Halo!

Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 32

Memuat...

“Ha-ha! Begini saja ilmu silat Siauw-lim yang buruk dan busuk! Ha-ha! Berkelitlah, tangkislah, larilah...!” Dan kini setiap kali ia menusuk, ia barengi dengan ejekan-ejekan, “Awas lehermu, awas perut! Awas mata!” Dan ini pemuda she Bun itu hanya bisa mundur sambil melangkah berputar-putar di atas panggung dengan napas terengah-engah. Ketika tusukan ke arah matanya ia hindari, ia kurang cepat dan jari-jari tangan kiri Gan Kong yang kuat telah menyerempet pipinya sehingga robek kulitnya dan darah memenuhi bagian mukanyaini. Pemuda itu terhuyung-huyung, akan tetapi Gan Kong tidak mau berhenti dan terus maju menyerang dengan tusukan ke arah ulu hati yang tentu akan mendatangkan maut apabila terkena. Pemuda she Bun itu cepat menjatuhkan dirinya untuk mengelak dari serangan maut ini, akan tetapi pada saat itu, kaki tangan Gan Kong menyambar sehingga ia terguling-guling di atas panggung. Untung bahwa kaki itu hanya mengenai pahanya, akan tetapi Gan Kong benar-benar kejam. Sambil tertawa-tawa ia memburu dan kakinya yang bersepatu sol besi itu diangkat tinggi untuk diinjakkan keras-keras ke arah kepala pemuda she Bun!

Para penonton menahan napas, bahkan ada yang berseru ngeri dan pemuda she Bun yang maklum bahwa apabila kepalanya kena injak ia akan menderita luka hebat lalu berusaha sedapatnya untuk menghindarkan kepalanya dari serangan ini. Ia bergulingan dengan gerakan Naga Bermain-main Dengan Mustika. Tubuhnya bergulingan dengan cepat, akan tetapi sambil tertawa-tawa Gan Kong mengejar dengan injakan-injakan kedua kakinya. Benar-benar jiwa pemuda she Bun itu terancam hebat!

Pada saat itu, Sui Lan tak dapat menahan sabar lagi. Ia melihat betapa tiga orang kawan she Bun itu memandang pucat dan tak berdaya ke atas panggung, maka ia lalu mengeluarkan thi-lian-ci dan dua kali tangannya bergerak menyambit dengan thi-lian-ci berturut-turut ke arah Gan Kong.

Gan Kong yang sedang berusaha menginjak kepala lawannya, tiba-tiba mendengar sambaran angin dekat sekali dengan telinga kanannya. Ia terkejut dan maklum bahwa ada senjata rahasia yang menyambar, maka cepat ia miringkan kepala ke kiri. Tak terduga sama sekali pada saat itu senjata rahasia kedua menyambar ke arah telinga kirinya dan biarpun ia berusaha mengelak, akan tetapi sudah tak keburu lagi. Ia berteriak kesakitan dan pinggir daun telinganya sebelah kiri menjadi robek tertembus thi-lian-ci! Darah mengucur dari daun telinganya dan ia menggunakan tangan untuk menutupi daun telinga kiri itu. Sementara itu pemuda she Bun telah melompat berdiri lalu cepat-cepat melompat turun dari panggung.

Bukan main marahnya Gan Kong. Mukanya menjadi merah bagaikan kepiting direbus. Sambil memegangi telinganya ia memandang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi.

“Bangsat keji yang curang!” ia memaki. “Orang yang melepas senjata gelap, naiklah untuk terima binasa!”

Tak seorangpun melihat gerakan Sui Lan yang amat cepat itu, maka semua penonton terheran-heran melihat betapa tiba-tiba telinga orang kejam itu telah menjadi robek pinggirnya. Semua orang bersyukur melihat bahwa pemuda she Bun itu terhindar dari bahaya maut, akan tetapi sekarang mereka menjadi ketakutan ketika melihat Gan Kong menjadi demikian marah.

