Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 21

NIC

dasar-dasar ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat kepada muridnya ini. Sian Lun mempelajari dengan penuh ketekunan dan perhatian. Ia memang mempunyai kecerdasan dan bakat yang amat baik, maka sebentar saja sesuatu gerakan dapat dipelajari dan dilakukan baik-baik. Hal ini membuat Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali.

“Kalau kau melatih dirimu setahun saja dengan serajin ini, aku yakin ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat akan dapat kau miliki sepenuhnya.”

Sampai dua bulan penuh ketua Pek-sim-kauw ini melatih dan menurunkan semua kepandaiannya kepada Sian Lun. Pemuda ini menghafal semua gerakan dan jurus-jurus ilmu silat itu di luar kepala dan setelah dua bulan lewat, ia telah hafal betul-betul jalannya Pek-sim Kiam-hoat dan Pek-sim Ciang-hoat, tinggal melatih dan menyempurnakan gerakan- gerakannya saja.

Setelah itu, Liang Gi Cinjin lalu berpamit kepada Beng To Siansu. “Aku harus turun gunung,” katanya kepada sahabat baik ini, “siapa tahu kalau-kalau terjadi perobahan hebat di dunia ramai. Setan sayur, terima kasih atas segala kebaikanmu, terutama sekali atas kerelaanmu memberi kesempatan kepadaku untuk meninggalkan sedikit kepandaianku kepada orang yang patut menerimanya.”

Dan kepada Sian Lun ia berkata, “Sian Lun, muridku, kau berlatih baik-baik sampai setahun, setelah itu kau kunanti di Cengtu. Jalan masuk untuk bertemu dengan aku dijaga oleh kelima orang muridku, maka sebagai ujian, jangan kau mundur menghadapi segala rintangan untuk bertemu dengan aku.” Setelah berkata demikian, pergilah Liang Gi Cinjin turun dari Kun-lun-san, Sian Lun berlatih dengan amat rajinnya, bahkan Beng To Siansu yang amat menyinta murid tunggalnya inipun membantunya memberi petunjuk-petunjuk.

******

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Liang Gi Cinjin tiba kembali di kota Ceng-tu, yakni pusat perkumpulan Pek-sim-kauw, ia mendengar tentang permusuhan antara pendeta-pendeta Pek-sim-kauw dengan dua orang iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li. Kakek sakti ini merasa menyesal sekali dan menegur murid-muridnya. Kemudian ia berpesan kepada para muridnya untuk menjaga tempat perkumpulan itu baik-baik dan apabila ada orang muda yang hendak bertemu dengan dia, supaya pemuda itu dicoba dulu kepandaiannya tanpa banyak cakap.

“Akan tetapi jangan main keroyok,” ia berpesan, “sungguh amat memalukan kalau murid- muridku mengeroyok lawan seperti yang kalian telah lakukan terhadap dua orang wanita dari hutan itu!”

Merahlah wajah Pek-sim Ngo-lojin mendengar teguran mereka ini. Liang Gi Cinjin sebenarnya menantikan datangnya Sian Lun, muridnya yang baru, dan mempersiapkan lima orang pendeta itu untuk menguji kepandaian Sian Lun.

Akan tetapi kelima orang pendeta tingkat satu itu berpikir lain. Mereka berjaga-jaga untuk menanti kedatangan Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li yang dulu sudah berjanji hendak datang bertemu dengan ketua Pek-sim-kauw. Dan memang benar mereka ini, yang pertama- tama datang bukanlah seorang pemuda, melainkan Ling Ling dan ibunya.

Pada suatu hari, baru saja matahari muncul di balik pohon-pohon dan baru saja kelima Pek- sim Ngo-lojin duduk di dalam gardu penjagaan masing-masing, masuklah dua orang wanita cantik dari pintu gerbang luar. Mereka ini bukan lain adalah Liem Sui Giok dan puterinya Kwee Ling Ling atau yang sudah biasa disebut Ling Ling saja.

Penjagaan yang dilakukan oleh kelima murid Liang Gi Cinjin ini dimulai dengan gardu pertama di mana Pek Te Ji duduk bersamadhi sambil berjaga. Gardu kedua dijaga oleh Pek Thian Ji, gardu ketiga oleh Pek Yang Ji, yang keempat oleh Pek Hong Ji dan yang terakhir atau yang kelima, di depan ruangan di mana Liang Gi Cinjin tinggal, dijaga oleh murid pertama, yakni Pek Im Ji.

Dengan demikian, maka penjagaan itu diatur makin ke dalam makin kuat. Pendeta-pendeta tingkat dua dan tiga yang banyak tinggal di rumah perkumpulan amat besar dan luas itu, telah dipesan bahwa apabila terjadi pertempuran, mereka dilarang mengeroyok, hanya diharuskan memberitahukan kepada gardu-gardu penjagaan lain agar dapat bersiap siaga.

Sebelum memasuki rumah perkumpulan agama Pek-sim-kauw ini Sui Giok telah memesan kepada Ling Ling agar supaya jangan sampai membunuh orang. “Anakku,” katanya, “biarpun nenekmu telah tewas dalam tangan seorang pendeta Pek-sim- kauw, akan tetapi pembunuhnya telah pula kita tewaskan. Nyawa nenekmu telah ditebus oleh tiga orang musuh, ini berarti bahwa hutang telah terbayar lunas. Tak perlu kita membunuh orang-orang lain dan kedatangan kita ini hanya untuk memenuhi janji, satu persoalan kehormatan. Pendeta-pendeta ini memang jahat, akan tetapi sebelum kita membuktikan kejahatan mereka, tak perlu kita membunuh orang.”

