Bagaimana ia dapat mengirim totokan yang jitu ? Tubuh lawannya sukar diikuti dengan pandangan mata, dan ilmu totokannya adalah semacam tiam-hwe-louw yang membutuhkan ketepatan karena harus dilancarkan kepada jalan-jalan darah tertentu. Belum juga dua puluh jurus Pek Te Ji sudah mandi peluh dan pandang matanya menjadi kabur.
“Sudah cukup?” Ling Ling mengejek. “Nah, kau rebahlah!”
Secepat kilat tangan kiri gadis itu meluncur dan menotok jalan darah tai-twi-hiat lawannya. Pek Te Ji, seorang ahli tiam-hoat, tentu saja tahu akan bahayanya totokan ini, yang apabila mengenai tepat akan membuat seluruh tubuhnya menjadi kaku. Cepat ia mengerahkan khikangnya dan menutup jalan darah ini dengan tenaga Yang, karena totokan membuat kaku pada jalan darah tai-twi-hiat ini termasuk serangan Yang. Akan tetapi, sungguh tidak diduga sama sekali karena begitu jari tangan kiri Ling Ling tertolak oleh tenaga khikangnya, jari tangan kanan gadis itu dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah menotok pundaknya dengan mengambil jalan darah thian-hu-hiat. Inilah serangan dengan tenaga Im dan seketika itu juga tubuhnya menjadi lemas, ia tidak kuat berdiri lagi dan robohlah ia ke bawah dengan lemas bagaikan sehelai kain.
Ternyata bahwa Pek Te Ji telah menjadi korban dari totokan yang menggunakan siasat Im dan Yang, menjadi korban ilmu totok yang timbul dari kecerdikan Ling Ling. Gadis ini memperhatikan ilmu totokan dari lawannya dan dengan cerdik ia lalu dapat mempergunakannya untuk merobohkan lawan.
Ia maklum bahwa sebagai ahli totok, tentu saja Pek Te Ji mahir sekali akan penolakan segala macam serangan “tiam-hoat”, maka ia lalu meniru lawannya itu dan melakukan serangan yang berlawanan pada saat yang sama. Berkat kecepatan gerakannya, maka ia dapat menipu Pek Te Ji yang kini rebah di tanah tanpa dapat bergerak, hanya kedua matanya saja memandang dengan penuh penyesalan atas kebodohannya sendiri.
Setelah berhasil merobohkan Pek Te Ji, Ling Ling bersama ibunya lalu maju terus, menuju ke dalam. Pada gardu penjagaan kedua telah berdiri Pek Thian Ji menantikan kedatangan mereka. Melihat keadaan pendeta ini, Ling Ling dan ibunya saling pandang sambil tersenyum karena mereka mengenal pendeta ini yang dulu pernah pula bertempur dengan mereka.
Akan tetapi ibu dan anak itu merasa heran melihat cara pendeta itu berdiri. Pek Thian Ji telah memasang patok-patok bambu yang runcing ujungnya di depan gardu penjagaannya, sebanyak tiga puluh enam buah. Patok-patok itu ditancapkan di atas tanah, agaknya secara sembarangan saja, akan tetapi apabila diperhatikan, patok-patok ini merupakan barisan yang berbentuk pat-kwa dan dipasang menurut perhitungan yang masak.
Betapapun juga, jarak antara satu dan lain patok sama lebarnya, yakni tiga kaki, tepat untuk pergerakan atau peralihan kaki dalam bersilat secara melompat-lompat. Melihat kecilnya patok dan ujungnya yang runcing, dapat dibayangkan bahwa untuk dapat bersilat di atas patok-patok ini, maka dibutuhkan ilmu ginkang yang tinggi.
Pek Thian Ji yang terkenal sebagai ahli ginkang yang luar biasa, telah berdiri dengan satu kaki di atas patok, kaki kanan diangkat lurus ke depan dan kedua tangannya bertolak pinggang. Ia menyambut kedatangan Ling Ling dan ibunya dengan kata-kata tidak ramah.
“Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li! Sungguhpun kalian tidak mau mengaku nama, akan tetapi aku yakin bahwa tentulah kalian yang disebut sebagai dua iblis wanita yang jahat itu. Kalian telah dapat sampai ke sini, berarti bahwa kalian telah dapat melalui suteku. Nah, jangan banyak membuang waktu lagi, kalau ada kepandaian, naiklah ke sini dan kalahkan aku!”
Ling Ling dan ibunya sudah tahu akan kelihaian ilmu ginkang dari pendeta ini dan Ling Ling maklum bahwa pendeta ini secara licik hendak mempergunakan pengetahuannya tentang patok-patok itu untuk mengalahkannya. Akan tetapi, gadis ini telah memiliki ginkang yang tidak kalah tingginya oleh pendeta ini dan dalam hal ketabahan, ia lebih menang beberapa kali lipat. Tentu saja ia tidak takut menghadapi pendeta itu di atas patok. Akan tetapi ibunya lebih hati-hati. Betapapun tinggi kepandaian Ling Ling, akan tetapi oleh karena patok-patok itu yang memasang adalah pihak lawan, maka tentu saja pendeta itu lebih hafal. Sui Giok lalu membisikkan sesuatu kepada Ling Ling dan puterinya itu tersenyum manis.
Ling Ling lalu melompat sambil berkata, “Pendeta sombong, siapa takut menghadapi patok- patokmu yang bobrok ini?” Akan tetapi, sesuai dengan bisikan ibunya, ia sengaja melompat ke atas patok kedua, mempergunakan ilmunya memberatkan tubuh yang disebut tenaga Jian- kin-cui (Tenaga Seribu Kati) sehingga ketika patok itu terinjak oleh kaki kirinya, patok bambu ini melesak ke bawah sampai rata dengan tanah. Dari sini ia melompat ke patok keempat, membuatnya rata dengan tanah, lalu keenam dan seterusnya, melompati sebatang patok sehingga akhirnya patok-patok di situ tinggal delapan belas saja, berdiri pada jarak enam kaki.
“Ah, patok-patokmu ternyata terlampau lemah!” Ling Ling berkata dan sebagai lanjutan kata- kata ini, ia mulai menyerang dengan sebuah lompatan tinggi. Kedua tangannya diulur kearah pundak Pek Thian Ji yang cepat melompat ke patok lain. Kini keduanya harus mengerahkan tenaga ginkang seluruhnya karena untuk bertempur sambil berlompatan dari patok ke patok yang jauhnya enam kaki, bukan hal yang amat mudah dilakukan.
Pek Thian Ji menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda yang cantik jelita ini lihai sekali. Demonstrasi tenaga Jian-kin-cui tadi saja sudah menunjukkan betapa hebatnya tenaga lweekang dari gadis itu dan kini setelah patok-patoknya diratakan tinggal separohnya, maka rencananya barisan patok ini menjadi gagal.
Mereka kini berdiri di atas patok-patok yang sama sekali asing bagi keduanya dan boleh dibilang keadaan mereka menjadi sama, hanya mengandalkan kepandaian dan ginkang. Akan tetapi Pek Thian Ji tidak takut dan ia membalas dengan serangan hebat pula. Pertandingan ini benar-benar seru dan indah ditonton.
Mereka tak dapat menyerang sambil berdiri di atas patok karena jarak mereka satu dengan yang lain terlalu jauh. Maka untuk melakukan serangan, mereka melompat dan saling serang di tengah udara, pada saat mereka belum turun kembali ke atas patok lain. Demikianlah mereka saling sambar bagaikan sepasang burung berkelahi, mengandalkan ginkang sepenuhnya, karena sekali saja kaki meleset menginjak patok, berarti yang terpeleset ini akan dianggap kalah.
Ilmu silat Ling Ling masih lebih tinggi dari pada Pek Thian Ji sungguhpun ginkang mereka hampir sama. Sedikit saja bedanya, yakni bahwa Ling Ling lebih lincah dan gesit, hal ini karena memang tubuhnya lebih lemas dan ringan. Ling Ling mengeluarkan ilmu silat Kim- gan-liong-na-hoat, yakni ilmu serangan yang dilakukan dengan pukulan, cengkeraman, dan tangkapan.
