Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 21

NIC

Ang-hoa Sin-mo terkejut sekali dan karena tidak ada harapan untuk menang, ia lalu melarikan diri ke arah rawa! Dengan sekali lompatan jauh, ia telah berada di pinggir rawa dan segera meloncat ke atas bambu yang terdekat.

“Lim Pok, jangan lari! Hutangmu belum lunas!” teriak Hong An mengejar dan tanpa sangsi lagi melompat ke atas bambu di mana Lim Pok Si Iblis Bunga Merah telah berdiri.

Mendengar seruan ini dan maklum bahwa pemuda itu mengejarnya, tiba-tiba Ang-hoa Sin-mo lalu membalikkan tubuh dan tangan kanannya bergerak melemparkan sesuatu ke arah Hong An. Pemuda itu cepat menggerakkan tubuhnya sehingga miring dan sambitan itu tidak mengenai sasaran. Ternyata yang disambitkan oleh Ang-hoa Sin-mo itu adalah hiasan emas berbentuk bunga merah yang tadinya menghias rambutnya. Memang di antara bunga-bunga merah yang asli yang menghias dan memenuhi rambutnya, terdapat beberapa bunga terbuat dari emas yang indah sekali.

Biarpun Hong An dapat mengelakkan diri dari sambitan itu, akan tetapi karena ia menggerakkan tubuh sebelum menginjak bambu, kini ia turun tidak tepat di atas bambu! Seekor buaya yang berada di dekat tempat itu ketika melihat tubuh pemuda itu jatuh dari atas lalu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dari atas permukaan air dengan mulut terbuka lebar!

“Bagus!” Hong An memuji dengan girang oleh karena binatang ini merupakan penolong baginya. Ia menurunkan kakinya yang sebelah kanan lebih dulu ke arah mulut yang terbuka itu sebagai umpan! Ketika buaya itu menggerakkan mulut yang ditutup dengan tiba-tiba, Hong An menarik kaki dan kini kaki kirinya menginjak mulut yang telah terkatup itu dan secepat kilat ia menggunakan kepala buaya itu sebagai panjatan dan melompat lagi ke atas bambu itu.

Ang-hoa Sin-mo tadinya telah bergirang hati karena menyangka bahwa pemuda itu pasti akan mati di dalam mulut buaya. Alangkah terkejutnya melihat betapa dengan berani sekali pemuda itu dapat menghindarkan serangan buaya bahkan mempergunakan binatang buas itu sebagai jembatan! Ia merasa menyesal mengapa ia berhenti untuk melihat hasil serangannya. Kini untuk melarikan diri sudah tidak ada waktu lagi karena Hong An segera menyerbunya. Terjadilah perang tanding yang mati-matian di atas sebatang bambu yang terapung di atas air! Sementara itu, melihat betapa bambu itu tenggelam di bawah permukaan air karena terlalu berat bebannya, buaya-buaya di kanan kiri bambu itu dengan cepat berenang mendekat dengan mulut dibuka lebar- lebar.

“Kalau bukan kau, tentu aku!” Tiba-tiba Ang-hoa Sin-mo berseru keras dengan menggerakkan tubuhnya menubruk dengan sepasang tangannya dipentang lebar ke arah lawannya! Hong An hanya berdiri di atas sebatang bambu, maka tentu saja sukar baginya untuk menghindarkan diri dari terkaman nekat ini. Ia melihat betapa jari tangan dari lawannya itu dibuka bagaikan kuku garuda dan maklum bahwa ia tidak dapat menyambut serangan ini dengan pukulan atau tendangan, karena tentu orang yang nekat itu akan menangkap kaki atau tangannya dan mengajaknya mati bersama di dalam air yang penuh buaya buas itu! Jalan lain tidak ada lagi bagi Hong An, maka ia lalu berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dengan cepat bagaikan menyambar kilat! Ang-hoa Sin-mo menubruk tempat kosong dan tentu saja gerakannya yang hebat dan nekat ini membuat tubuhnya meluncur ke depan dan akhirnya jatuh ke dalam air mengeluarkan suara bercebur ketika air muncrat ke atas. Buaya-buaya buas yang telah menanti-nanti korban itu segera memburu dengan mulut terbuka lebar! Ang-hoa Sin-mo menggerakkan kedua tangannya dan dua ekor buaya terpukul ke kanan kiri! Memang hebat pukulan Ang-hoa Sin-mo ini, akan tetapi di dalam air menghadapi sekian banyaknya binatang buas, ia tak berdaya dan tak lama kemudian terdengar pekik ngeri dan tubuhnya diseret ke dasar rawa!

