Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 30

NIC

Akan tetapi, tentu saja orang-orang kasar ini bukanlah lawan Sui Lan yang berkepandaian tinggi. Sekali tubuh gadis itu berkelebat, para perampok menjadi melongo karena gadis itu telah lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu telah terdengar suara ketawanya di belakang tubuh mereka! Dengan cepat mereka berbalik dan menyerang lagi, akan tetapi mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, Sui Lan bergerak cepat ke sana kemari dan mempermainkan mereka bagaikan seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak kecil!

Sambil mengelak ke kiri, tangannya yang dibuka jari-jarinya merupakan golok menyambar ke arah lawan dan ‘ngek!’ seorang perampok terguling roboh karena perutnya kena dimasuki tangan itu. Ia bergulingan di atas tanah karena perutnya tiba-tiba menjadi ‘mulas’ dan sakit sekali. Sui Lan tertawa-tawa kemudian tubuhnya menyambar lagi dengan kaki diayun. “Buk!” tubuh seorang pengeroyok terpental sampai lima kaki lebih dan jatuhnya kebetulan sekali menimpa seorang di antara tiga orang perampok yang kakinya kena ditendang tadi sehingga keduanya bergulingan sambil mengaduh-aduh. Tenyata orang itu kena ditendang pantatnya dengan keras oleh kaki Sui Lan!

Kini pengeroyoknya tinggal tiga orang lagi. Kepala rampok muka merah itu merasa penasaran sekali, dan juga terkejut. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini demikian lihai sehingga dengan tangan kosong sanggup menghadapi keroyokan lima orang bersenjata, bahkan dengan amat mudahnya telah merobohkan dua orang pengeroyok. Ia memutar-mutar goloknya dengan cepat dan ingin sekali dengan bacokan goloknya ia membuat tubuh gadis yang kecil itu terpotong menjadi dua. Kini nafsunya untuk mendapatkan gadis cantik itu lenyap, terganti nafsu untuk membunuh karena marah dan mendongkol.

Akan tetapi, dengan enaknya dan sambil tersenyum-senyum, Sui Lan mempermainkan mereka bertiga dan pada saat dua orang anak buah perampok menyerang dari kanan kiri, Sui Lan mengelak cepat, lalu kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. “Plok! Plok!” kedua telapak tangannya telah menyambar muka dua orang itu sehingga keduanya berteriak. “Aduh...!” lalu menutupi muka mereka yang kena ditampar, karena tamparan tadi mengenai mata mereka sehingga terasa pedas dan kepala mereka menjadi pening. Sebelum mereka tahu harus berbuat apa, tiba-tiba rambut kepala mereka ada yang menjambak dan tiba-tiba...”Duk!” kepala mereka diadu satu kepada yang lain sehingga seakan-akan pecahlah dunia ini bagi mereka. Pandangan mereka berkunang-kunang dan tubuh mereka berputar-putar terhuyung-huyung ke kanan kiri, kemudian mereka roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Tinggallah Si Kepala Rampok seorang yang masih melawan dengan goloknya, akan tetapi diam-diam ia mengeluh. “Celaka! Kali ini aku bertemu dengan siluman!” Akan tetapi Sui Lan tidak mau membiarkan kepala rampok itu menduga-duga lebih lama lagi. Sekali tangannya digerakkan, ia telah berhasil menotok jalan darah tai-hwi-liat di punggung kepala rampok itu sehingga Si Muka Merah berdiri dengan tubuh kaku! Biarpun ia masih berdiri dengan kuda-kuda kuat, kaki kanan di belakang dan kaki kiri di depan, tangan kirinya dikepal dan didekatkan di pinggang, sedangkan tangan kanan memegang golok yang diangkatnya untuk membacok, akan tetapi ia tidak kuasa menggerakkan tubuhnya lagi!

Sui Lan tertawa bergelak dan berkata, “Bagus, kau seperti sebuah patung penjaga kelenteng!”

“Lihiap, ampunkan kami...” kepala rampok itu masih dapat bicara, walaupun suaranya terdengar perlahan sekali.

“Kau suruh dulu anak buahmu mengambil uang pajak seratus tail perak itu!” kata Sui Lan.

Akan tetapi, kepala rampok itu agaknya berat untuk melakukan perintah ini dan diam saja tak menjawab. Sui Lan menjadi tak sabar dan sekali ia ulur tangan, golok di tangan kanan rampok itu telah ia rampas. Dengan golok itu ia lalu menuding ke arah perut Si Kepala Rampok yang gendut itu sambil berkata,

“Kalau tidak lepas kau keluarkan pajak itu, akan kubelah perutmu dan hendak kulihat apakah sebenarnya isi perutmu yang besar ini!”

Kepala perampok itu diam saja sedangkan anak buahnya yang telah siuman kembali memandang dengan ketakutan dan muka pucat. Mereka benar-benar telah membentur karang yang luar biasa kerasnya kali ini!

“Kau tidak rela memberi pajak itu? Baik, mari kita sama-sama lihat isi perutmu!” Sui Lan menggerakkan goloknya ke arah perut itu dan sengaja menusuk sedikit kulit perut di balik pakaian itu. Kepala perampok itu berjengit lalu berkata ketakutan, “Baik, Lihiap, baik...” Ia lalu berkata kepada seorang anak buahnya yang masih dapat berjalan untuk mengambil uang yang diminta itu dari sarang mereka yang berada di dalam hutan.

Anggota perampok yang diperintah itu lalu berlari ke dalam hutan dan tak lama kemudian, betul saja ia datang membawa sekantung uang. Ia memberikan kantung uang itu kepada Sui Lan dengan sikap menghormat, dan Sui Lan menerimanya sambil menimbang-nimbang beratnya dengan tangan kiri. Setelah membuka kantung dan mendapatkan kenyataan bahwa isinya betul uang perak, ia lalu tersenyum dan menyimpan kantung uang ittu ke dalam bungkusan pakaiannya.

“Nah, biarlah sedikit pajak ini menjadi pelajaran bagi kalian, bahwa ada kalanya merampas juga ada waktunya dirampas! Lain kali janganlah suka mengganggu gadis-gadis muda lagi dan jangan merampok secara sembarangan saja!” Ia lalu mengangkat kakinya menendang ke arah punggung kepala rampok itu yang roboh terguling, akan tetapi sekaligus totokan yang membuatnya kaku tak dapat bergerak itu telah dapat disembuhkan! Ketika mereka memandang ternyata gadis yang luar biasa itu telah melompat jauh dan lenyap dalam sebuah tikungan jalan.

Senanglah hati Sui Lan setelah mendapatkan bekal ini karena ia tak usah merasa kuatir lagi dalam perjalanan. Beberapa hari kemudian, ia sampai di Propinsi Ho-nan dan ketika ia tiba di kota Kang-cu, ia berhenti dan bermalam di kota itu, karena ia amat tertarik dengan keindahan dan keramaian kota. Ketika Sui Lan memasuki ruang sebuah hotel besar untuk mencari kamar, ia bertemu dengan tiga orang laki- laki yang sikapnya menunjukkan sebagai ahli-ahli silat, ia melihat tiga orang itu mengerlingkan dengan pandang tajam penuh kekaguman. Ia tidak melayani mereka dan pura-pura tidak melihatnya, akan tetapi memandangnya dengan penuh perhatian. Hatinya mendongkol bukan main karena biarpun ia tidak merasa heran melihat mata laki-laki mengikutinya dan hal ini sudah seringkali dialaminya di mana-mana, akan tetapi memandang orang di dalam hotel seperti itu, sungguh terlalu sekali!

Ia mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang dan setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kamar itu cukup bagus, ia lalu memasuki kamar itu dan beristirahat.

Hari itu sudah mulai gelap, karena masih lelah, Sui Lan tidak mau keluar dari hotel dan mengambil keputusan untuk berjalan-jalan besok pagi saja. Setelah membersihkan tubuh dan makan malam, ia terus tinggal di dalam kamarnya, tidak keluar lagi. Akan tetapi, menjelang tengah malam, ia mendengar suara bisik-bisik di luar jendela kamarnya dan cepat ia melompat turun dengan hati-hati dan mengintai keluar. Ia melihat ada bayangan tiga orang berada di luar kamarnya dan mendengar percakapan mereka sambil berbisik,

“Jangan, Sute, jangan berlaku sembrono. Kalau diketahui oleh orang lain, nama kita akan rusak!”

“Aku tidak takut,” jawab suara lain, “apa peduli orang lain dengan urusan kita? Bunga seindah itu sayang sekali kalau tidak dipetik!”

“Hush, jangan begitu, Sute. Kita sedang menghadapi urusan besar besok pagi, kalau sampai diketahui orang, apakah kita tidak malu terhadap anak-anak murid Go-bi? Jangan kita merendahkan nama sendiri. Soal bunga itu, mudah saja kita petik kalau sudah selesai urusan besok pagi, atau kita boleh mencegatnya di luar kota kalau ia pergi. Akan tetapi jangan sekarang, apalagi jangan di tempat ini!”

Bayangan itu pergi lagi dan Sui Lan merasa gemas dan mendongkol sekali. Ia maklum bahwa tiga bayangan itu adalah orang-orang yang siang tadi dilihatnya ketika ia memasuki hotel itu dan dari percakapan mereka, ia maklum pula bahwa mereka adalah bangsa jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka mengganggu anak bini orang. Hal ini pernah ia dengar dari gurunya dan menurut pesan gurunya, apabila ia dan enci- encinya bertemu dengan penjahat macam ini, boleh terus dibunuh jangan diberi ampun lagi! Memang dapat dimaklumi perasaan dan kebencian hati wanita menghadapi perusak-perusak wanita ini.