Demikianlah, ketika Ling Ling dan Sui Giok berdiri di gerbang pertama di mana terdapat sebuah gardu tempat penjagaan, mereka melihat Pek Te Ji duduk di situ, bersila sambil meramkan matanya. Sungguhpun matanya meram, Pek Te Ji telah mengetahui akan kedatangan dua orang wanita ini, karena ia memiliki pendengaran yang amat terlatih dan tajam.

“He, orang Pek-sim-kauw!” Ling Ling berseru nyaring sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya itu bergema sampai ke dalam gedung besar itu. “Kami telah datang, keluarkanlah ketuamu untuk bicara dan membereskan urusan lama, jangan berlaku pengecut main keroyokan!”

Setelah mendengar ini, barulah Pek Te Ji melompat keluar dan ia berdiri dihadapan Ling Ling dan Sui Giok dengan gagah.

“Kalian ini dua iblis wanita sungai Cialing datang ke sini mau apakah?” tanyanya dengan suara lantang.

“Pendeta palsu, kami telah berjanji hendak datang bertemu dengan Liang Gi Cinjin, ketuamu maka hari ini kami datang memenuhi janji. Minggirlah dan tunjukkanlah di mana adanya gurumu itu!” kata Ling Ling.

“Sukar!” kata pendeta itu sambil menggelengkan kepala. “Jalan untuk menemui suhu memang melalui tempat ini, akan tetapi aku telah berada di sini dan tak mungkin kau dapat masuk sebelum Pek Te Ji kau kalahkan.”

“Bagus,” teriak Ling Ling marah. “Kau mau main keroyok lagi? Tidak malukah Liang Gi Cinjin mendengar murid-muridnya yang gagah mengeroyok wanita-wanita?”

“Jangan sembarangan membuka mulut!” kata Pek Te Ji. “Siapa yang mau mengeroyokmu? Asal saja kau menurut aturan, kami takkan mengeroyokmu. Ketahuilah bahwa jalan masuk ke tempat suhu terjaga oleh kami lima saudara, dan kau harus dapat mengalahkan kami dulu seorang demi seorang dan menurut syarat-syarat yang kami tentukan dalam pertandingan.”

“Boleh, boleh ! Siapa takut menghadapai pendeta palsu ?” tantang Ling Ling dengan tabah.

“Pertama-tama, kau atau ibumu lawanlah aku, tanpa senjata! Kalau aku kalah dalam ciang- hoat (ilmu pukulan), barulah kau boleh masuk untuk menghadapi suhengku.”

“Hm, begitukah?” Ling Ling tersenyum kepada ibunya, “Ibu, ternyata pendeta-pendeta Pek- sim-kauw tidak securang yang kita duga!” Kemudian ia berkata kepada Pek Te Ji. “Pek Te Ji, ada aku anaknya di sini, bagaimana aku dapat membiarkan ibuku melelahkan diri turun tangan? Hayo, coba kauperlihatkan tiam-hoatmu (ilmu menotokmu) yang kau pamerkan kepada ibu dahulu itu!”

Memang Ling Ling masih ingat betapa ibunya dulu pernah menjadi korban totokan pendeta ini dan teringat pula bahwa totokan itu lihai sekali dan istimewa sehingga ia dahulu tidak dapat membebaskan ibunya dari pengaruh totokan. Agaknya kini pendeta ini hendak mengandalkan totokannya yang lihai.

Mendengar sindiran Ling Ling, Pek Te Ji merah mukanya. Ia menggulung lengan bajunya, lalu berkata, “Kalau kau dapat menghadapi Im-yang-tiam-hoat, barulah aku takluk kepadamu!” Tiba-tiba ia lalu menyerang dengan tangan kanannya, di susul oleh tangan kirinya. Melihat betapa tangan pendeta itu menyerang dengan jari-jari terkepal, kecuali jari telunjuk yang dibuka lurus ke depan untuk menotok, Ling Ling berlaku hati-hati sekali.

Ia tahu bahwa itu adalah semacam It-ci-sian (ilmu totoksatu jari) yang lihai sekali. Juga angin serangan dari kedua tangan pendeta itu amat berlainan, kalau yang kanan menotok dengan keras, yang kiri begitu lambat dan perlahan gerakannya dan demikian sebaliknya. Ia maklum akan bahayanya ilmu totokan macam ini.

Dengan cara yang berubah-ubah itu kadang-kadang dengan tenaga lemas lalu disusul totokan tenaga kasar, tidak memungkinkan orang untuk menerima totokan itu sambil mengerahkan ilmu menutup jalan darah. Tak mungkin mengerahkan tenaga yang berlawanan sama sekali secara bergantian demikian cepatnya, dan sekali terkena totokan pendeta ini, akan celakalah dia.

Untuk menghadapi Im-yang-tiam-hoat ini, Ling Ling lalu memperlihatkan kegesitan tubuhnya, mengerahkan ginkangnya yang memang luar biasa tinggi tingkatnya, kemudian iapun membalas dengan serangan tiam-hoat pula. Di dalam ilmu silat keturunan keluarga Kam, memang terdapat ilmu totok yang cukup lihai, semacam Coat-meh-hoat (ilmu totokan cabang Bu-tong-pai) yang dilakukan dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah.

Tingkat kepandaian Pek te Ji barang kali sama tingginya dengan tingkat kepandaian Liem Sui Giok, maka kalau dibandingkan dengan Ling Ling, ia masih kalah jauh. Hal ini harus diakuinya ketika baru beberapa kali gebrakan saja ia sudah menjadi pening karena tubuh gadis cantik itu seakan-akan merupakan seekor burung walet yang gesit sekali, yang berterbangan mengelilinginya.

Posting Komentar