Sementara itu, tubuh Hong An yang melompat ke atas itu, ketika melayang turun ke bawah kembali, agaknya juga akan mengalami nasib yang sama pula dengan Ang-hoa Sin-mo, karena di bawahnya tidak ada sesuatu yang dapat menahan tubuhnya. Sekali ia terjatuh di dalam air, akan tamatlah riwayatnya. Pemuda itu memandang ke bawah dengan mata terbelalak lebar. Ia tidak merasa takut, akan tetapi tak berdaya. Kalau saja ada seekor buaya yang kebetulan timbul di permukaan air itu, tentu ia bisa mempergunakannya sebagai batu loncatan. Akan tetapi sebagian besar binatang itu sedang berpesta di dasar rawa dan sebagian pula berenang di dalam air.

Tiba-tiba dari pinggir rawa, melayang sebatang bambu yang jatuh tepat di bawah pemuda itu! Hong An turun dan menginjak bambu itu untuk melompat kembali ke arah bambu yang berada di pinggir rawa, kemudian dengan dua kali lompatan lagi, sampailah ia di depan Siang Lan dan menjura dengan wajah berseri.

“Nona, terima kasih, aku Kui Hong An berhutang budi dan nyawa kepadamu, terimalah hormat dan terima- kasihku.”

Memang yang melontarkan bambu untuk menolong Hong An tadi adalah Siang Lan. Kini menghadapi pemuda yang menjura dan menghaturkan terima kasihnya itu, kembali Siang Lan merasa betapa mukanya menjadi merah karena hatinya berdebar keras.

Ia membalas memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke dada sambil berkata, “Tak usah bicara tentang budi dan terima kasih. Kalau kau tidak cepat datang tadi ketika aku dikeroyok, tentu aku telah tewas dan kau sekarang akn tewas pula di dalam rawa! Saling bantu dalam usaha menghadapi si jahat, sudah menjadi keharusan yang sepantasnya. Perlu apa banyak upacara lagi?”

Hong An tersenyum dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan sekali Siang Lan juga sedang menatap wajahnya, maka tanpa disengaja dua pasang mata bertemu pandang. Entah mengapa, dua pasang mata itu seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang mempunyai pengaruh sihir, empat buah mata itu terbuka lebar dan sampai lama tidak berkedip! Akhirnya Siang Lan yang mengalihkan pandangan matanya lebih dulu, sedangkan Hong An lalu bertanya,

“Bolehkah aku mengetahui nama Nona dan mengapa pula Nona bermusuhan dengan Ang-hoa Siang-mo?”

Semenjak pertemuan pandang mata tadi, Siang Lan merasa jantungnya masih berdebar tidak karuan sehingga ia maklum bahwa kalau ia bicara, suaranya tentu terdengar gemetar. Oleh karena itu ia tidak menjawab, bahkan lalu menggerakkan kaki menuju ke pinggir rawa.

Hong An merasa heran dan mengejarnya. “Eh, Nona, mengapa kau seperti orang marah? Kalau aku tidak boleh mengetahui namamu, tidak apa, akan tetapi jangan marah kepadaku!” Siang Lan menggigit bibirnya. “Siapa marah? Dan tentang nama.., apa perlu kau yang tidak kukenal mengetahuinya. Aku bertempur dengan Ang-hoa Siang-mo karena mereka penjahat-penjahat kejam! Sudahlah aku harus pergi dari sini!” Ia lalu melompat ke atas bambu dan segera menyeberangi rawa itu untuk mencari kedua orang adiknya!

Hong An berdiri bengong di pinggir rawa, mengikuti bayangan nona yang jelita itu dengan pandang matanya sampai bayangan Siang Lan lenyap dari pandangan. Ia menarik napas panjang berulang-ulang.

“Sayang....sayang aku tak kenal namanya.”

Sekarang baiklah kita mengikuti pengalaman Hwe Lan gadis yang keras hati itu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian pertama, ketika melihat Siang Lan mengejar perwira muka hitam, Hwe Lan menyuruh adiknya, Sui Lan, untuk menyusul encinya itu karena ia merasa tidak enak hati melihat encinya itu mengejar musuhnya seorang diri. Perwira-perwira Kim-i-wi yang mengeroyok tinggal tiga orang lagi dan mereka ini bukan apa-apa bagi Hwe Lan yang gagah perkasa. Setelah Sui Lan pergi untuk menyusul encinya Hwe Lan lalu memutar- mutar pedangnya sedemikian rupa sehingga dalam beberapa jurus saja kembali seorang perwira roboh mandi darah tertusuk oleh pedangnya.

Dua orang perwira yang masih mengeroyoknya kehabisan semangat dan keberanian, maka mereka lalu memutar badan lari tunggang-langgang! Akan tetapi Hwe Lan tidak membiarkan mereka melarikan diri dari sebelah selatan. Sibuklah kedua orang perwira itu ketika melihat bahwa nona yang kosen itu mengejarnya.

