Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 19

NIC

Wajah Ang-hoa Sin-mo menjadi pucat dan terbayanglah olehnya peristiwa yang terjadi beberapa belas tahun yang lalu. Kui Bok Beng adalah sute (adik seperguruan) dari Ang-hoa Sin-mo yang bernama Lim Pok, menyerbu sarang perampok di Bukit Te-an-san. Ternyata bahwa gerombolan perampok itu dipimpin oleh seorang perampok wanita muda yang bukan lain ialah Ang-hoa Mo-li, seorang gadis anak perampok berusia dua puluh dua tahun dan berwajah cantik! Terpikatlah hati Kui Bok Beng. Ang-hoa Mo-li pun merasa tertarik, akan tetapi juga melihat kegagahannya. Dengan tulus ikhlas, Ang-hoa Mo-li menyatakan takluk dan menyerang terhadap dua orang gagah itu. Terjalinlah rasa cinta kasih antara Ang-hoa Mo-li dan Kui Bok Beng.

Akan tetapi, di luar prasangka kedua orang muda itu diam-diam Lim Pok juga tergila-gila kepada Ang-hoa Mo- li! Ang-ho Mo-li yang semenjak kecil ikut ayahnya menjadi perampok, membujuk agar supaya Kui Bok Beng suka menjadi kepala rampok di gunung itu, akan tetapi tentu saja Kui Bok Beng tidak mau. Sebaliknya Lim Pok menyatakan bahwa ia suka menjadi perampok di situ sehingga antara dua orang saudara seperguruan ini timbul perselisihan pendapat.

Telah setengah bulan mereka berada di puncak bukit itu, Kui Bok Beng berkasih-kasihan dengan Ang-hoa Mo- li, sedangkan Lim Pok diam-diam menaruh hati iri dan benci kepada sutenya, akan tetapi ia tidak berani menyatakan berterang karena merasa malu. Kebetulan sekali pada malam hari ke lima belas, sepasukan tentara negeri menyerbu sarang perampok di bukit itu sehingga terjadilah pertempuran hebat. Dalam keributan inilah terjadi perpecahan antara Lim Pok dan Kui Bok Beng. Menurut Kui Bok Beng, mereka tak seharusnya melawan dan ia hendak mengajak Ang-hoa Mo-li melarikan diri dari jurusan lain, akan tetapi Lim Pok berkeras hendak melawan, bahkan lalu mengepalai anak buah perampok melakukan perlawanan!

Kui Bong Bek merasa penasaran melihat suhengnya menjadi tersesat dan berbalik pikir seperti itu, maka terjadilah percekcokan di antara mereka dalam keributan itu sehingga akhirnya mereka bertempur sendiri! Kepandaian Kui Bok Beng kalah setingkat apabila dibandingkan dengan Lim Pok yang menjadi kakak seperguruannya, maka akhirnya ia tewas dalam tangan suhengnya sendiri! Setelah membunuh sutenya, Lim Pok lalu mengajak Ang-hoa Mo-li melarikan diri dan membiarkan anak buahnya dihancurkan oleh tentara negeri.

Ternyata bahwa Ang-hoa Mo-li memang bukan seorang wanita baik-baik, karena setelah melihat kematian Kui Bok Beng, ia menerima menjadi isteri Lim Pok, bahkan dengan orang she Lim ini ia merasa lebih cocok! Lim Pok amat dipengaruhi oleh isterinya yang cantik, maka setelah mereka mendapatkan tempat yang cocok di seberang rawa itu, mereka menjadi perampok dan mempunyai beberapa anak buah, kemudian atas anjuran isterinya, Lim Pok membuang namanya dan menggantinya dengan Ang-hoa Sin-mo, sehingga mereka berdua menjadi terkenal dengan sebutan Ang-hoa Siang-Mo (Sepasang Iblis Bunga Merah)! Kedua orang itu lalu mencipta ilmu silat Ang-hoa kun dan anak buahnya dilatih pula untuk mainkan ilmu silat ini sehingga mereka dapat membentuk sebuah Ang-hoa-ti yang lihai!

Putera Kui Bok Beng yang pada waktu itu masih kecil, baru berusia enam tahun dan dititipkan oleh Kui Bok Beng kepada seorang bibinya, tahu pula akan kematian ayahnya maka anak ini lalu berlatih ilmu silat tinggi dan bercita-cita membalas dendam. Anak ini adalah Kui Hong An, yaitu pemuda yang telah berhasil mendapatkan tempat tinggal musuh dan yang kini telah berhadapan dengan Ang-hoa Siang-mo itu! Kedatangan Kui Hong An secara kebetulan sekali merupakan pertolongan bagi Siang Lan yang sedang te rdesak hebat dalam barisan Ang-hoa-tin.

Ang-hoa Sin-mo dan Ang-hoa Mo-li yang mendengar bahwa pemuda baju putih yang tampan dan gagah ini adalah putera dari Kui Bok Beng, maklum bahwa pertempuran mati-matian takkan dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi mereka sama sekali tidak merasa takut, bahkan Ang-hoa Sin-mo lalu tertawa mengejek dan berkata,

”Anak muda, kalau begitu aku adalah supekmu sendiri. Ayahmu telah tewas karena ia tak tahu diri dan berani melawanku, maka kalau kau suka mendengar nasihatku, lebih baik kau pergi dan lupakanlah urusan yang terjadi antara ayahmu dan kami berdua, karena urusan itu adalah urusan antara kakak dan adik seperguruan! Kalau kau berkeras hendak membalas berarti kau hanya mengantarkan jiwamu untuk mati di tempat ini. Bukankah itu sayang sekali?”

Kui Hong An tersenyum. “Aku telah datang ke tempat ini setelah bertahun-tahun mencari kamu berdua. Setelah sekarang bertemu, apakah artinya kematian bagiku? Ang-hoa Sin-mo, bersiaplah untuk menerima pembalasan ayahku!” Setelah berkata demikian, pemuda baju putih melangkah maju dengan sikap mengancam.

“Nanti dulu!” Ang-hoa Sin Mo berkata, “Ketika kau datang, kami sedang hendak membereskan seorang gadis liar yang ingin mampus, maka kalau kau pun tak tahu diri dan ingin mampus pula, kau majulah bersama dengan gadis itu menghadapi Ang-hoa-tin kami!”

Pemuda itu tertawa mengejek. “Semua ucapan itu hanya menunjukkan betapa curang dan pengecut sifatmu, orang she Lim! Kau merasa ngeri untuk maju seorang diri, maka hendak menggunakan keroyokan dengan mengajukan barisanmu Ang-hoa-tin, dan untuk menutup rasa malu, kausuruh aku dan nona itu maju. Ha-ha- ha! Nona itu boleh jadi takut kepada Ang-hoa-tin, akan tetapi aku Kui Hong Ang, sama sekali tidak takut!”

Mendengar ucapan ini Siang Lan melompat dengan mata memandang marah. “Siapa bilang aku takut?” Sepasang mata nona itu menatap wajah Hong An dengan marah. Pemuda itu memandangnya sambil tersenyum, lalu berkata,

“Kalau Nona benar-benar tidak takut, mari kita hancurkan Ang-hoa-tin ini!”

Siang Lan tidak menjawab, hanya mempersiapkan diri dengan pedang dilintangkan di depan dada. Ang-hoa Sin-mo tidak mau banyak bicara lagi, lalu memberi tanda kepada kawan-kawannya dan mulailah tiga belas orang itu bergerak mengurung dua orang muda itu, dan mulai pula berlari-lari memutari kedua orang yang terkepung. Ang-hoa Sin-mo hanya mencurahkan perhatiannya kepada Siang Lan yang sudah diketahui kelihaiannya, dan ia memandang rendah pemuda itu, karena ayah pemuda itu hanya seorang sutenya yang kepandaiannya masih kalah olehnya, apalagi puteranya.