Pada saat Pek Thian Ji melompat dan menerkamnya, Ling Ling membarenginya dan melompat pula. Dua tubuh bertemu di udara, dan Ling Ling berhasil mencengkeram pergelangan tangan Pek Thian Ji yang memukul tadi. Pendeta itu merasa betapa lengannya sakit sekali dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk membetot lengannya, Ling Ling sudah mendahuluinya turun dan berdiri di atas sebuah patok, kemudian gadis ini berseru keras sambil melontarkan tubuh pendeta yang tangannya masih dipegangnya itu keluar dari lingkungan patok. Saking beratnya tubuh pendeta yang mengerahkan lweekangnya, maka patok yang diinjak oleh Ling Ling sampai melesak ke dalam dan rata dengan tanah, akan tetapi tubuh pendeta itu terlempar ke atas dan agaknya akan jatuh di atas tanah. Bukan main hebatnya kepandaian meringankan tubuh dari Pek Thian Ji.
Biarpun tubuhnya sudah terlempar dan melayang ke atas, namun terdengar ia memekik keras dan tahu-tahu tubuhnya itu sudah berpoksai (berjungkir balik) di udara dan dengan gerakan kaki tangannya yang dikembangkan seperti sayap burung, ia dapat mengatur tubuhnya dan kini ia melayang kembali ke bawah, tepat di atas patok yang paling pinggir.
Kalau Pek Thian Ji merasa amat terkejut dan keringat dingin membasahi jidatnya, adalah Ling Ling sampai mengeluarkan seruan memuji saking kagumnya menyaksikan pertunjukkan ginkang yang benar-benar hebat ini. Diam-diam ia mengakui bahwa ilmu ginkang dari Pek Thian Ji ini hebat sekali.
Akan tetapi, gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya dan sebelum pendeta itu dapat melompat ke tengah, ia telah mendahuluinya dan menyerang sambil mengeluarkan serangan-serangan yang paling lihai dari Kim-gan-liong-na-hoat. Pek Thian Ji berdiri di patok paling pinggir, tentu saja sukar baginya untuk mempertahankan diri lagi menghadapi serangan hebat ini dan untuk menjaga dirinya agar jangan sampai terkena cengkeram gadis yang lihai seperti iblis ini, terpaksa ia melompat ke belakang, turun di atas tanah dan dengan jujur ia mengaku sambil menjura.
“Kau lihai sekali, nona. Silakan terus masuk ke dalam!”
Ling Ling menjadi lega dan bersama ibunya ia berjalan masuk ke dalam. Ia mulai merasa khawatir dan diam-diam ia mengakui kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw ini. Baru dua orang saja sudah sedemikian sukar dirobohkan, apalagi masih ada tiga orang lain yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi.
Pek Yang Ji, murid ketiga dari Liang Gi Cinjin, pernah menghadapi Ling Ling, maka ahli lweekang ini maklum bahwa dalam hal ilmu silat atau ilmu pedang, sukarlah baginya untuk dapat menangkan iblis wanita ini. Oleh karena itu, ia telah bersiap menghadapi gadis itu dalam pertandingan tenaga lweekang.
Ia telah berdiri di atas sebuah batu besar yang berat dan keras, sedangkan pada jarak satu tombak di depannya, terdapat sebuah batu yang sama besarnya. Ia menyambut kedatangan Ling Ling sambil tersenyum dan berkata langsung.
“Nona, aku telah tahu betapa kau mengalahkan kedua suteku. Karena semenjak dulu aku tidak suka bertempur yang membahayakan jiwa orang, maka marilah kau mencoba mendorongku roboh dari batu ini. Kita saling memukul dengan hawa pukulan saja dan siapa yang turun dari batu, ia terhitung kalah!”
Ling Ling dan ibunya maklum akan kelihaian pendeta ini, karena pernah Ling Ling merasakan pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu dari Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa pendeta ini tentu akan mempergunakan ilmu pukulannya ini untuk merobohkannya dari atas batu.