Pada saat itu, dari jauh datang tiga bayangan orang berlari-lari secepat terbang. Seorang di antara mereka, yang lari paling depan adalah seorang kaki pendek gemuk yang berkepala gundul akan tetapi pakaiannya ganjil sekali, karena di luar ia memakai jubah pendeta namun di sebelah dalam ia mengenakan pakaian perwira tinggi! Kakek ini larinya cepat sekali biarpun ia nampak berjalan seenaknya. Di ketiak kirinya terkempit sebatang tongkat yang pada kedua ujungnya bulat seperti bola. Kakek ini bukanlah orang sembarangan, karena ia bukan lain adalah Wai Ong Koksu atau guru negara, karena sesungguhnya kakek ini adalah seorang sakti dari Bu-tong-san, dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Wai Ong Koksu ini adalah seorang tokoh besar Bu-tong-oai yang menjadi kakak seperguruan dari tokoh Bu-tong-pai yang bernama Pang To Tek! Memang telah lama Wai Ong Hosiang ini mengasingkan diri di atas pegunungan sebelah utara. Ketika ia mendengar bahwa Kaisar memerlukan seorang guru silat dan juga penasehat, ia lalu turun gunung dan berhasil mendapatkan kedudukan tinggi itu. Pangkat Koksu ini dikehendaki oleh banyak sekali jago-jago silat dan tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi, mereka semua terpaksa mundur ketika melihat Wai Ong Hosiang karena maklum akan kelihaian kakek gundul ini. Beberapa orang jago silat yang belum mengetahuinya dan mencoba untuk merebut kedudukan itu, seorang demi seorang jatuh dalam tangan Wai Ong Hosiang yang lihai. Sayang sekali bahwa seorang pendeta yang sakti dan berkepandaian setinggi dia ini, masih mempunyai kelemahan terhadap kedudukan tinggi dan harta serta kemuliaan!

Orang kedua adalah seorang perwira tinggi dari kerajaan yang berpangkat bu-su dan juga merangkap menjadi pelatih para perwira. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya kuning membayangkan kekejaman hati. Matanya tajam tanda bahwa ia berotak cerdik. Dia ini juga bukan orang sembarangan dan tidak kalah terkenal di kalangan perwira kerajaan, karena ia adalah Gui Kok Houw yang berpangkat bu-su semenjak belasan tahun yang lalu dan mendapat kepercayaan penuh dari Kaisar. Sungguhpun Gui Kok Houw masih kalah pengaruhnya jika dibandingkan dengan Wai Ong Koksu, akan tetapi di antara semua perwira, boleh dibilang ia menduduki tingkat paling tinggi dan pengaruhnya paling besar. Juga ilmu silat Gui Kok Houw amat lihai, karena selain mengerti banyak macam ilmu silat dari pedalaman, ia pun mengerti pula dengan baiknya tentang ilmu silat dari Mongol. Senjata yang biasa dipakainya juga amat luar biasa dan sukar dilawan, yakni tiga butir bola- bola berduri terbuat dari baja yang diikat dengan tali-tali baja. Apabila ia mainkan bola-bola berduri ini, maka tiga bola itu akan menjadi beberapa belas banyaknya dalam pandangan lawan, dan lihainya bukan main!

Orang ke tiga yang larinya paling akhir adalah seorang pemuda yang berpakaian seperti bangsawan. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun, wajahnya tampan sekali sehingga kalau ia mengenakan pakaian wanita, tentu ia akan menjadi seorang gadis yang amat cantik sekali. Gerak-geriknya lemah lembut dan sopan-santun, tanda bahwa ia mendapat pendidikan baik dan telah mempelajari kebudayaan dan kesusasteraan. Namun, tindakan kakinya cukup gesit dan menunjukkan bahwa ia telah memiliki bu-ge (ilmu silat) yang cukup lihai. Orang ini adalah seorang putera pangeran yang paling berkuasa di waktu itu, yakni Pangeran Souw Bun Ong yang selain kaya raya juga menduduki pangkat tinggi di istana dan menjadi tangan kanan Kaisar sendiri. Pemuda putera Pangeran Souw ini bernama Souw Cong Hwi, putera tunggal yang amat dimanja, seorang pemuda bangsawan yang selain tampan, juga dapat disebut seorang bun-bu-cwan-jai (ahli sastra dan ahli silat).

Dua orang perwira yang dikejar-kejar oleh Hwe Lan dan sedang berlari ketakutan itu, tadinya telah merasa putus harapan ketika melihat gadis yang lihat itu mengejar dengan cepatnya. Akan tetapi ketika mereka melihat bayangan Wai Ong Koksu, mereka menjadi gembira sekali dan segera berteriak-teriak,

Posting Komentar