Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 18

NIC

Ia mengadakan pemeriksaan dan membentuk barisan pemeriksa terdiri atas perwira-perwira pilihan Liem Siang Hong, perwira-perwira yang benar-benar gagah perkasa dan jujur, untuk memberantas segala kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Uang-uang sogokan, ancaman, yang biasa diderita oleh rakyat, dihapuskan.

Tentu saja ini hanya meliputi daerah Tai-goan saja, karena daerah lain berada di bawah kekuasaan pembesar lain. Tidak mengherankan apabila nama Kwee Siong sebentar saja jadi amat terkenal dan ia dihormati oleh rakyat jelata.

Para pembesar lain, biarpun ada yang merasa iri hati dan dengki terhadap Kwee Siong, namun seorangpun tidak ada yang berani mengganggu. Mereka tahu bahwa Kwee Siong mempunyai hubungan erat sekali dengan perwira Liem Siang Hong yang gagah perkasa, maka tidak ada yang berani mencoba-coba untuk main-main.

Hubungan antara Kwee Siong dengan Liem Siang Hong amat eratnya. Setiap hari mereka tentu bertemu, bercakap-cakap dan Kwee Siong memenuhi janjinya, yakni ia mendidik putera Liem Siang Hong. Semenjak anak itu berusia lima tahun, mulailah Kwee Siong mendidiknya dengan sungguh hati.

Anak itu bernama Liem Sian Lun, putera tunggal dari perwira Liem. Oleh karena Kwee Siong merasa amat sayang kepada anak itu, maka Sian Lun juga amat kasih kepada pamannya ini.

Boleh dibilang anak itu lebih banyak berdiam di dalam gedung Kwee Siong dari pada di dalam rumah ayahnya sendiri.

Dalam hal pendidikan, ternyata Kwee Siong lebih pandai dari pada Liem Siang Hong, karena perwira ini betapapun juga, memiliki kekerasan hati sebagai seorang perwira. Berbeda sekali dengan Kwee Siong yang adatnya lemah lembut dan memperlakukan anak itu dengan sabar dan manis budi. Terhadap ayahnya, Sian Lun merasa takut, akan tetapi terhadap Kwee Siong, ia merasa sayang dan menghormat.

Berkali-kali Siang Hong membujuk Kwee Siong untuk menikah lagi.

“Adikku yang baik,” katanya untuk kesekian kalinya, “Kau masih muda dan sudah mempunyai kedudukan baik. Mengapa kau menyiksa diri dan hidup dalam kesepian? Kau harus sayang masa mudamu, dan apakah kau tidak ingin mempunyai keturunan? Siapakah kelak yang akan melanjutkan riwayat keluarga Kwee? Kau katakan saja dan percayalah, aku yang akan mencarikan seorang jodoh yang cantik lahir bathin untuk menjadi isterimu.”

Akan tetapi Kwee Siong menggeleng-geleng kepala lalu berkata sedih, “Tidak bisa, twako. Aku tidak dapat melupakan Sui Giok, isteriku, dan aku tidak sampai hati untuk mendekati lain wanita.”

“Mengapa kau berpandangan demikian sempit dan bodoh, adik Kwee? Isterimu telah kembali ke alam baka, dan kalau memang benar dia amat menyintamu, aku yakin bahwa isterimu sekarang sedang bersedih dan kecewa pula melihat kau tidak mempunyai keturunan. Apakah kau kirah roh seorang isteri setia dan menyinta akan merasa suka melihat suaminya hidup sengsara, kesepian, dan kelak meninggalkan dunia tanpa ada keturunan ? Pikirlah dengan otak yang sehat, adikku.”

Akan tetapi, sukarlah membujuk Kwee Siong yang amat mencinta isterinya. Lima tahun kemudian, setelah merasa yakin bahwa isterinya yang tiada kabar beritanya itu tentu telah tewas, barulah Kwee Siong menerima bujukan kakak angkatnya dan menikahlah ia dengan seorang gadis cantik dari keluarga bangsawan she Liok. Ketika Kwee Siong menikah dengan gadis she Liok ini, maka sepuluh tahun telah berlalu semenjak ia meninggalkan Sui Giok dengan terpaksa itu.

