Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 20

NIC

Benar saja, menyaksikan sikap kuda-kuda ini, Liang Gi Cinjin merasa senang dan memuji pemuda yang pandai membawa diri ini. Memang benar, ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa untuk dapat mencapai hasil gemilang dalam pengejaran cita-cita hidup, senjata yang terutama adalah kerendahan hati dan penyesuaian sikap dengan keadaan yang dihadapinya. Dengan sikapnya ini, tanpa terasa lagi Sian Lun telah dapat menyenangkan hati Liang Gi Cinjin.

Akan tetapi Liang Gi Cinjin tidak nanti mau memberikan ilmu pedangnya begitu saja kepada sembarang orang. Ia harus mencoba dulu sampai di mana bakat pemuda ini. Biarpun dengan ketajaman matanya ia telah dapat melihat kebagusan tubuh pemuda ini dan ia percaya bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, namun untuk dapat mempelajari ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dengan sempurna sehingga dapat menguasai seluruhnya, orang harus memiliki dasar kepandaian yang cukup. Melihat pemuda itu telah memasang kuda-kuda dan siap, ia lalu tersenyum dan berkata,

“Awas seranganku!” Tubuhnya yang sudah tua itu ternyata dapat bergerak luar biasa cepatnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya telah menerjang maju dengan cepat mengagetkan.

Sian Lun berlaku waspada dan cepat mengelakkan diri dari sebuah tamparan, akan tetapi dalam jurus pertama itu ternyata Liang Gi Cinjin telah menyerangnya dengan tiga macam pukulan dari kedua tangan kiri dan kaki kiri. Bukan main cepatnya datangnya serangan ini sehingga pemuda itu harus berlaku hati-hati dan cepat sekali. Kalau tidak memiliki ketenangan, kecepatan dan ketajaman mata sukarlah menghadapi serangan yang sambung menyambung dan susul menyusul itu.

Ilmu silatnya sendiri tidak berbahaya bagi Sian Lun yang sudah berkepandaian tinggi, akan tetapi yang hebat adalah gerakan dan tenaga kakek ini. Ginkang dan lweekang dari Liang Gi Cinjin memang tinggi sekali, dan biarpun Sian Lun telah melatih diri dengan hebat dalam kepandaian ini, didorong oleh bakatnya yang luar biasa, namun harus ia akui bahwa ia masih kalah setingkat.

Menurut pendapatnya, ginkang dan lweekang dari kakek ini hanya kalah sedikit saja dari suhunya, Beng To Siansu. Akan tetapi diam-diam ia merasa lega, oleh karena kalau saja kakek ini melanjutkan serangannya dengan ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat yang ternyata tidak berapa berbahaya ini baginya, pasti ia akan dapat menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.

Akan tetapi, setelah sepuluh jurus lewat dengan selamat, gerakan serangannya. Sian Lun menjadi terkejut bukan main karena daya serangan kali ini luar biasa hebatnya.

Hawa pukulan yang keluar dari sepasang tangan kakek ini amat ganjil, tarik menarik dan tangan kiri amat berlainan dengan tangan kanan, bahkan boleh dibilang bertentangan. Pemuda itu tiba-tiba merasa seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang berlainan caranya bersilat, merupakan dua macam Liang Gi Cinjin, yang seorang bergaya lemas dan penuh keindahan, yang kedua bergaya kasar dan cepat bagaikan seekor iblis mengamuk.

Sian Lun memang tidak mengenal ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat, dan tentu saja tidak tahu bahwa kakek yang menjadi lawannya ini sedang mengeluarkan ilmu silat itu di bagian Im- yang–sin-ciang-hoat, bagian yang amat sukar dipelajari karena memerlukan latihan tenaga lweekang dan gwakang yang dipergunakan berbareng.

Akan tetapi Beng To Siansu yang pernah berpibu dengan kakek itu, tahu akan hal ini dan melihat betapa muridnya menjadi sibuk sekali dan gugup. Beng To Siansu mengerutkan kening. Sesungguhnya, kalau saja Sian Lun tahu akan rahasia ilmu silat ini tak perlu pemuda itu menjadi gugup dan bingung. Maka ia lalu berkata keras seperti orang bernyanyi. “Im dan Yang selalu bertentangan, tarik menarik. Kalau orang dapat berada di tengah-tengah, tidak terpengaruh oleh tarikan kanan kiri, bebas dari Im Yang, itu barulah yang disebut Tiong- yong.”

Kata-kata ini sesungguhnya adalah petikan dari ujar kuno, akan tetapi tepat sekali dipergunakan untuk memecahkan serangan Liang Gi Cinjin itu. Tiong-yong berarti jejak, lurus, tidak condong ke sana ke mari, tidak terpengaruh oleh sesuatu, iman tetap tenang di tengah-tengah.

Mendengar ucapan suhunya ini, tiba-tiba Sian Lun menjadi sadar. Memang otak pemuda ini cerdik sekali dan dapat menangkap maksud dan arti dari sesuatu hal yang ditunjukkan kepadanya. Tadipun ia telah memutar otak untuk mencari tahu rahasia penyerangan aneh ini, dan begitu mendengar ucapan suhunya tentang Im dan Yang, hampir ia berseru saking girangnya.

Ia lalu bersilat dengan gerakan yang disebut Pai-bun-twi-hong (Mengatur Bintang Menolak Angin). Kini ia tidak mengelak dengan gugup dan bingung lagi, tidak mau dipengaruhi oleh hawa pukulan lawan, akan tetapi hanya menjaga diri dengan waspada, dengan kuda-kuda yang kuat dan begitu pukulan datang, ia lalu menangkis dengan pengerahan tenaga lweekang atau gwakang, sesuai dengan datangnya serangan lawan.

Sampai lima jurus, serangan dengan Im-yang-sin-ciang-hoat dari Liang Gi Cinjin ini dapat digagalkan. Kakek itu tertawa bergelak dan berkata,

“Setan sayur (untuk menyindir Beng To Siansu yang selalu makan sayur), kau sungguh terlalu membela muridmu.”

Setelah berkata demikian, Liang Gi Cinjin lalu merobah lagi serangannya, tidak lagi mainkan Im-yang-sin-ciang-hoat, melainkan menggunakan ginkangnya yang luar biasa, bergerak cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar mengelilingi Sian Lun. Lagi-lagi Beng To Siansu berkata seperti orang bernyanyi.

“Kalau Toa-su-siang-hong-wi (kedudukan empat penjuru) dijaga baik-baik, maling yang bagaimana pandaipun takkan dapat masuk.”

Memang tadinya Sian Lun selalu mengikuti gerakan lawannya, mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi oleh karena Liang Gi Cinjin kedudukannya di luar dan dia di dalam, maka dia harus berputar lebih cepat lagi dan karenanya kedudukannya menjadi lemah dan kepalanya pening.

Mendengar ucapan suhunya ini, Sian Lun lalu teringat akan penjagaan diri yang amat praktis, yakni ia menjaga kedudukan empat penjuru, dengan demikian, tanpa bersusah payah memutar-mutar diri mengikuti gerakan penyerang, ia dapat menjaga diri dengan baik sehingga ketika jurus ke dua puluh lewat, ia tetap dapat berdiri tak terkalahkan.

Liang Gi Cinjin melompat keluar dari kalangan pertandingan, lalu menuding ke arah Beng To Siansu dan berkata sambil tertawa,

“Kakek curang! Kau telah membela muridmu!” Beng To Siansu tersenyum, “Aku ingin sekali Sian Lun menerima warisanmu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat yang luar biasa, maka aku khawatir kalau-kalau kau lupa diri dan merobohkannya. Bukankah sayang sekali?”

Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. “Dasar pemakan rumput! Lupakah kau bahwa orang yang menguji kekauatan cawan araknya takkan membanting sampai hancur cawannya itu? Aku suka anak ini dan tanpa kau membelanya, aku tak sampai hati untuk mengalahkannya. Ha, ha, ha, aku gembira sekali, kini aku dapat mati dengan mata meram, ilmu pedangku yang buruk sudah ada ahli warisnya, dan kalau toh kelak dicemarkan, yang rusak namanya bukan aku, melainkan Beng To Siansu. Ha, ha!”

Akan tetapi ketawanya lenyap seketika setelah ia melihat Sian Lun menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya, sambil berkata, “Suhu teecu berterima kasih atas budimu yang besar.”

