Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 29

NIC

Ia menduga bahwa kedua saudaranya, entah lebih dulu atau belakangan, tentu juga mengambil jalan ini dan akhirnya ia mengharapkan untuk bertemu dengan kedua encinya itu di kota raja atau di tengah jalan. Yang agak membingungkan hatinya adalah bahwa uang bekalnya telah habis sama sekali, karena ia memang tidak membawa uang dan kantung uang dibawa oleh Hwe Lan.

Akan tetapi, dasar ia bernasib baik, ketika ia sedang berjalan dengan bingung melalui sebuah hutan besar dan liar, tiba-tiba dari belakang gerombolan pohon berlompatan keluar delapan orang tinggi besar yang bersikap kasar. Sekali lihat saja tahulah Sui Lan bahwa mereka itu adalah perampok-perampok kejam, akan tetapi Sui Lan pura-pura tak melihat mereka dan berjalan terus ke depan.

Seorang di antara mereka yang bermuka merah melompat di tengah jalan, menghadangnya, sedangkan kawannya lalu melangkah maju pula dan mengurung gadis itu sambil tertawa-tawa menyeringai. Terpaksa Sui Lan menghentikan tindakan kakinya dan sambil tersenyum ia berkata,

“Eh, eh, kalian ini orang-orang apakah? Agaknya kalian ini yang biasa disebut orang-orang hutan, betulkah?”

Biarpun dimaki orang hutan, akan tetapi oleh karena gadis itu luar biasa cantik jelita dan juga tersenyum- senyum dengan mata berseri gembira, para perampok itu tidak menjadi marah, bahkan mereka semua lalu tertawa gembira.

“Ha-ha-ha!” Kepala rampok yang bermuka merah itu tertawa sambil memegangi perutnya yang besar dengan kedua tangan. “Kau benar, Nona cantik! Kita memang orang-orang hutan dan aku adalah rajanya, raja hutan yang kuat dan gagah! Dan kau patut menjadi permaisuriku, ha-ha-ha!”

“Ah, perutmu mengingatkan aku akan perut kerbau! Siapa sudi menjadi permaisurimu?” kata Sui Lan yang masih saja bersikap jenaka.

Kata-katanya ini kembali disambut gelak tertawa.

“Kau pilih yang kecil perutnya? Lihat, perutku kecil sekali, Nona manis!” kata seorang anggota perampok yang melompat maju.

Sui Lan memandang perampok itu yang bertubuh kurus kering dan tinggi bagaikan batang bambu. Tentu saja perutnya kecil sekali seakan-akan sudah sebulan perutnya tidak kemasukan sesuatu. Sui Lan memicingkan matanya dan bibirnya cemberut.

“Hm, kau seperti cacing tana! Geli aku melihatnya!”

Berganti-ganti para perampok itu maju menawarkan dirinya, dan kesemuanya dicela oleh Sui Lan yang menyebutkan cacat-cacatnya. Akhirnya kepala rampok itu berkata,

“Gadis manis, kau hendak pergi kemanakah?”

“Aku sedang melancong. Mengapa kalian menghadang di jalan? Minggirlah dan beri jalan padaku.”

“Ha-ha-ha! Enak sekali kau bicara. Kau sungguh sembrono sekali melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan ini. seorang gadis cilik yang cantik jelita seperti kau, sungguh aneh, sungguh aneh! Ayah ibumu benar- benar tega sekali membiarkan kau melakukan perjalanan seorang diri. Serahkanlah bungkusanmu itu dan kau harus ikut dengan ka mi, agar jangan hidup seorang diri seperti ini. Sungguh kasihan sekali!”

Sui Lan tersenyum. “Hm, tak salah lagi. Kalian tentu perampok-perampok orang-orang hutan yang berlagak seperti manusia. Aku mendengar bahwa perampok-perampok mengumpulkan harta kekayaan dari orang- orang yang lewat dan karena sekarang aku perlu sekali uang bekal, maka kalian harus membayar pajak padaku!”