Setahun kemudian, isterinya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kwee Cun. Makin berbahagialah hati Kwee Siong dan akhirnya ia berhasil melupakan Sui Giok, isteri pertama yang dianggapnya telah mati itu. Memang Kwee Siong sedang bernasib baik karena iapun telah menerima kenaikan pangkat dan dipindahkan ke kota raja.

Biarpun kini Kwee Siong telah bertempat tinggal di kota raja, namun hubungannya dengan Liem Siang Hong tetap baik. Mereka seringkali kunjung mengunjungi, dan putera tunggal Siang Hong, yakni Liem Sian Lun, semenjak berusia delapan tahun oleh ayahnya telah dikirim kepada suhunya, yakni pendeta Tao dari Kun-lun-san yang untuk sementara tinggal di dalam sebuah gua di atas bukit di Pegunungan Luliang yang tak jauh dari Tai-goan letaknya.

Guru dari Liem Siang Hong ini bernama Beng Kui Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi sekali. Tosu ini amat suka melihat Sian Lun dan berkatalah dia kepada muridnya itu setelah menatap seluruh tubuh Sian Lun, “Muridku Siang Hong, kau beruntung sekali. Puteramu ini memiliki tubuh seorang sin-tong (anak ajaib), bakatnya luar biasa sekali.”

Tentu saja Liem Siang Hong merasa girang dan bangga maka ia meninggalkan Sian Lun di pegunungan itu dengan hati besar. Juga Kwee Siong ketika mendengar bahwa Sian Lun telah mulai belajar silat pada seorang berilmu tinggi, merasa amat girang.

Ia telah menganggap Sian Lun sebagai anaknya sendiri. Dan oleh karena kini Sian Lun berada di atas gunung dan jarang sekali dapat bertemu dengannya, mulailah Kwee Siong merasa kesepian sekali sehingga akhirnya sebagaimana dituturkan di atas, ia menerima bujukan Liem Siang Hong dan menikah dengan Liok-siocia (nona Liok).

Waktu berjalan amat pesatnya dan delapan tahun semenjak Kwee Siong menikah, telah lewat tanpa terasa. Kini Kwee Cun telah berusia tujuh tahun. Anak ini cerdik dan lemah lembut seperti ayahnya. Kwee Siong hanya mempunyai seorang anak ini karena isterinya tidak melahirkan anak lagi.

Hal ini mungkin karena kesehatan isterinya itu seringkali terganggu. Akan tetapi, boleh dibilang bahwa hidup Kwee Siong beserta keluarganya amatlah bahagia. Adapun Sian Lun yang tadinya berguru kepada Beng Kui Tosu, telah menamatkan pelajaran ilmu silatnya selama lima tahun dan melihat bakatnya yang luar biasa, Beng Kui Tosu, atas persetujuan Siang Hong, lalu mengirimkan anak muda itu ke puncak Kun-lun-san untuk berguru kepada guru besar Kun-lun-pai, yakni Beng To Siansu.

Kakek sakti ini adalah tokoh tertinggi dari Kun-lun-pai dan masih terhitung susiok (paman guru) dari Beng Kui Tosu, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu kepandaiannya. Ketika itu, Sian Lun telah berusia sembilan belas tahun dan telah menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah dan berkepandaian tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada kepandaian Beng Kui Tosu, bekas gurunya.

******

Pada suatu hari, di puncak pegunungan Kun-lun-san, tempat kediaman Beng To Siansu, datanglah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Sungguhpun usia kakek ini sudah amat tinggi, dan agaknya tubuhnya sudah lemah tinggal menanti maut datang menjemput nyawanya, namun ternyata ia masih amat kuat. Bukan hanya kuat, akan tetapi bahkan luar biasa sekali. Ia mendaki gunung itu bagaikan terbang saja, biarpun kedua kakinya bergerak perlahan, namun ia maju dengan amat cepatnya, jurang-jurang lebar dilompatinya begitu saja.

