Benda pusaka itu telah ribuan tahun usianya, terbuat dari pada semacam kayu yang tumbuh di Pegunungan Himalava, dan kayu itu diukir dan dibuat menjadi sebuah suling yang amat indah oleh seorang abi di Pegunungan Himalaya kurang lebih seribu tahun yang lalu. Benda itu lalu direndam dalam obat-obatan rahasia yang membuat kayu itu menjadi keras membaja, bahkan kabarnya lebih keras dari pada baja. Pusaka yang indah itu, yang dapat ditiup sebagai sebatang suling yang suaranya merdu, juga dapat dipegang sebagai sebatang pedang, kepala naga menjadi gagang dan badan serta ekornya menjadi pedangnya. Ukiran naga itu sedemikian hidupnya, sepasang mata di bagian kepalanya dibuat dari batu permata sehingga nampak bernyala dan hidup sekali. Selama ratusan tahun, benda itu menjadi pusaka dan menjadi lambang, kekuasaan raja-raja Khitan.
Sampai akhirnya, di jaman Kaisar Jenghis Khan, Raja Mongol ini dalam penyerbuannya ke barat berhasil merampas benda itu dan karena amat kagum dan suka, benda itu menjadi pusaka kesayangan Kaisar Jenghis Khan. Akan tetapi pada suatu hari, pusaka itu lenyap dari dalam gudang pusaka. Kaisar Jenghis Khan marah sekali akan tetapi urusan itu dirahasiakan karena kaisar akan merasa malu kalau terdengar rakyat bahwa pusaka yang paling disayang itu dapat lenyap begitu saja dari dalam gudang pusaka. Saking marahnya, Kaisar Jenghis Khan menghukum mati tiga puluh orang pengawal dan pelayan yang dicurigai! Dan semenjak saat itu, pusaka Suling Naga dianggap lenyap dan tak pernah dapat ditemukan kembali walaupun Kaisar Jenghis Khan telah mengeluarkan banyak sekali biaya dan mengerahkan banyak orangnya untuk mencarinya.
"Sebenarnya yang mencuri benda pusaka itu adalah seorang sakti yang menyembunyikan dirinya di pegunungan sebelah utara. Benda itu menjadi kebanggaannya karena tentu saja orang yang mampu mencuri benda dari gudang pusaka Kaisar Jenghis Khan adalah seorang yang sakti. Benda itu turun temurun menjadi milik murid-murid keturunannya dan akhirnya jatuh ke tangan suhu dan susiok kami yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Ketika suhu meninggal dunia, pusaka itu oleh suhu diserahkan kepada susiok Pek-bin Lo-sian yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Kami memintanya, akan tetapi susiok mengatakan bahwa pusaka itu tidak pantas menjadi milik kami. Tentu saja kami berusaha merampasnya, akan tetapi susiok Pek-bin Lo-sian terlalu tangguh bagi kami. Tidak ada lain jalan kecuali menanti sampai kakek yang sudah tua renta ini mampus. Akan tetapi, sungguh tak terduga sekali halnya kami dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti sehingga kami terpaksa mengundurkan diri bertapa sampai dua puluh tahun dan ketika kami mengutus Bi-kwi, ternyata kakek tak tahu malu itu telah mampus dan mewariskan pusaka itu kepada orang lain!"
Iblis Akhirat menghentikan ceritanya dan tiga orang kakek itu nampak beringas dan marah sekali.
"Bagaimana, Siauw-kwi, maukah engkau membantu sucimu dalam mencari pusaka itu dan mem-balas dendam terhadap keturunan Suma?"
Tiba-tiba Iblis Mayat Hidup bertanya. Cerita itu amat menarik hati Bi Lan. Bagaimanapun juga, tiga orang suhunya memang berhak mendapatkan kembali pusaka itu dan pendekar yang menerimanya dari Pek-bin Lo-sian tidak berhak.
"Baik, suhu. Teecu akan belajar giat agar kelak mampu membantu suci."
Mereka berlima lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke puncak Pegunungan Thai-san.
