa, kalian harus mencoba dulu pedangku!” pendeta itu berkeras.

“Baiklah, kau yang mencari perkara, bukan aku!” Sui Giok lalu mencabut pedangnya dan sebentar kemudian kedua orang ini bertempur dengan sengit.

Pada saat itu, seorang pendeta tingkat dua, kembali melaporkan kepada Liang Gi Cinjin, “Sucouw, celaka, Ji suhu juga telah kalah dan sekarang iblis-iblis wanita itu bertempur melawan twa-suhu!”

Terbelalak mata kakek itu ketika mendengar disebutnya “iblis wanita”, “Apa katamu? Siapa yang datang?”

“Mereka adalah dua orang iblis wanita itu, sucouw.” “Yang disebut Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li?” “Benar sucouw. Mereka mengamuk hebat!”

Mendengar ini, Liang Gi Cinjin lalu bertindak keluar dan benar saja, ia melihat betapa muridnya yang tertua, yakni Pek Im Ji, sedang terdesak hebat oleh ilmu pedang yang dimainkan secara luar biasa sekali oleh seorang gadis muda yang cantik jelita.

Tadi ketika melihat gerakan Pek Im Ji, Ling Ling maklum bahwa ibunya takkan dapat menang, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berseru. “Ibu, silakan mundur, biar anak yang memberi rasa kepada pendeta ini!”

Sui Giok memang merasa betapa tangguhnya lawan ini, maka terpaksa ia melompat mundur, digantikan oleh anaknya. Setelah Ling Ling maju dan mainkan pedangnya Pek Im Ji merasa terkejut sekali.

Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini masih sama dengan ilmu pedang yang dimainkan oleh nyonya cantik itu, akan tetapi jauh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih aneh gerakannya.

Sebentar saja ia terdesak hebat dan terkurung oleh sinar pedang di tangan Ling Ling.

Melihat gerakan ilmu pedang gadis itu, Liang Gi Cinjin berdiri dengan mulut sedikit terbuka. Hampir ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Ia memandang dengan penuh perhatian, dan mengikuti setiap gerakan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-hoat dengan kening berkerut. Tidak salahkah penglihatannya?

Dalam jurus keempat puluh dengan gerakan “cam” (melibat) dan dilanjutkan dengan gerakan “coan” (memutar), Ling Ling berhasil mengurung pedang lawan dan sekali ia berseru keras sambil menyontek dengan pedangnya, Pek Im Ji berseru keras dan melompat mundur sedangkan pedangnya terpental ke atas udara.

“Bagus sekali!” Liang Gi Cinjin berseru dengan heran dan girang. Kakek ini menyambut pedang Pek Im Ji yang melayang turun kembali, kemudian sambil memegang pedang itu ia menyerang Ling Ling sambil berkata, “Hayo ulangi lagi gerakan Kim-gan-liong-jio-cu (Naga Mata Emas merebut Mustika) tadi!”

Ling Ling terkejut sekali ketika kakek tua berambut putih ini menyebut nama gerakannya yang telah dipergunakan untuk mengalahkan Pek Im Ji tadi. Melihat gerakan serangan pedang kakek ini, ia dapat menduga bahwa ini tentulah Liang Gi Cinjin. Gerakan pedangnya demikian hebat dan kuat.

Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun menurut suara di kalangan kang-ouw ketika ia dan ibunya keluar dari hutan, nama Liang Gi Cinjin dianggap sebagai tokoh tinggi dalam dunia persilatan, termasuk kaum locianpwe, namun kini kakek itu telah menyerangnya.

Ling Ling lalu mempergunakan ilmu gerakan Kim-gan-liong-jio-cu dan seperti tadi, ia berusaha menempel pedang lawan, melakukan gerakan memutar, lalu mengerahkan lweekangnya untuk membuat pedang lawannya terpental. Akan tetapi, sungguh luar biasa sekali, biarpun dengan cara yang berbeda. Ling Ling merasa betapa kakek itupun melakukan gerakan yang sama, menempel, memutar dan mengerahkan tenaga. Dua tenaga bertemu, getaran pedang secara luar biasa beradu dan terdengar suara nyaring sekali.

“Traaang. ! Krek!!” Pedang di tangan kakek itu patah menjadi dua potong, akan tetapi

pedang di tangan Ling Ling patah menjadi tiga potong.

“Ha, ha, ha!” Liang Gi Cinjin tertawa. “Tak salah lagi ! Eh, nona, apakah kau seorang she

Kam?”

“Bukan,” jawab Ling Ling, “teecu she Kwee. Apakah teecu berhadapan dengan Liang Gi Cinjin yang terhormat?”

Kembali Liang Gi Cinjin tertawa. “Aneh, aneh, kau she Kwee, akan tetapi telah mewarisi ilmu pedang dari Kam-ciangkun (Panglima she Kam). Mari kalian masuklah ke dalam, aku ada pembicaraan penting sekali!”

Tanpa ragu-ragu lagi Liang Gi Cinjin lalu memegang tangan Ling Ling dan membawa gadis itu bersama ibunya masuk ke ruang dalam. Kakek itu berjalan sambil tertawa-tawa senang seakan-akan bertemu dengan seorang kawan lama.

Tentu saja para pendeta memandang peristiwa itu dengan melongo. Juga Ling Ling merasa heran, sedangkan Sui Giok diam sambil mengerutkan kening. Kelakuan kakek ini benar-benar aneh baginya.

Setelah berada di dalam, Liang Gi Cinjin mengubah sikapnya dan kini nampak keras dan marah,

“Hayo, katakan dari mana kalian mencuri ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-hoat, pusaka dari sahabat baikku Kam Kok Han itu!”

Mendengar bahwa kakek ini adalah sahabat baik Panglima Besar Kam Kok Han, suami dari Bu Lam Nio, Sui Giok lalu memegang tangan Ling Ling dan menjatuhkan diri berlutut di depan Liang Gi Cinjin.

“Memang teecu dua beranak telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kam, akan tetapi sekali- kali bukan dengan jalan mencuri.” Sui Giok lalu menuturkan bahwa dia dan puterinya menerima pelajaran dari Bu Lam Nio, pelayan dan juga bini muda Panglima Kam Kok Han.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment