Tak lama kemudian mereka menghentikan percakapan karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada biji-biji catur yang mulai saling mengurung dan pertandingan berjalan seru sekali.
Telah dua kali mereka bermain dan hasilnya satu-satu. Matahari telah condong ke barat ketika mereka hendak mulai dengan permainan ketiga. Akan tetapi, pada saat itu, berkelebatlah bayangan orang yang gesit sekali dan tak lama kemudian seorang pemuda yang cakap dan gagah berdiri di depan mereka.
Pemuda itu memegang seekor ular besar yang ia gulung bagaikan sehelai tambang, dipegang pada leher dan ekornya. Dalam keadaan tergulung tubuhnya dan leher serta ekor terpegang oleh jari-jari tangan yang kuat itu, ular ini tidak berdaya sama sekali.
“Suhu, teecu telah kembali!” kata pemuda itu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Beng To Siansu.
Beng To Siansu menengok dan berkata girang, “Hm, Sian Lun, agaknya kau telah berhasil menangkap pengacau itu.”
“Inilah dia, suhu. Sukar juga menangkapnya, karena ia kuat dan ganas sekali.” “Coba ceritakan bagaimana kau dapat menangkapnya, akan tetapi sebelumnya beri hormatlah dulu kepada susiokmu ini.”
Pemuda yang bukan lain adalah Sian Lun putera perwira Liem Siang Hong itu, cepat memberi hormat sambil berlutut kepada Liang Gi Cinjin, “Maaf susiok, teecu tidak tahu sehingga telah berlaku kurang hormat.”
“Anak baik, kauceritakanlah dari mana kau berhasil menangkap daging enak ini!” kata Liang Gi Cinjin sambil memandang wajah pemuda yang tampan dan gagah itu.
Sian Lun lalu menuturkan pengalamannya. Sebuah dusun di kaki gunung Kun-lun telah berkali-kali diserang oleh seekor ular yang besar, ganas dan jahat. Banyak sudah hewan piaraan para penduduk ditelan oleh ular itu dan ketika diserang, dua orang dusun telah tewas karena digigit dan disabet dengan ekornya.
Beng To Siansu yang mendengar akan hal ini, lalu menyuruh muridnya menangkap ular itu. Sian Lun lalu berangkat turun gunung dan ketika ia berhasil mendapatkan ular itu melingkar di atas pohon, ia segera melompat dan menarik ekornya sehingga ular itu tertarik lalu jatuh ke bawah.
Akan tetapi ular itu ternyata kuat dan galak sekali. Ia tidak menyerah dengan mudah, tiap kali dapat tercekik lehernya, ekornya lalu memukul dengan kuatnya dan ia mencoba untuk membelit leher pemuda itu. Berkali-kali Sian Lun terpaksa melepaskan kembali cekikan itu, karena ular itu benar-benar berbahaya.
Sudah bergulat mati-matian, akhirnya ia berhasil mengirim totokan di belakang kepala ular itu yang merasa sakit dan setengah lumpuh. Barulah Sian Lun dapat menangkap ular itu dan membawanya ke atas bukit.
Mendengar penuturan itu dan melihat potongan tubuh pemuda ini, Liang Gi Cinjin menghela napas panjang dan berkata kepada Beng To Siansu,
“Memang, agaknya karena setiap hari kau bertapa, maka peruntunganmu lebih bagus dari padaku. Ilmu pedangku Pek-sim kiam-hoat yang buruk itu saja belum ada yang cukup berharga untuk mewarisinya.
Murid-muridku tidak ada yang dapat bertahan menghadapi seranganku Pek-sim Ciang-hoat lebih dari dua puluh jurus, mana mereka mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat dengan baik?”
Kakek ini menghela napas lagi. “Agaknya selama hidupku aku takkan dapat bertemu dengan seorang murid seperti muridmu ini dan Pek-sim Kiam-hoat akhirnya akan lenyap dari muka bumi tanpa meninggalkan nama.”
Mendengar pujian ini, Liem Sian Lun menjadi merah mukanya karena jengah. Ia segera menganggukkan kepala dan berkata,
“Susiok, harap kau orang tua jangan terlalu memuji, teecu takut akan menjadi sombong dan. ” “Anak Goblok!” tiba-tiba suhunya membentak. “Hayo, kau lekas menghaturkan terima kasihmu kepada susiokmu yang hendak menurunkan Pek-sim Kiam-hoat kepadamu.
Sian Lun merasa terkejut, akan tetapi otaknya yang cerdas membuat ia maklum akan kehendak suhunya. Iapun merasa girang sekali karena dari ucapan ini ternyata bahwa suhunya tidak merasa keberatan kalau ia menerima pelajaran dari orang lain. Ia cepat-cepat menganggukan kepalanya di depan susioknya dan berkata,
“Banyak terima kasih teecu haturkan atas kemurahan hati susiok yang sudi memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh.”
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, memang si tua bangka yang pintar memancing ikan di air keruh. Anak muda, seperti kukatakan tadi, yang mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat adalah orang yang mampu menghadapi seranganku selama dua puluh jurus lebih. Apakah kau berani menghadapi Pek-sim Ciang-hoat sampai lebih dari dua puluh jurus?”
Hampir saja Sian Lun menyatakan tidak berani, karena sebagai seorang terpelajar dan sopan, mana ia berani menantang susioknya? Akan tetapi suhunya membentak lagi,
“Gagukah kau, Sian Lun? Apakah kau hendak membikin malu suhumu yang telah melatihmu bertahun-tahun? Tentu saja kau berani, bukan?
Sian Lun menjadi serba salah. Untuk menyatakan berani, ia takut kalau menyinggung perasaan susioknya yang tentu merasa seakan-akan ditantang, sebaliknya menyatakan tidak berani, ia takut suhunya akan marah. Maka ia diam saja dan akhirnya tanpa berani memandang kepada suhu atau susioknya, ia berkata,
“Teecu akan mencoba kebodohan sendiri menghadapi serangan itu sampai dua puluh jurus.”
Beng To Siansu melompat berdiri dan bertepuk tangan gembira. Ia merenggutkan ular itu dari tangan muridnya dan sekali ia mengetukkan jarinya pada leher ular, ia lalu melepaskan ular itu di atas tanah.
Ular itu dapat melepaskan tubuhnya yang tadi digulung oleh Sian Lun, akan tetapi ketika hendak menggerakkan tubuh untuk pergi, ternyata bahwa lehernya tak dapat bergerak. Tentu saja, tanpa dapat menggerakkan leher, ular itu tidak dapat bergerak maju lagi.
“Hayo, kau layani susiokmu sampai dua puluh jurus lebih, Sian Lun!” kata Beng To Siansu. Adapun Liang Gi Cinjin menudingkan telunjuknya kepada kakek itu sambil berkata,
“Apakah kau kira aku seorang yang suka melanggar janji sehingga hal ini perlu dibuktikan sekarang juga?”
“Siapa takut kau melanggar janji? Dunia boleh jadi kiamat akan tetapi tak boleh jadi Liang Gi Cinjin melanggar janji. Aku hanya khawatir kalau-kalau kau lupa. Orang tua sudah pikun, takkan melanggar janji akan tetapi dapat lupa.” “Ha, ha, ha! Kau tuan rumah yang tidak tahu aturan, tamu datang-datang tidak diberi hidangan, bahkan dimintai sesuatu. Awas, kalau nanti sesudah aku mencoba muridmu ini kau tidak menghidangkan daging ular yang gemuk itu, selama hidupku aku akan menganggap kau seorang tuan rumah yang pelit dan jahat sekali.”
Untuk sejenak Beng To Siansu diam saja, kemudian ia menjawab sambil menghela napas, “Baiklah, manusia rakus! Sian Lun, setelah kau melayani susiokmu, jangan lupa, lekas potong ular itu dan panggang dagingnya untuk susiokmu.”
Legalah hati Liang Gi Cinjin mendengar jawaban ini. Dari jawaban ini, ia mengerti bahwa kakek tokoh Kun-lun-pai itu sudah merasa rela serarus persen bahwa pemuda itu menerima pelajaran ilmu pedangnya. Ia tahu bahwa kakek Kun-lun-san ini adalah seorang yang pantang makan daging, maka apabila kini memperbolehklan ular itu dipotong dan dimakan dagingnya, itu menandakan bahwa ia sudah rela sekali.
Hanya Sian Lun yang mendengarkan percakapan kedua orang tua itu dengan terheran-heran dan ia tidak mengerti artinya. Baginya, kedua orang kakek itu bicara seperti anak kecil yang suka bermain-main dan bertengkar mulut.
Iapun maklum akan pantangan makan barang berjiwa yang dilakukan oleh suhunya amat keras sehingga ia sendiripun diharuskan cia-cai (makan sayur, tidak boleh makan daging). Akan tetapi mengapa sekarang suhunya menyuruhnya memanggang daging ular yang mengerikan ini ?”
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang nampak gembira sekali itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun.
“Hayo, Sian Lun, bangunlah dan mari kita main-main sebentar. Jagalah dirimu sampai dua puluh jurus dan berlakulah hati-hati. Di dunia ini, hanya sedikit saja orang yang sanggup menahan seranganku sampai dua puluh jurus !”
Sian Lun lalu memberi hormat kepada Liang Gi Cinjin dan setelah berkata, “Maaf, teecu berlaku kurang hormat!” ia lalu memasang kuda-kuda dengan teguhnya.
Sebagai seorang pemuda yang sopan dan berotak cerdik, Sian Lun memasang kuda-kuda yang disebut Kera Sakti Menerima Buah, tubuhnya merendah, muka ditundukkan dengan kedua tangan di bawah dada, sepasang matanya ditujukan ke arah kedua pundak kakek itu dengan sikap menghormat.