Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 24

NIC

Di ruang pengadilan telah lengkap hadir jaksa dan para pembantunya, tak ketinggalan tiga orang algojo yang pekerjaannya menyiksa pesakitan apabila ada pesakitan tidak mau mengakui dosa-dosa yang didakwakan kepadanya. Algojo-algojo ini tubuhnya tinggi besar dan nampak kejam.

Para perwira yang terluka oleh senjata tiga dara di depan makam Nyo Hun Tiong, telah hadir pula di situ, duduk di kursi rendah karena sungguhpun mereka itu perwira-perwira Kim-i-wi, akan tetapi di dalam persidangan, mereka harus memandang jaksa sebagai orang yang berkedudukan tinggi karena jaksa yang sedang memeriksa perkara adalah wakil Kaisar! Tak lama kemudian para penonton memandang dengan mata terbuka lebar. Pesakitan digiring memasuki ruang pengadilan. Hwe Lan diiringkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi. Dara ini telah dibebaskan dari totokan dan berjalan dengan dada terangkat tinggi dan sikap yang angkuh. Ia masih merasa lemah karena hampir sehari berada dalam keadaan setengah lumpuh. Hatinya mendongkol dan marah sekali, akan tetapi dia cukup cerdik untuk berlaku sabar pada saat kekuatannya belum kembali. Ia tahu bahwa tiga orang yang selalu menjaganya, yakni Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi adalah orang-orang berkepandaian tinggi, dan akan percuma belaka apabila ia memberontak. Maka ia berlaku cerdik dan menurut saja ketika digiring ke pengadilan, akan tetapi dia dalam hatinya siap sedia untuk memberontak dan melepaskan diri, mencari kesempatan baik.

Hwe Lan tidak memperdulikan pandang mata para penonton yang ditujukan ke arahnya dengan sinar mata terheran, kagum dan juga kasihan. Mereka tak pernah mengira bahwa pemberontak wanita yang ditangkap itu adalah seorang dara muda yang demikian cantik jelita.

Dengan langkah tetap dan gagah Hwe Lan disuruh menghadap di depan meja hakim. Ia berdiri lurus dan tegak sedangkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi mengambil tempat duduk di kursi-kursi yang telah disediakan untuk mereka. Untuk mereka ini yang berkedudukan tinggi dan tidak termasuk orang-orang yang diperiksa, disediakan kursi-kursi tinggi.

Melihat betapa gadis itu berdiri dengan angkuhnya di depan meja hakim, seorang algojo yang bermuka hitam melangkah maju dan menghardiknya. “Jangan tak tahu aturan! Berlutut!”

Hwe Lan menggerakkan kepalanya perlahan, menatap wajah algojo yang kasar dan buruk hitam itu, lalu tersenyum mengejek.

Semua orang yang berada di luar ruangan itu memandang dengan hati khawatir. Mereka maklum bahwa algojo yang bermuka hitam ini adalah seorang yang paling kejam di antara semua algojo yang berada di situ. Kini Si Muka Hitam ini menyeringai kejam dan ia lalu melakukan pekerjaannya yang biasa dilakukan apabila menghadapi seorang pesakitan yang bandel. Algojo ini berhati keras dan tidak dapat dilemahkan hatinya oleh wajah yang jelita maupun tubuh yang ramping dari seorang wanita. Ia mengangkat kedua tangannya yang besar dengan lengan berbulu itu untuk menekan kedua pundak Hwe Lan, dibarengi dengan tendangan ke arah lutut gadis itu! Semua penonton memandang ngeri karena gadis yang cantik itu tentu akan menjerit kesakitan dan terpaksa berlutut.

Akan tetapi, mereka segera membelalakkan mata dengan terheran-heran. Bukan gadis itu yang menjerit dan berlutut bahkan algojo muka hitam itu sendiri yang terdengar memekik kesakitan dan tubuhnya yang besar itu terpental ke belakang dan terguling-guling! Ternyata bahwa biarpun tubuhnya masih lemas namun Hwe Lan masih cukup lihai kalau hanya menghadapi seorang kasar seperti algojo itu saja. Sebelum kedua tangan dan kaki algojo itu menyentuh tubuhnya Hwe Lan telah mendahului dan dengan cepat jari tangan kanan gadis ini ‘memasuki’ lambung Si Algojo yang tak ampun lagi lalu terpental. Ia merasa perutnya seperti diremas-remas dari dalam dan untuk beberapa lama hanya bergulingan sambil merintih-rintih! Kemudian ia dapat menahan sakitnya, lalu melompat berdiri dan kini bersama dua orang kawannya ia hendak turun tangan membereskan pesakitan bandel yang berani berlaku kurang ajar itu!