Di sepanjang perjalanan, dengan hati kaget dan heran, juga muak, Bi Lan melihat betapa tiga orang gurunya itu mengadakan hubungan amat mesra dengan sucinya. Ia belum begitu mengerti tentang hubungan perjinaan seperti itu, Akan tetapi nalurinya membuat ia selalu membuang muka dan menyingkir kalau melihat pertunjukan tak tahu malu di sepanjang perjalanan itu. Karena perbuatan ini saja, diam-diam Bi Lan merasa amat tidak suka kepada sucinya dan kepada tiga orang suhunya, walaupun dengan cerdik ia dapat menyembunyikan perasaan ini di lubuk hatinya. Demikianlah, setelah tiba di puncak Pegunungan Thai-san, di tempat terpencil sunyi, Bi-kwi atau Su Kwi mulai melatih sumoinya dengau ilmu silat. Akan tetapi, dasar orang yang licik, curang dan juga hatinya diliputi penuh kebencian,
Bi-kwi yang tidak rela kalau ada orang kelak lebih pandai atau setidaknya mengimbangi kepandaiannya, ia melatih dengan cara yang kadang-kadang dibalikkan, dengan harapan agar sumoinya tentu mewarisi ilmu yang keliru cara melatihnya menjadi ilmu sesat yang akan membahayakan sumoi itu sendiri. Ilmu bersamadhi dan menghimpun tenaga sin-kang misalnya, kalau dilatih dengan cara yang keliru, amat membahayakan, dapat membuat orang menjadi menderita luka dalam, atau dapat membikin orang menjadi gila, atau bahkan mati keracunan! Kita tinggalkan dulu Bi Lan, anak berusia hampir sebelas tahun yang kini sedang digembleng secara keliru oleh Bi-kwi atau Siu Kwi itu, di tempat terasing, satu di antara puncak Thai-san dan mari kita menengok peristiwa yang terjadi di lain tempat, jauh dari Thai-san.
Peristiwa pemberontakan yang berkembang di perang saudara antara para pemberontak dan pasukan pemerintah, yang dicampuri pula oleh pasukan asing Birma yang bersekutu dengan para pemberontak, membuat seluruh negeri menjadi tidak aman. Karena pemerintah pusat mencurahkan perhatian terhadap pemberontakan pemberontakan itu, maka pengurusan keamanan di daerah-daerah tidak terlalu diawasi. Hal ini membuat para pembesar setempat seolah-olah menjadi raja yang berdaulat, tidak ada yang menentang, tidak ada yang mengawasi. Akan tetapi, juga tidak ada yang melindungi dan pembesar-pembesar itu hanya mengandalkan pasukan keamanan setempat. Oleh karena inilah, maka para penjahatpun muncul dan merajalela di wilayah masing-masing, mengganggu rakyat jelata.
Mungkin karena mempunyai kepentingan yang sama dan keduanya mengganggu dan menentang rakyat jelata, banyak terjadi persekongkolan antara para gerombolan penjahat yang kuat dan para pembesar setempat. Tidaklah mengherankan apabila ada sebagian rakyat bangkit melawan penjahat- penjahat itu, mereka akan berhadapan dengan pasukan keamanan yang akan menentang mereka dan membantu para penjahat! Ada kalanya, agar perbuatan mereka tidak me nyolok, petugas keamanan menangkapi para penjahat dan juga rakyat yang menentang penjahat! Beberapa hari kemudian, para penjahat yang di tangkapi itu telah berkeliaran kembali melakukan kejahatan mereka, sedangkan orang-orang yang ditangkap ketika melawan penjahat itu tetap di tahan, bahkan dihukum dengan tuduhan pemberontak!
Dalam keadaan negara kacau seperti ini terjadilah apa yang dinamakan "pagar makan tanaman", para petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan hidup rakyat, Sebaliknya malah membuat kehidupan rakyat menjadi tidak aman! Kalau petugas keamanan sudah bersekongkol dengan penjahat, dapat dipastikan bahwa keadaan pemerintahannya lemah, dan yang celaka adalah rakyat jelata pula. Keadaan semacam itupun melanda kota kecil Siang-nam yang terletak tidak jauh dari kota besar Siang-tan, di Propinsi Hunan. Kepala daerah kota Siang-nam seperti boneka saja. Hanya pakaian dan kursinya saja yang menandakan dia seorang kepala daerah, akan tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pemimpin. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam.
