Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 25

NIC

Wai Ong Koksu lalu berkata kepada pembesar-pembesar pengadilan di Ki-pang bahwa tawanan ini akan ia bawa ke kota raja.

“Urusan ini bukanlah urusan kecil, katanya.” Karena ternyata dari penuturan para perwira Kim-i-wi bahwa gadis ini benar-benar seorang yang ada hubungannya dengan mendiang Nyo Hun Tiong. Yang lebih penting lagi, dua orang saudaranya masih belum tertangkap, maka dengan ditawannya gadis ini di kota raja, kita dapat mengharapkan kedatangan mereka di kota raja pula untuk sekalian ditangkap!”

Pembesar-pembesar di kota itu tak dapat menghalangi kehendak ini dan mereka bahkan merasa lega telah terlepas dari seorang tawanan yang demikian liar dan berbahaya.

Dengan kaki tangan terikat erat-erat, Hwe Lan dibawa oleh Wai Ong Koksu dan kawan-kawannya ke kota raja. Souw Cong Hwi yang di dalam hatinya merasa kagum dan kasihan kepada gadis itu, tak berdaya sesuatu oleh karena ia melihat sendiri betapa gadis yang keras kepala itu melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan menghina orang. Ia hanya menjaga jangan sampai gadis ini diganggu oleh Gui Kok Houw, karena dari pandang mata perwira she Gui ini, ia maklum bahwa Gui Kok Houw mengandung maksud kurang bersih terhadap gadis jelita itu. Terhadap Wai Ong Koksu, ia percaya penuh karena tahu bahwa kakek tua yang kosen ini hanya mementingkan kedudukan dan jasa sama sekali tak ada tanda-tanda suka mengganggu seorang wanita.

Perjalanan menuju ke kota raja dilakukan cepat dan mengambil jalan lurus, maka tak sampai empat hari kemudian, tibalah mereka di kota raja. Selama dalam perjalanan itu, Hwe Lan kelihatan tabah saja, sama sekali tidak pernah kelihatan takut. Bahkan ia tidak kelihatan bersedih, dan selalu makan ransum yang diberikan oleh Souw Cong Hwi dengan muka gembira dan biasa saja. Kepada pemuda ini ia merasa berterima kasih sekali karena berbeda dengan yang lain-lain, pemuda ini berlaku amat baik, sopan terhadapnya dan selalu berpihak dan membelanya! Akan tetapi, Hwe Lan memang angkuh dan tidak mau melayaninya sungguhpun ia tahu dari sinar mata Souw Cong Hwi, bahwa pemuda tampan ini berhati jujur terhadapnya.

Atas permintaan dan tanggungan Souw Cong Hwi, Wai Ong Koksu tidak keberatan untuk melepaskan Hwe Lan seorang diri duduk di atas seekor kuda dengan kedua tangan masih terikat belenggu besi dan rantai yang diikatkan pada belenggu itu dipegang ujungnya oleh Wai Ong Koksu yang duduk di atas lain kuda. Hal ini merupakan pertolongan besar bagi Hwe Lan, karena ia merasa mendongkol dan marah sekali kalau harus duduk sekuda dengan Wai Ong Koksu, biarpun kakek ini tidak memperlihatkaan sikap kurang baik atau tidak sopan. Ketika rombongan ini memasuki gerbang kota raja, semua orang memandang dengan penuh perhatian dan heran. Sebentar saja seluruh penduduk kota tahu belaka bahwa seorang gadis cantik jelita menjadi tawanan Koksu. Berita seperti ini cepat sekali menjalar dari mulut ke mulut.

Menurut usul Wai Ong Koksu, Hwe Lan dimasukkan dalam pernjara dan dijaga keras. Bahkan Gui Kok Houw sambil tersenyum berkata,

“Jangan khawatir, Koksu, aku sendiri yang akan mengepalai penjagaan ini agar jangan sampai ia lolos!” Sambil berkata demikian, ia melirik dengan senyum penuh arti kepada gadis itu, sehingga diam-diam Souw Cong Hwi menjadi gelisah dan juga mendongkol sekali. Ia dapat menduga bahwa Perwira Gui ini tentu mempunyai niat yang busuk sekali, maka diam-diam ia memutar otaknya.

Setelah Hwe Lan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang terbuat dari dinding tebal dan berpintu baja ang amat kuat serta tangannya masih dibelenggu pula, Wai Ong Koksu lalu pergi menuju ke istana untuk memberi laporan kepada Kaisar.

“Apakah kau juga mau menjaga terus di tempat ini, Kongcu?” tanya Gui-ciang-kun dengan bibir menyeringai penuh ejekan kepada Souw Cong Hwi. Wajah pemuda itu menjadi merah dan ia lalu berpamit pulang tanpa banyak cakap lagi.

Setibanya di rumah, Souw Cong Hwi lalu menceritakan dengan terus terang kepada ayah dan ibunya. Pangeran Souw Bun Ong adalah seorang terpelajar yang berhati mulia dan berbudi halus. Mendengar nasib gadis itu, ia pun merasa kasihan, akan tetapi ia hanya bisa menarik napas panjang dan berkata,

“Memang harus dikasihani nasib seorang dara muda yang telah tersesat sedemikain jauhnya. Akan tetapi apakah daya kita? Dia telah berlaku salah, biarpun andaikata dia bukan seorang pemberontak, akan tetapi setidaknya ia telah berlaku kasar dan menghina alat negara terutama sekali ia telah melakukan pembunuhan. Hal ini bukanlah soal ringan.