Akan tetapi, tiba-tiba Souw Cong Hwi pemuda putera pangeran itu, berdiri dari kursinya dan berkata sambil mengangkat tangan kanan ke atas. “Tahan! Jangan menggunakan kekerasan. Apakah kalian hendak mengacaukan pemeriksaan? Mundur!”

Para algojo melihat pemuda ini, segera mengundurkan diri. Mereka tahu siapa pemuda ini, maka mereka tidak berani melanggar perintahnya. Souw Cong Hwi lalu berpaling kepada hakim dan berkata,

“Harap Taijin suka melanjutkan pemeriksaan ini tanpa banyak upacara lagi.”

Sebetulnya, hakim, jaksa dan lain-lain pembesar pengadilan merasa terhina sekali dengan sikap Hwe Lan ini. Pada masa itu, seorang yang berani menghina pengadilan dan tidak mau berlutut saja sudah cukup menjadi alasan untuk menjatuhkan hukuman pukul pinggul lima puluh kali! Akan tetapi, mereka tahu bahwa pada saat itu mereka tidak dapat memperlihatkan gigi, karena di situ hadir pula Souw Cong Hwi, putera pangeran yang amat berpengaruh, juga terdapat pula Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw Busu dan lain-lain perwira berkedudukan tinggi.

Jaksa lalu memanggil para perwira yang terluka oleh Hwe Lan dan saudara-saudaranya, lalu minta keterangan dari mereka ini tentang terjadinya peristiwa di dalam hutan. Seorang perwira yang tersabet pedang pundaknya oleh Hwe Lan lalu menuturkan dengan suara lantang,

“Kami di bawah pimpinan Thio Kim Cai Ciangkun sedang bekerja untuk membongkar kuburan pemberontak Nyo Hun Tiong untuk dibawa ke kota raja dan dijadikan barang bukti bahwa pemberontakan itu telah mampus. Tiba-tiba perempuan liar ini bersama dua orang perempuan liar lainnya, datang dan menyerang kami dengan senjata rahasia. Mereka bertiga lalu menyerbu dan terjadi pertempuran dengan kami. Akan tetapi, mereka benar-benar liar dan lihai sehingga kami semua kena dirobohkan oleh mereka. Dua orang perempuan liar lain yang menjadi kawannya berlari pergi, mengejar Thio-ciangkun yang sampai sekarang tak dapat diketemukan di mana adanya. Mungkin sekali sudah dibunuh pula oleh pemberontak-pemberontak itu. Demikianlah sampai datang Wai Ong Koksu yang akhirnya berhasil menangkap perempuan liar ini.”

Kini jaksa memandang kepada Hwe Lan, dan juga semua mata para hadirin di ruang itu memandang kepada Hwe Lan. Gadis ini semenjak tadi hanya berdiri tegak dan diam, akan tetapi diam-diam ia telah mengatur napas untuk memulihkan jalan darahnya sehingga kini ia tidak merasa lemas lagi.

“Perempuan muda, siapakah namamu dan mengapa kau berani mati menyerang, melukai dan membunuh para perwira Kim-i-wi!” tanya jaksa itu dengan suara angkuh, akan tetapi pandang matanya yang ditujukan ke arah Hwe Lan nampaknya nyata bahwa ia mengagumi kecantikan gadis itu!

Hwe Lan yang luar biasa tabah dan keras hatinya itu kembali tersenyum sinis dan menjawab,

“Aku she Yap dan tentang namaku tak perlu kuberitahukan kepada kalian karena tidak ada perlunya! Aku menyerang anjing-anjing kotor itu karena melihat mereka sedang menggali sebuah kuburan, mungkin hendak makan sisa-sisa tulang mayat yang dikubur di situ!”

Terdengar seruan-seruan heran dan terkejut di antara para penonton. Alangkah beraninya gadis ini, menyebut pasukan Kim-i-wi sebagai anjing-anjing kotor.

Juga jaksa yang tadinya tertarik oleh kecantikan Hwe Lan, merasa ngeri mendengar kata-katanya ini, maka ia menggebrak meja dan membentak, “Jangan membuka mulut lancang! Kau telah menyerang pasukan Kim-i-wi, itu berarti bahwa kau telah memberontak terhadap Hongte (Kaisar). Sebelum kami membuat keputusan, lebih dulu kau harus mengaku di mana adanya kedua kawanmu yang ikut menyerang itu!”

Tiba-tiba Hwe Lan tertawa nyaring dan sepasang matanya yang bagus itu memancarkan sinar mata tajam,

“Taijin (Pembesar), kau bukalah telingamu lebar-lebar dan dengarkan tiga macam pernyataanku ini! Pertama, aku adalah anak murid Siauw-lim-pai akan tetapi aku tidak memberontak terhadap Hongte. Kedua, kedua kawanku itu adalah enci dan adikku sendiri dan aku tidak tahu kemana mereka pergi dan di mana mereka berada. Ketiga, aku sudah bosan melihat mukamu dan muka semua orang yang berada di sini dan sekarang hendak pergi!”

Bukan main marahnya jaksa mendengar ucapan ini, bahkan semua penonton menjadi bengong tak dapat berkata-kata!

“Tangkap dia dan beri pukulan lima puluh kali!” dengan muka merah jaksa itu menuding dan memerintah kepada algojo. Gayanya ini baik sekali karena sudah amat biasa ia memberi perintah semacam ini.

Tiga orang algojo itu yang hendak membalas dendam segera melangkah maju. Hwe Lan berkata lagi sambil tertawa,

“Taijin, masih ada satu lagi pernyataanku, yakni, aku merasa jijik melihat tiga ekor anjingmu ini dan sudah gatal-gatal tanganku hendak menghajarnya!” Ketiga algojo marah, mereka maju menubruk dengan hebat, Hwe Lan miringkan tubuh ke kiri dan kakinya melayang ke arah dada algojo muka hitam itu. “Bluk!” dan untuk kedua kalinya tubuh tinggi besar itu terjengkang sehingga kepalanya terbentur pada lantai! Kali ini agak sukar baginya untuk merayap bangun karena selain kepalanya menjadi pening setelah terbentur lantai yang keras, juga napasnya menjadi sesak setelah ulu hatinya dicium oleh ujung sepatu Hwe Lan. Dua orang kawannya maju dengan cambuk penyiksa di tangan, akan tetapi Hwe Lan lebih cepat lagi. Sebelum mereka bergerak, gadis itu mengulur kedua tangan dan sekali renggut saja ia dapat merampas dua batang cambuk itu. Kini ia mainkan cambuknya dan “plak! Plak! Plak!” hujan cambuk menghantam tubuh kedua algojo itu yang menutupi mukanya dengan sibuk karena cambuk itu dengan tepat menghantam muka mereka bertubi-tubi sehingga sebentar saja hidung mereka menjadi merah karena mengalirkan darah.

Hwe Lan tertawa nyaring ketika melihat algojo muka hitam bergerak dan hendak merayap bangun, ia cepat melompat ke dekatnya dan sekali ia menendang keras sambil berseru nyaring, tubuh Si Muka Hitam itu terlempar ke arah meja pengadilan dan tepat sekali jatuh menimpa jaksa dan pembantu-pembantunya sehingga mereka pun jatuh tunggang-langgang!

Para penonton menjadi panik dan segera mundur dan berlari keluar dari situ, karena mengira bahwa gadis pemberontak itu hendak mengamuk kepada semua orang!

Sebelum Hwe Lan dapat melarikan diri dari situ, Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw telah melompat dan menyerangnya. Tubuh Hwe Lan masih lemah dan biarpun ia melawan sedapatnya dan sekuatnya, namun sebentar saja ia telah tertawan lagi dan Gui Kok Houw lalu mengikat kedua tangannya dengan rantai besi yang dimintanya dari pengadilan itu.

Posting Komentar