“Apa ? Siapa yang menjadi suhumu? Siapa yang menerimamu menjadi muridku?”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dan kini Beng To Siansu yang tertawa besar. “Ha, ha, ha! Coba sekarang kau bilang, apakah kau masih bisa melepaskan tanggung jawabmu?

Bukankah Sian Lun telah menjadi muridmu? Ha, ha, ha!”

Dengan mata terbelalak, Liang Gi Cinjin membanting-banting kakinya. “Dasar guru dan muridnya sama, sudah bersekongkol. Sudahlah, Sian Lun, lekas kau panggang daging ular itu baik-baik. Jangan dibuang kepalanya, aku paling suka itu. Dan ekornya untuk kau, mengerti

?”

Sian Lun menjadi bingung. Telah bertahun-tahun ia tidak makan daging seperti suhunya, bagaimana sekarang ia harus makan. Akan tetapi keheranannya lenyap dan ia bahkan merasa girang dan lega ketika Beng To Siansu berkata,

“Ketahuilah, Sian Lun. Ular ini bukanlah ular sembarangan, akan tetapi ular pohon yang jarang terdapat. Daging ular ini mengandung daya yang luar biasa sekali baik untuk membersihkan darah, menghangatkan perut dan menguatkan jantung. Daging ular ini dimakan orang yang mengerti bukan karena enak, akan tetapi dimakan sebagai semacam obat kuat.

Kepalanya amat baik untuk orang tua sehingga Liang Gi Cinjin gurumu ini makan kepalanya mungkin dengan maksud agar usianya menjadi sepanjang mungkin. Adapun ekornya itu adalah semacam obat kuat yang keras sekali, baik untuk orang-orang muda!”

Tahulah kini Sian Lun mengapa suhunya suka ikut makan, karena suhunya dulu pernah berkata ketika melarang ia makan daging.

“Sesungguhnya makan daging mahluk bernyawa dengan maksud hanya untuk memuaskan selera mulut, termasuk perbuatan yang tidak sesuai dengan alam. Lain lagi halnya tubuh, sehingga kita memakannya bukan dengan maksud memuaskan lidah akan tetapi dengan maksud yang lebih luas dan baik dari pada itu.”

Sehabis makan Liang Gi Cinjin lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh, “Sian Lun, karena kau telah mengangkat aku sebagai gurumu yang kedua, maka kau harus menurut segala peraturan yang kuadakan.” “Memang demikianlah seharusnya,” Beng To Siansu menyambung sambil bangkit berdiri. “Nah, Sian Lun, sekarang aku serahkan kau kepada sahabat baikku ini untuk dididik.

Belajarlah baik-baik, dan jangan menyia-nyiakan waktu.” Kakek ini lalu masuk ke dalam goa untuk bersamadhi, meninggalkan mereka berdua di luar goa.

Liang Gi Cinjin lalu menceritakan tentang Pek-sim-kauw dan bahwa sesungguhnya ia tidak mau menerima seorang murid yang tidak menjadi pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi oleh karena ia tidak bisa mendapatkan seorang pendeta yang berbakat baik, maka kini ia memilih Sian Lun sebagai ahli warisnya.

“Aku telah mendengar dari Beng To Siansu bahwa kau adalah putera seorang perwira yang gagah dan jujur. Tentu saja kau tidak bisa menjadi pendeta, kau tidak berbakat untuk menjadi seorang pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi, di dalam sepak terjangmu, kau harus selalu ingat kepada hati putih, yakni hatimu sendiri.

Putih berarti bersih dan apabila kau selalu menjaga kebersihan hatimu, maka jalan hidupmu takkan tersesat. Para pendeta Pek-sim-kauw, biarpun ilmu silatnya lebih rendah daripada tingkatmu, tetap harus kau anggap sebagai saudara-saudara tua.

Kau mempunyai lima orang suheng (kakak seperguruan), dan biarpun kau lebih pandai dalam hal ilmu silat, namun tentang kebatinan, kau boleh mendengar dan mentaati nasehat mereka.” Demikianlah, Liang Gi Cinjin lalu memperkenalkan nama-nama kelima orang muridnya, pendeta-pendeta tingkat satu dari Pek-sim-kauw.

Kemudian ia mulai menurunkan ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dan pokok-pokok atau

Posting Komentar