Sui Lan telah siap untuk melompat naik ke atas panggung, akan tetapi, tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat bayangan putih dengan gerakan gesit sekali dan tahu-tahu di depan Gan Kong telah berdiri seorang pemuda yang tampan dan gagah, berpakaian putih bersih dan pinggangnya diikat sabuk sutera biru topinya juga berwarna biru dihias ronce-ronce benang emas. Sui Lan tercengang dan memandang dengan mata terbelalak heran karena ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang menunggang kuda putih yang pernah bertemu bahkan bertempur dengan dia pada waktu ia baru saja turun dari gunung! Entah mengapa, ia melihat pemuda ini, hatinya berdebar girang, seakan-akan merasa bertemu dengan seorang sahabat lama yang baik! Kalau sekiranya lain orang yang naik ke panggung, tentu ia takkan memperbolehkan dan akan melompat pula dan menggantikan orang itu. Akan tetapi, melihat pemuda itu yang melompat menghadapi Gan Kong ia bahkan merasa girang dan ingin sekali melihat sepak terjang pemuda itu, karena ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian pemuda itu lihai sekali.

Dengan senyum lebar pemuda itu berdiri di depan Gan Kong yang memandangnya dengan mata bernyala.

“Kaukah yang melakukan serangan am-gi (senjata gelap) secara pengecut tadi?” bentak Gan Kong dengan tangan terkepal karena menahan marahnya.

Pemuda itu tersenyum lucu dan menjawab sambil miringkan kepala dan memandang penuh ejekan, “Bukan, bukan aku. Akan tetapi aku merasa girang bahwa telingamu yang tebal seperti telinga keledai itu diberi sedikit hajaran. Hanya sayang sekali, pelempar thi-lian-ci tadi terlalu seji (sungkan-sungkan), karena seharusnya bukan hanya telingamu yang dihajar, akan tetapi juga mulutmu karena terlalu kurang ajar dan sombong!”

Bukan main herannya hati semua penonton mendengar ucapan pemuda yang luar biasa beraninya ini, dan bukan main marahnya hati Gan Kong mendengar sindiran ini sehingga ia mengertakkan gigi menahan marah. Bahkan Sui Lan juga merasa mendongkol sekali karena dicela oleh pemuda yang lihai itu. Diam-diam ia merasa kagum karena pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia yang melukai telinga Gan Kong adalah thi- lian-ci dan tiba-tiba Sui Lan merasa mukanya merah dan hatinya berdebar. Kalau pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia tadi thi-lian-ci, tentu pemuda itu tahu pula bahwa dialah yang melepaskan am-gi itu, karena dulu ia pernah pula menyerang pemuda itu, bahkan encinya, Hwe Lan pernah menyerangnya dengan thi-lian-ci ke arah telinganya!

“Bangsat bernyali besar!” teriak Gan Kong dengan marah. “Aku tidak perlu dengan kau, yang kuminta naik adalah penyerang gelap tadi!”

Pemuda itu tersenyum pula penuh ejekan. “Bangsat bernyali kecil!” ia balas memaki. “Menurut aturan pibu, siapa yang maju lebih dulu, ia berhak ddilayani paling dulu pula! Tentang Si Penyerang dengan thi-lian-ci tadi, jangan khawatir, nanti dia juga tentu akan muncul untuk menambah dengan beberapa butir thi-lian-ci lagi pada mulut dan hidungmu sampai mukamu penuh dengan thi-lian-ci! Akan tetapi sekarang, akulah yang harus kau layani lebih dulu!”

Diam-diam Sui Lan tersenyum geli mendengar ucapan yang amat nakal dan jenaka itu, dan tanpa diketahuinya, sepasang matanya yang indah itu berseri gembira.

Gan Kong memandang tajam kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa pemuda yang cakap ini usianya paling banyak dua puluh tahun, sikapnya lemah lembut dan cara ia menegakkan kepalanya seperti seorang bangsawan. Dari balik punggungnya nampak gagang pedang yang dironce benang merah.

“Kau siapakah? Apakah kau juga anak murid Siauw-lim-pai? Siapakah namamu?”

“Kau ingin mengetahui namaku? Baiklah, kau memang harus mengetahui namaku agar supaya kau tahu siapakah orangnya yang telah mengalahkan kesombonganmu. Aku bernama The Sin Liong, dan tentang cabang persilatanku, aku harus menyatakan bahwa aku tidak mempunyai cabang persilatan. Aku tidak mau membawa-bawa nama perguruan untuk dipakai menyombong dan menghina lain orang seperti kau dan kawan-kawanmu ini. Kalau kau memang mempunyai sedikit kepandaian, majulah dan kita boleh main-main sebentar. Sebaliknya kalau kau tidak becus apa-apa, lebih baik kau simpan kesombonganmu, pulang kembali ke tempat perguruanmu untuk belajar sedikitnya sepuluh tahun lagi!” Orang-orang yang menonton mulai merasa gembira mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini. Dengan sikapnya yang lucu dan sama sekali tidak mempedulikan kemarahan orang yang diganda tersenyum saja itu, pemuda yang bernama The Sin Liong ingin melenyapkan suasana tegang dan menimbulkan kegembiraan dalam hati para penonton.