“Akan tetapi, ayah. Sebagai seonrang pendekar wanita, tentu saja ia harus membunuh lawan-lawannya yang hendak mencelakakannya, dan tentang penyerbuannya terhadap para perwira yang hendak menggali kuburan Nyo Hun Tiong itu, kuanggap sebagai tanda bahwa dia benar-benar memiliki jiwa yang gagah. Aku sendiri andaikata menjadi dia, melihat kuburan seorang saudara seperguruan dibongkar orang, tentu takkan membiarkannya begitu saja!”

Ayahnya memandang tajam lalu berkata, “Eh, Cong Hwi, agaknya kau telah jatuh hati kepada gadis itu!”

Pemuda itu terkejut, menatap wajah ayahnya. Untuk beberapa saat pandang mata mereka bertemmu dan akhirnya pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah merah.

“Aku tidak tahu tentang hal itu, Ayah, hanya satu hal sudah pasti, yakni, betapapun juga, aku tidak rela melihat seorang gadis gagah seperti dia sampai mendapat bencana.” Ia lalu menuturkan sikap Gui Kok Houw yang mencurigakan dan yang diduganya tentu mempunyai niat buruk. Akhirnya, Pangeran Souw Bun Ong yang amat memanjakan putera tunggalnya, menyetujui akal dan usaha pertolongan yang hendak dilakukan oleh pemuda itu.

Sebagai seorang putera pangeran yang berpengaruh, tentu saja banyak perwira yang tunduk dan setia terhadap Pangeran Souw Bun Ong, dan atas pertolongan perwira-perwira yang bekerja sama dengan Gui Kok Houw inilah Souw Cong Hwe menjalankan siasatnya. Ia diam-diam menghubungi mereka dan mereka menyanggupi untuk membantu usaha pemuda itu.

Malam hari itu, setelah mendengar dari pembantu-pembantunya bahwa Gui Kok Houw pulang ke gedungnya sebentar dengan cepat Souw Cong Hwi menuju ke penjara di mana Hwe Lan terkurung. Dengan mudah ia memasuki penjara menyamar sebagai penjaga dan dilindungi oleh para perwira yang telah menjadi pembantunya. Berkat bantuan para perwira itu pula, ia dapat masuk ke dalam kamar di mana Hwe Lan dikurung. Pada saat itu Hwe Lan tengah duduk melamun dan ia mulai merasa gelisah juga. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia bersedih kalau mengingat kepada kedua saudaranya. Di manakah mereka itu sekarang berada? Tugasnya membalas dendam kepada perwira Lee belum juga terlaksana dan ia sekarang telah tertimpa bencana. Apakah yang harus ia lakukan? Ia telah mengambil keputusan bahwa ia takkan terbunuh begitu saja tanpa melawan. Sebelum terbunuh ia akan berusaha melepaskan diri dan mengamuk lebih dahulu. Semenjak siang tadi ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dan akhirnya ia dapat berhasil mematahkan belenggu tangannya! Hal ini tidak terjadi dengan mudah karena ia baru berhasil setelah kulit pergelangan tangannya menjadi biru tua dan berdarah. Akan tetapi, ia menghadapi pintu baja yang amat kuat. Percuma saja ia mencoba untuk membukanya, sampai habis tenaganya dalam usaha ini, akan tetapi sedikitpun pintu itu tidak dapat digerakkan. Pintu itu terbuat dari ruji-ruji baja sebesar lengan tangan yang bukan main kuatnya.

Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang di luar pintu dan ketika ia memandang penuh perhatian, ia melihat bahwa bayangan orang itu bukan lain ialah Souw Cong Hwi, pemuda yang selama dalam perjalanan berlaku baik terhadapnya. Apakah maksud dan kehendak pemuda ini? Ia hendak membuka mulut akan tetapi Souw Cong Hwi memberi isyarat agar supaya gadis itu diam seja jangan mengeluarkan suara. Kemudian ia mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu kamar itu dengan hati-hati sekali. Setelah terbuka, ia lalu menyelinap masuk dan berbisik dengan tergesa-gesa,

“Nona, jangan salah sangka. Aku datang hendak menolong kau keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, pemmuda ini membuka buntalan kain yang tadi dibawanya dan ternyata kain itu berisi sebatang pedang dan sekantung uang perak. “Ini, terimalah, Nona dan lekas kau pergi dari sini. Jangan kau bunuh penjaga-penjaga di sini karena sebagian besar dari mereka itu bukanlah orang-orang jahat!”

Hwe Lan memandang dan matanya yang bagus itu terbelalak lebar. Ia benar-benar tercengang heran melihat tindakan pemuda ini yang demikian baiknya terhadap dia.

“Terimalah Nona, jangan ragu-ragu. Aku benar-benar tidak bermaksud jahat. Kalau kiranya Nona merasa sukar untuk keluar dari kota raja yang terjaga kuat, jangan Nona khawatir. Pergilah ke gedung Ayahku, yakni Pangeran Souw Bun Ong, gedungnya di ujung kota bagian utara, dikurung tembok merah. Nah, terimalah ini!” Souw Cong Hwi mendesak melihat nona itu agaknya merasa ragu-ragu.

“Akan tetapi...bagaimana kau sendiri...? Kalau diketahui oleh mereka, kau...kau...”

Aneh sekali, Cong Hwi merasa hatinya amat girang mendengar ucapan ini. Ia merasa bahagia sekali melihat nona itu menguatirkan keadaannya!

“Aku? Ah, mudah saja, Nona. Kau lihat!” Sambil berkata demikian, pemuda ini lalu menggerakkan pedang yang diberikan kepada Hwe Lan dan yang belum diterimanya itu ke arah pundaknya sendiri. “Cap!” mata pedang yang tajam itu menembus pakaiannya dan melukai pundaknya, darah mengalir membasahi bajunya. Cong Hwi masih tersenyum memandang dan berkata,

Posting Komentar