Kakek ini bukan lain adalah Liang Gi Cinjin, pencipta dan pendiri Pek-sim-kauw, tosu yang tinggi sekali ilmu silatnya, terutama sekali ilmu pedangnya. Seperti biasa, kakek ini melakukan perantauan dan datang mengunjungi Beng To Siansu yang menjadi sahabat baik dalam bercakap-cakap atau menjadi musuh besar dalam pertandingan catur.

Telah hampir sepuluh tahun Liang Gi Cinjin tidak mengunjungi Kun-lun-san, maka ia merasa amat rindu untuk bercakap-cakap atau main catur dengan ketua dari Kun-lun-pai itu. Beng To Siansu yang memiliki pendengaran luar biasa tajamnya, biarpun ia tengah duduk dalam guanya, sebelum tamunya kelihatan, ia telah tertawa dan menyambut dari dalam gua dengan kata-kata gembira,

“Liang Gi Cinjin, setan catur. Apakah kau sudah berlatih cukup banyak untuk datang menghadapi papan catur dengan aku?”

Liang Gi Cinjin berdiri di depan goa dan tertawa bergelak, kedua tangan bertolak pinggang dan mukanya didongakkan ke atas.

“Beng To Siansu, setan tua! Orang yang selalu menyekap dirinya di dalam goa yang sempit seperti kau, bagaimana bisa sehat ? Heran, orang seperti kau masih bisa panjang usia!”

Belum habis Liang Gi Cinjin bicara, dari dalam goa itu keluarlah seorang kakek lain yang bertubuh tinggi besar dan rambutnya juga putih semua seperti rambut Liang Gi Cinjin. Usia kedua orang kakek ini memang sebaya, dan sukarlah dikatakan siapa yang lebih sehat di antara keduanya, karena muka mereka masih nampak merah dan segar sekali.

“Liang Gi Cinjin, biarpun aku tinggal di dalam gua yang sempit, namun hawa yang masuk di dalam gua adalah hawa pegunungan yang bersih, tidak seperti kau yang setiap hari mengisap hawa kota yang kotor, mengandung debu tahi kuda!” Beng To Siansu menjawab sambil tertawa juga. Sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, kedua orang kakek ini lalu duduk bersila di depan gua, di atas rumput yang bersih. Mereka menghadapi sebuah papan catur dan mulai bermain catur. Kepandaian mereka dalam permainan ini seimbang dan juga dalam ilmu silat, kepandaian mereka setingkat.

Pernah mereka memperbincangkan tentang ilmu silat dan pernah pula pibu (mengadu kepandaian) akan tetapi ternyata mereka tak dapat saling mengalahkan lawan. Sesungguhnya, Liang Gi Cinjin masih terhitung adik seperguruan, akan tetapi kakek ini cepat sekali memperoleh kemajuan sehingga tingkat mereka menjadi seimbang dan perhubungan mereka yang amat erat itu melenyapkan sebutan suheng dan sute.

Ketika bicara tentang keadaan negara, Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

“Beng To Siansu, ramalanmu dahulu itu tepat sekali. Pemerintahan Sui yang sekarang ini memang telah mendekati keruntuhannya. Kaisar terlalu tamak dan tidak mengingat akan keadaan rakyat jelata. Baru saja rakyat diperas tenaganya untuk pembangunan besar-besaran, kini tentara kerajaan mulai dikerahkan untuk menyerang daerah timur (Korea).

Ketika aku menuju ke sini, aku mendengar tentang pemberontakan-pemberontakan yang mulai timbul, mula-mula di pegunungan Cangpai di propinsi Santung. Entah bagaimana nanti jadinya dengan pemerintah ini.”

“Biarlah, tak usah kita pikirkan urusan seperti itu,” jawab Beng To Siansu, “kalau sudah tiba masanya, di mana muncul calon pemimpin yang bijaksana, barulah kita memerintah anak murid kita untuk membantu pergerakan mulia itu.”

Posting Komentar