Pada saat itu, orang Go-bi-pai yang bermuka kuning dan kurus itu berdiri dan berkata kepada Gan-kong,

“Gan-loheng, biarlah siauw-te yang menghadapi pemuda ini. Kau telah bertempur dan lebih baik beristirahat dulu sambil merawat luka di telingamu.”

Gan Kong memang hendak menyiapkan tenaganya untuk menghadapi orang yang telah melukai telinganya, dan karena darah dari daun telinganya masih membasahi leher, ia pikir lebih baik mundur dulu dan memberi giliran kepada kawannya ini. maka ia mengangguk dan melompat mundur.

Murid Go-bi-pai ini yang bermuka kuning dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia ahli lwee-keh yang pandai, lalu menghadapi pemuda itu dan berkata,

“Saudara muda yang gagah, sebenarnya datang dari perguruan manakah? Aku Boan Kin dari Go-bi-pai mohon penjelasan.”

Melihat sikap anak murid Go-bi-pai ni tidak sesombong Gan Kong, pemuda ini lalu berkata sambil memandang tajam,

“Saudara Boan Kin, lupakah kau akan pelajaran dari perguruanmu bahwa anak murid Go-bi-pai tidak boleh bergaul dengan orang-orang jahat? Akan tetapi kau tidak saja berkawan dengan orang-orang kasar dan jahat, bahkan sambil bersekutu dengan mereka kau hendak menyombongkan nama perguruan dan kepandaianmu, menghina orang lain secara sewenang-wenang? Kalau Pek Bi Locianpwe (Pek Bi Tojin) masih hidup, bukankah kau akan mendapat hukuman berat karena pelanggaran ini?”

Boan Kin tercengang dan wajahnya pucat. Tentu saja sebagai murid Go-bi-pai ia mengerti tentang pelajaran itu dan mengerti pula bahwa Pek Bi Tojin ketika hidupnya amat keras terhadap anak muridnya yang melanggar larangan-larangan. Akan tetapi, tidak sembarangan orang dapat melihat cacat diri sendiri. Ia tidak merasa salah bergaul dengan anak murid Bu-tong-san, dan tidak merasa salah pula menghina orang-orang Siauw-lim yang pernah bermusuhan dengan cabang persilan Go-bi-pai.

“Anak muda!” katanya dengan suara mulai menyatakan kemarahannya. “Jangan mencoba untuk menjadi penasehatku. Urusan peraturan dan lain-lain dari Go-bi-pai adalah urusan perkumpulan kami, kau sebagai orang luar tak berhak ikut campur! Terus terang saja, aku amat benci pada murid-murid Siauw-lim-pai dan kalau kau seorang murid Siauw-lim-pai, kita boleh mengadu jiwa di atas panggung ini. sebaliknya kalau kau bukan murid Siauw-lim-pai dan tidak mempunyai permusuhan dengan kami, lebih baik kau turun saja atau boleh saja kita mengadakan pibu untuk perkenalan!”

“Aduh galaknya!” kata Sin Liong sambil tersenyum. “Memang sukar melihat bisul di punggung sendiri!” “Apa maksudmu?” tanya Boan Kin.

“Melihat bisul di punggung sendiri berarti insaf akan kekeliruan diri sendiri. Baiklah, kau anggap saja aku seorang lancang yang naik ke panggung ini untuk mencoba sampai di mana kelihaian anak-anak murid Go-pi- pai dan Bu-tong-pai yang sombong. Kulihat di sini terdapat dua orang murid Go-bi-pai, mengapa kau tidak maju dengan saudaramu itu?” Sambil berkata demikian, Sin Liong menuding ke arah anak murid Go-bi-pai yang lebih muda dan yang bermata lebar itu.

Para penonton makin terasa heran. Apakah pemuda ini sudah gila dan tidak terlalu gegabah?

Sementara itu murid Go-bi-pai yang bermata lebar itu sebetulnya adalah adik kandung Boan Kin dan bernama Boan Swe, watak Boan Swe tidak sesabar kakaknya dan ia terkenal berangasan sekali. Oleh karena itu, mendengar ejekan dan tantangan pemuda itu, ia melompat ke atas panggung dan sepasang matanya yang besar itu makin melebar dan bola matanya berputar-putar mengerikan.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment