Orang ketiga, yakni Souw Cong Hwi pemuda yang tampan itu, semenjak tadi pun memandang dengan mata menyatakan kekagumannya melihat ilmu pedang Hwe Lan, akan tetapi bibirnya dikatupkan rapat-rapat karena hatinya mengandung kekhawatiran hebat sekali. Baru melihat sekali saja, timbul rasa suka dan simpati dalam hatinya terhadap dara ini. Wajahnya yang manis dan jelita itulah yang menimbulkan rasa suka dan sikapnya yang gagah perkasa mendatangkan simpati. Souw Cong Hwi maklum akan kelihaian Wai Ong Koksu, maka ia sangat gelisah menyaksikan pertempuran ini. Diputar-putarlah otaknya untuk mencari daya upaya bagaimana ia dapat menolong gadis yang amat menarik dan yang mendebarkan hatinya ini.
Ketika ia melihat Wai Ong Koksu berseru keras dan mencabut tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah, Souw Cong Hwi terkejut sekali dan ia melompat dengan gerakan ringan ke dekat kakek itu.
“Koksu yang baik, harap sabar dulu!” katanya.
Wai Ong Koksu memandang dengan heran. Biarpun, Souw Cong Hwi hanya seorang pemuda, akan tetapi ia tidak memandang rendah kepada pemuda ini. pertama karena pemuda ini adalah putera tunggal dari Pangeran Souw Bun Ong yang selain berpengaruh besar di dalam istana, juga sikapnya amat baik terhadap semua pembesar dan bahkan ketika dulu diadakan pemilihan Koksu, Pangeran Souw Bun Bong yang membujuk Kaisar agar supaya Wai Ong Hosiang menjadi guru negara. Kedua, pemuda yang masih muda ini adalah murid terkasih dari seorang tokoh persilatan yang dikenalnya baik dan yang telah terkenal pula serta disegani oleh para tokoh besar persilatan. Guru pemuda ini adalah Pat-jiu Sin-kai Pengemis Dewa Bertangan Delapan karena memang orang tua ini hidup sebagai seorang pengemis, mengandalkan makan sehari-hari dari pemberian orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya, pakaiannya tambal-tambalan. Pat-jiu Sin- kai tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, mengembara ke seluruh penjuru dan namanya terkenal sekali karena di manapun ia berada, ia merupakan algojo bagi setiap penjahat dan merupakan pelindung bagi semua orang yang tertindas.
Wai Ong Koksu mendengar cegahan pemuda ini ketika ia memegang senjatanya, lalu berkata, “Souw Kongcu, mengapa kau menyuruh aku bersabar?”
Souw Ceng Hwi menunjuk kepada Hwe Lan yang masih berdiri gagah dengan pedang di tangan dan tangan kirinya bertolak pinggang, sambil berkata,
“Koksu, kurasa bukanlah perbuatan yang bijaksana untuk membunuh seorang nona muda yang belum diketahui betul kesalahannya. Ketika kau tadi melawannya dengan tangan kosong dan berusaha menangkapnya, hal itu masih merupakan perkara kecil, akan tetapi melihat kau memegang senjata dan aku tahu bahwa sekali kau menggerakkan senjata maka jarang ada orang yang dapat keluar dengan nyawa masih di dalam tubuhnya, kurasa lebih baik Koksu bersabar dulu dan jangan sampai salah tangan. Menurut pendapatku yang bodoh, biarpun para perwira yang pengecut tadi menyatakan bahwa nona ini adalah pemberontak Siauw-lim-pai, akan tetapi, ketika tadi bertempur melawanmu, gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang ahli dari Shiauw-lim-pai, biarpun ada beberapa gerakannya yang berasal dari Siauw-lim! Soal kedua, apakah kesalahannya maka kau sampai berkeras hati hendak mengangkat senjata terhadap seorang nona muda seperti dia ini? Harap Koksu sudi mempertimbangkan dengan baik dan jangan sampai melakukan hal-hal yang akan menimbulkan aib bagi nama sendiri!”
Hwe Lan yang mendengarkan ucapan pemuda itu, memandang dengan kagum, heran, dan juga mendongkol. Ia kagum mendengar kata-kata yang amat lancar, teratur dan penuh cengli (aturan) ini. Ia heran karena pemuda yang nampak lemah ini ternyata dapat melihat bahwa gerakan silatnya, dan ia mendongkol karena pemuda itu seakan-akan hendak membelanya hendak menolongnya, seolah-olah ia berada dalam keadaan yang amat terancam.
Tiba-tiba perwira muka kuning itu pun berkata, “Kokcu, ucapan Souw-kongcu betul juga. Sayang nona secantik ini kalau sampai dibunuh!”
Makin dongkol dan marahlah hati Hwe Lan mendengar ucapan ini dan melihat pandang mata perwira muka kuning itu yang ditujukan kepadanya penuh gairah dan nafsu birahi. Ingin ia menusuk mampus perwira ini.
“Bangsat-bangsat rendah, apakah kau kira aku takut menghadapi kalian? Majulah kalian bertiga, tak usah banyak membuka mulut!”
Wai Ong Koksu yang tadi mendengar ucapan kedua orang kawannya, sudah mulai sabar kembali dan merasa juga bahwa tidak sepantasnya kalau dia, sebagai orang terpandai dan paling gagah dalam kerajaan, hendak mempergunakan senjata, membunuh seorang gadis demikian cantik lagi muda. Apalagi kalau ia teringat akan permainan silat gadis ini memang bukan seperti anak murid Siauw-lim. Akan tetapi, kini mendengar bentakan Hwe Lan yang galak, ia tersenyum memandang kepada mereka dan berkata,
“Coba kalian dengar, apakah anak perempuan jahat ini tak perlu dirobohkan. Kita harus tawan dia untuk dibawa ke pengadilan, karena setidaknya ia telah merobohkan perwira Kim-i-wi.”