Sui Lan berjanji di dalam hati sendiri untuk menyelidiki keadaan tiga orang itu dan kalau betul-betul mereka adalah penjahat-penjahat pemetik bunga seperti yang ia duga, ia akan membasmi mereka. Juga ia tertarik mendengar percakapan mereka yang menyebut-nyebut nama Go-bi-pai. Terang bahwa mereka bukan anak murid Go-pi-pai, dan entah apa hubungan mereka dengan Go-bi-pai.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sui Lan telah bangun dan bersiap sedia melakukan pengintaian. Ia tahu bahwa tiga orang yang hendak diselidikinya itu juga bermalam di situ, maka ketika ia melihat mereka keluar dari hotel, ia lalu cepat menyusul dan mengikuti mereka dari belakang. Mereka menuju ke tengah kita, pusat keramaian kota itu dan dari jauh Sui Lan telah mendengar suara gembreng dan tambur.

Tiga orang yang diikutinya itu langsung menuju ke tempat yang ramai itu dan ternyata di tengah-tengah lapangan yang penuh orang, terdapat sebuah panggung lui-tai (panggung tempat bermain silat) yang tingginya hampir dua tombak. Dia tas panggung yang lebar itu, terdapat dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, dan mereka inilah yang memukul tambur dan gembreng. Sikap kedua orang ini menyatakan jelas bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang mengerti ilmu silat dan mereka selalu memandang ke sana kemari seakan-akan menanti datangnya orang-orang lain.

Tiga orang dari hotel yang diikuti Sui Lan itu menghampiri lui-tai dan gerakan tangan mereka melompat ke atas panggung, disambut oleh dua orang itu yang melepaskan tetabuhan mereka dan segera mereka bercakap- cakap. Setelah itu, seorang di antara tiga orang yang diikuti oleh Sui Lan tadi, berdiri menghadapi penonton yang telah banyak berkumpul, mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata dengan suara lantang, “Cuwi sekalian yang terhormat! Kami dan Go-bi-pai, hari ini sengaja membuka panggung lui-tai ini untuk mendemonstrasikan ilmu silat dari kedua cabang kami dengan harapan agar khalayak ramai dapat menikmati keindahan ilmu silat cabang Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Telah lama kami mendengar bahwa di kota ini terdapat banyak orang pandai dari berbagai cabang, di antaranya dari cabang Siauw-lim, cabang yang telah memberontak dan telah ditumpas oleh kerajaan itu. Dari para ahli silat lain cabang, kami mengharapkan petunjuk-petunjuk apabila terdapat kekurangan dalam pertunjukan kami, sedangkan apabila di sini masih terdapat sisa anak murid Siauw-lim-pai, kami menantang mereka untuk naik ke panggung dan mengadu kepandaian!”

Setelah anak murid Bu-tong-pai ini mengangkat bicara maka tambur dan gembreng dipukul lagi sedangkan para penonton makin banyak datang menonton. Sui Lan merasa mendongkol sekali mendengar ucapan itu dan ia memperhatikan dengan mata tajam. Orang yang bicara tadi usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan matanya mengandung sifat kejam. Orang kedua yang tadi diikutinya, adalah seorang yang berusia kira-kira tiga puluh tahun, berwajah tampan dan pakaiannya mewah, tanda bahwa ia seorang pesolek. Orang ketiga juga berusia kira-kira tiga puluh tahun dan bermuka hitam. Tiga orang ini kini mudah diduga bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai dan melihat cara mereka melompat ke atas panggung tadi, dapat diduga bahwa kepandaian mereka cukup lihai. Dua orang anak murid Go-bi-pai itu pun nampak gagah. Yang seorang bermuka kuning dan biarpun tubuhnya tinggi besar, akan tetapi kelihatan kurus dan gerak geriknya lambat, tanda bahwa dia adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga lwee-kang tingkat tinggi. Orang kedua mempunyai gerak gerik gesit dan matanya lebar dan bundar menakutkan.

Anak murid Go-bi-pai yang bermata bundar ini lalu maju ke tengah panggung dan menjura keempat penjuru kepada penonton sambil berkata dengan suaranya yang besar dan parau,

“Siauw-te Boan Swe memperlihatkan sedikit kebodohan!”

Setelah berkata demikian, ia lalu mencabut goloknya dan mulai bersilat. Ilmu goloknya dari cabang Go-bi-pai cukup indah dan cepat sehingga goloknya berkelebatan menyilaukan mata penonton. Semua orang menyambut permainan ini dengan tepuk tangan menyatakan kekaguman mereka, akan tetapi diam-diam Sui Lan mentertawakan karena permainan itu hanyalah di luarnya saja nampak indah dan menakutkan, akan tetapi sebenarnya kurang isi.

Setelah Boan Swe selesai bersilat, murid Bu-tong-pai yang tertua maju ke tengah panggung dan berkata kepada para penonton,

“Cuwi sekalian. Tadi seorang saudara dari Go-bi-pai telah mempertunjukkan ilmu goloknya. Apabila di antara saudara sekalian ada yang sudi naik ke panggung untuk bermain-main dengan dia, maka kami akan berterima kasih sekali. Terutama kami tujukan kepada anak murid Siauw-lim-pai, kalau kebetulan ada yang berada di antara para saudara penonton, harap naik dan boleh mencoba-coba kepandaian!”

Posting Komentar