Para perampok itu saling pandang dan tertawa mengejek. Baru kali ini mereka mendengar ada orang, seorang gadis cantik pula, minta pajak dari mereka! Biasanya merekalah yang minta ‘pajak jalan atau pajak hutan kepada para korban yang lewat di situ.

“Kau benar-benar mengagumkan begini tabah dan berani, sama sekali tidak takut! Alangkah baiknya kalau kau menjadi permaisuriku!” kata kepala perampok itu yang segera bergerak maju hendak memeluk.

Sui Lan memandang dengan lagak yang mengejek dan berkata, “Pernah ada orang bilang bahwa orang hutan pandai menari seperti monyet, hendak kulihat kebenaran ucapan itu!” Begitu ucapan ini habis, ia bergerak cepat dan kakinya menendang ke arah kaki seorang anggota perampok yang berdiri dekat. Perampok itu hendak mengelak, akan tetapi ia kalah cepat dan tulang kering pada kakinya telah berkenalan dengan ujung sepatu Sui Lan yang menendang keras.

“Plak!” dan orang itu meringis-ringis kesakitan, mengaduh-aduh dan tanpa dapat ditahan karena sakitnya, ia mengangkat kaki yang tertendang itu dan berloncat-loncatan dengan sebelah kaki seperti orang berjingkrak- jingkrak menari!

“Aduh...aduh...aduh...!” tiada hentinya ia mengeluh dan melompat-lompat dengan sebelah kakinya. Sui Lan tertawa geli dan menuding dengan tingkah lucu.

“Ha, benar saja, orang hutan pandai menari. Terus, terus! Alangkah lucunya.

Kawanan perampok itu merasa geli juga melihat kawan mereka ini, akan tetapi mereka juga mendongkol karena kawan mereka itu dipermainkan sedemikian rupa oleh gadis ini. dua orang segera menyergap hendak memeluk gadis yang cantik dan lincah itu, akan tetapi Sui Lan telah mendahului mereka dan menggerakkan kakinya. Kembali dua orang itu kena ditendang tulang kakinya sehingga seperti orang pertama tadi, mereka pun berjingkrak-jingkrak karena kaki itu terasa sakit sekali dan tulangnya mungkin telah retak!

“Aduh, lucunya...” Sui Lan bertepuk-tepuk tangan dengan girang. “Sekarang ada tiga monyet yang menari-nari! Ayo monyet yang mana lagi ingin menari?”

Para perampok tadinya mengira bahwa perbuatan Sui Lan yang pertama tadi hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mereka maklum bahwa hal ini bukanlah terjadi secara kebetulan, akan tetapi memang gadis ini memiliki kepandaian. Kepala rampok menjadi marah dan mencabut goloknya diturut oleh empat orang anak buahnya, sedangkan tiga orang yang telah tertendang kakinya itu hanya dapat menonton sambil duduk di atas tanah dan mengurut-ngurut kakinya y ang terasa sakit sekali.

“Eh, tidak tahunya kau dapat juga bersilat!” kata kepala rampok itu sambil menuding kepada Sui Lan dengan goloknya. “Pantas saja kau berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi, jangan harap kau akan dapat keluar dari tempat ini sebelum menyerah kepada kami, baik menyerah hidup-hidup atau menyerah mati!”

Sui Lan tersenyum. “Siapa yang mau keluar lekas-lekas? Kalau kau belum memberi pajak yang kuminta, yakni seratus tai perak dengan kantungnya yang baik agar mudah dibawa, jangan harap aku mau keluar dari tempat ini!” Juga gadis ini menggunakan telunjuknya menuding dan meniru sikap kepala rampok itu.

Kepala rampok itu menjadi marah dan dengan seruan keras ia lalu mengayun goloknya menyabet ke arah leher Sui Lan diturut pula oleh kawan-kawannya yang menyerang dengan hebat.

Posting Komentar