Tiba-tiba perwira yang tadi terluka oleh thi-lian-ci milik Hwe Lan, berkata lagi, “Bukan hanya merobohkan, bahkan ia telah membunuh beberapa orang kawan-kawan kami!”
Terkejut juga hati Souw Cong Hui, dan Gui Kok Houw mendengar ini, dan Wai Ong Koksu tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan tongkatnya menyerang Hwe Lan! Gadis ini dengan tabah sekali menghadapi serangan Wai Ong Koksu dengan serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Gui Kok Houw juga tidak mau tinggal diam dan begitu tangannya bergerak, tiga bolanya telah bergerak-gerak menyambar ke arah Hwe Lan. Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak merasa gentar dan memutar pedangnya dengan hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan mencurahkan seluruh perhatiannya.
Memang patut dikagumi kegagahan Hwe Lan. Seorang gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja turun dari tempat perguruan, ternyata dengan gigihnya dapat menghadapi Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw, dua orang jago paling pandai dari Kaisar! Akan tetapi, betapapun juga, dua orang kosen itu bukan lawannya dan Hwe Lan hanya dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, karena kini ia mulai terdesak hebat! Tongkat di tangan Wai Ong Koksu amat kuatnya dan sambaran tongkat itu membuat ia harus berloncat- loncatan ke sana kemari, karena untuk menangkis dengan pedang ia tidak berani, maklum akan kehebatan tenaga kakek itu. Sementara itu, tiga bola di tangan Gui Kok Houw juga berbahaya sekali, karena bola-bola yang diikat tali baja itu bergerak-gerak mengarah jalan darahnya sehingga Hwe Lan harus mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya, tali baja dari bola Gui Busu itu berhasil melibat pedangnya, tongkat Wai Ong Koksu telah menyambar ke arah pergelangan tangannya! Terpaksa Hwe Lan harus melepaskan gagang pedangnya untuk mengelak dari sabetan ini karena kalau tidak, tulang lengannya pasti akan remuk! Pada saat itu, bayangan Souw Cong Hwi berkelebat cepat di belakang Hwe Lan dan tanpa dapat dicegah lagi, jari tangan Souw Cong Hwi menotok jalan darah di punggung gadis itu sehingga Hwe Lan merasa tubuhnya lemas tak berdaya dan tentu akan roboh kalau tidak cepat ditangkap oleh Souw Cong Hwi.
“Aku sudah dapat menangkapnya!” kata Souw Cong Hwi sehingga Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw menarik kembali senjata mereka dan memandang dengan senang. Hwe Lan benar-benar tak berdaya, tubuhnya lemas kehilangan tenaga dan hanya matanya saja yang masih memandang tajam penuh ketabahan, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulutnya.
“Souw-kongcu, biarkan aku yang memondong nona manis ini. Ha-ha-ha!” kata Gui Kok Houw sambil mengulurkan lengan hendak memegang lengan Hwe Lan.
Dengan muka sungguh-sungguh Souw Cong Hui berkata, “Gui-ciangkun! Patutkah kata-kata itu keluar dari mulutmu? Kau seharusnya malu!”
“Ha-ha-ha!” Gui Kok Houw masih saja tertawa sambil menudingkan jari tangannya kepada Souw Cong Hwi. “Kau sungguh pandai, Souw-kongcu! Pandai mencela orang, akan tetapi tidak melihat diri sendiri. Kau melarang aku memondong nona jelita ini agar supaya kau dapat memondongnya sendiri! Ha-ha-ha!”
“Cukup! Hatiku tidak secabul kau!” Souw Cong Hwi membentak marah dan karena marahnya ia melepaskan tubuh Hwe Lan yang terguling dan rebah miring di atas tanah.
“Hm, kalian orang-orang muda selalu ribut apabila menghadapi wanita cantik biarlah aku tua bangka yang membawa gadis ini. Mari kita bawa dia dan menyerahkannya ke dalam tangan Tan-tihu di Ki-pang karena kota itulah yang terdekat. Biarlah pengadilan di Ki-pang yang akan memeriksa perkaranya!” kata Wai Ong Koksu.
Pada saat itu, datang belasan orang perwira Kim-i-wi lain lagi yang datang untuk mengirim bala bantuan karena mereka telah mendengar tentang pertempuran itu. Mereka ini datang berkuda dan segera menolong para perwira yang telah mati dan terluka di dekat kuburan Nyo Hun Tiong itu.
Setelah Wai Ong Koksu dan yang lain-lain memeriksa kuburan dan memerintahkan anak buahnya untuk menggali dan mengambil rangka pemberontak Nyo Hung Tiong, mereka lalu pergi dari situ. Hwe Lan yang masih dalam keadaan tak berdaya itu dinaikkan kuda dan dipegang oleh Wai Ong Koksu. Rombongan perwira Kim-i-wi ini lalu pergi ke Ki-pang dan menemui jaksa di kota itu.
Melihat bahwa yang datang membawa seorang tangkapan adalah Wai Ong Koksu dari kota raja, maka jaksa di Ki-pang itu dengan tergopoh-gopoh lalu membuka persidangan pada waktu itu juga. Penduduk Ki-pang yang mendengar bahwa ada pemberontak wanita ditangkap dan hendak diadili, berduyun-duyun datang melihat.