Namun ketika Hong An melihat barisan itu telah bergerak, ia berseru, “Lim Pok, lihat pedang!” dan ia menyerang ke arah Ang-hoa Sin-mo dengan pedangnya. “Pergilah!” bentak Ang-hoa Sin-mo sambil menggerakkan Coa-kut-thi-pian (Cambuk Besi Tulang Ular) dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang itu karena ia percaya bahwa dengan sekali tangkis saja pedang itu akan terlempar. Akan tetapi, ia menjadi kaget sekali ketika terdengar suara keras dari pertemuan antara cambuk besi dan pedang itu.

“Trang!” dan ketika Ang-hoa Sin-mo memandang, ternyata ujung cambuknya telah terpotong! Baiknya pada saat itu dari kanan kiri pemuda itu, dua orang anggota Ang-hoa-tin telah menubruk maju sehingga Hong An tak dapat melanjutkan dan terpaksa menangkis serangan dari kanan, sedangkan serangan dari kirinya ditangkis oleh Siang Lan yang tak dapat mendiamkan saja pemuda itu diserang dari kanan kiri.

Hong An memandangnya dan berkata, “Terima kasih!” Akan tetapi Siang Lan dengan mulut cemberut lalu membalikkan tubuh dan menyerang pengurung yang berada di belakangnya! Juga Hong An lalu menggerakkan pedangnya lagi menyerang Ang-hoa Sin-mo yang kini tidak berani memandang rendah lagi!

Dua orang muda di dalam kurangan Ang-hoa-tin itu dengan berdiri saling membelakangi mulai melakukan serangan, akan tetapi kembali Ang-hoa-tin memperlihatkan ketangguhannya. Ketika Siang Lan dan Hong An mulai menyerang, barisan itu bergerak berputaran lagi dan dengan demikian, maka serangan-serangan kedua anak muda itu saling dihadapi oleh orang kedua atau ketiga dalam barisan. Misalnya, Ang-hoa Sin-mo berputar sampai ke depan Sian Lan dan gadis ini dengan gemas menyerangnya, Iblis Bunga Merah ini melanjutkan pergerakannya memutar sehingga serangan itu dihadapi oleh orang yang berada di belakangnya yang menangkis dengan bantuan orang ketiga, sedangkan Ang-hoa Sin-mo dari samping membarengi serangan Siang Lan itu dengan serangan pula.

Demikianlah, barisan Ang-hoa-tin itu selalu menyambut setiap serangan dengan serangan-serangan pula dan tiap kali Siang Lan atau Hong An menyerang, ia langsung akan berhadapan dengan tiga atau empat orang! Yang lebih menyukarkan Siang Lan dan Hong An adalah karena di dalam kurungan yang sempit itu, mereka berdua tak dapat bergerak leluasa dan untuk memecahkan kurungan itu bukanlah hal yang mudah. Sudah beberapa kali Siang Lan atau Hong An mencoba untuk membobolkan kurungan akan tetapi tak berhasil karena ke mana saja mereka bergerak, kurungan tiga belas orang yang terus berlari memutar itu secara otomatis telah mengurung mereka pula.

“Jangan bergerak, kita mencari akal!” Tiba-tibaa Hong An berkata kepada Siang Lan. Gadis ini menurut dan mereka berdiri saling membelakangi dengan pedang disiapkan untuk menangkis serangan, akan tetapi sebagaimana tadi ketika Siang Lan dikeroyok, barisan itu tidak mau menyerang dan hanya berputaran untuk membuat pening dan kabur pandangan mata kedua orang muda itu. Hong An memandang dengan penuh perhatian, demikian pun Siang Lan.

“Ah, ada jalan untuk memecahkannya!” Tiba-tiba Hong An berkata.

“Aku pun mempunyai jalan yang baik!” kata Siang Lan. Mereka berdua ini bicara dengan tubuh saling membelakangi, jadi tidak dapat saling pandang. Mendengar ucapan Siang Lan yang kedengarannya tak mau kalah itu, Hong An tersenyum seorang diri dan bertanya,

“Apakah jalanmu?”

Posting Komentar