Dan di atas Bong-ciangkun ini, sebagai penguasa yang tidak terlihat, adalah kepala penjahat yang menguasai seluruh Siang-nam dan daerahnya. Selalu terjadi persekutuan antara kepala penjahat dan Bong-ciangkun dalam menghadapi perkara apapun dan Bong-ciangkun lalu tunduk karena kepala penjahat itu memberi sogokan yang berlebihan, yang membuat komandan itu menjadi kaya raya. Lebih celaka lagi, Bong-ciangkun terkenal sebagai seorang pria congkak, menyombongkan kedudukannya, bengis dan yang paling buruk, mata keranjang dan selalu ingin mendapatkan wanita mana saja yang menarik hatinya! Dia dikenal sebagai srigala kota Siang-nam dan semua penduduk merasa takut kepadanya. Pada suatu pagi, di antara orang-orang yang sibuk pergi ke pasar, ada yang hendak berjualan dan ada pula yang hendak berbelanja, nampak seorang wanita bersama seorang anak laki-laki berjalan menuju ke pasar.
Ibu dan anak ini masing-masing membawa keranjang berisi telur. Mereka memelihara banyak ayam di rumah dan kini mereka hendak menjual hasilnya ke pasar. Biasanya, yang menjual telur adalah suami wanita itu, akan tetapi pada pagi hari itu, si suami rebah pembaringan karena masuk angin dan walaupun enggan keluar rumah dalam suasana kacau seperti itu, terpaksa si isteri mengajak putera tunggalnya untuk menemaninya membawa telur dan menjualnya ke pasar. Wanita itu berwajah lumayan, dengan kulit kuning bersih sehingga usianya yang sudah tiga puluh tahun itu belum menghilangkan daya tariknya yang memikat. Puteranya, seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun, juga wajahnya mirip ibunya sehingga dia nampak tampan dan bersih, wajahnya cerah. Anak ini bernama Gu Hong Beng, dan ayahnya yang sedang sakit itu bernama Gu Hok, seorang tukang kayu yang pandai. Selain memiliki penghasilan sebagai tukang kayu,
Juga isterinya dibantu oleh putera mereka memelihara atau beternak ayam yang hasilnya lumayan pula. Kehidupan mereka yang tidak kaya akan tetapi juga tidak miskin itu cukup bahagia, dengan seorang putera yang baik dan penurut, rajin bekerja membantu ibunya merawat ayam, bahkan sudah dapat melakukan beberapa pekerjaan tukang kayu yang ringan-ringan. Karena semua pedagang di pasar tahu bahwa telur dari ternak ayam milik tukang kayu itu selalu baru dan segar, maka dengan mudah mereka dapat menjual semua telur mereka di pasar dan dengan wajah berseri keduanya membawa uang hasil penjualan itu untuk berbelanja keperluan bumbu-bumbu masakan dan bahan-bahan makanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan agar semua orang minggir dan memberi jalan kepada seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali.
Mukanya buruk hitam dan kulitnya tebal dengan mata lebar bundar yang memandang penuh keangkuhan. Dia berjalan dengan dada dibusungkan, akan tetapi karena perutnya yang luar biasa gendutnya, yang makin membusung adalah perutnya itu. Pakaiannya indah dan gagah, pakaian seorang perwira dengan pedang besar panjang tergantung di pinggang kiri. Kepalanya terhias topi perwira Mancu yang memakai hiasan bulu. Dengan langkah dibuat-buat perwira yang bukan lain adalah Bong-ciangkun ini menoleh ke kanan kiri, sikapnya sombong sekali ketika dia memandangi orang-orang di dalam pasar. Sudah diketahui umum bahwa kaum wanita amat lemah terhadap harta, kedudukan dan nama kehormatan. Oleh karena itu, biar melihat bentuk perut dan mukanya laki-laki yang bernama Bong-ciangkun ini sama sekali tidak dapat dibilang ganteng atau menarik,
Namun kedudukannya, pangkatnya, pakaiannya yang gagah, kehormatannya dan hartanya tentu sekali membuat banyak wanita di pasar itu berlumba untuk bergaya dan menarik hati sang perwira dengan berbagai gaya. Ada yang suaranya tiba-tiba saja meninggi dan nyaring, ada yang tiba-tiba menjadi genit sekali, terkekeh, ada yang matanya lalu menjadi lincah mengerling tajam, ada yang senyum-senyum manis, ada pula yang memperbaiki letak rambut dan merapikan pakaian. Akan tetapi, Bong-ciangkun hanya mengangkat hidung memandang rendah. Empat orang perajurit pengawal yang berada di depan perwira itu untuk membuka jalan bersikap kasar sekali. Ada beberapa orang laki-laki yang memukul keranjang, karena kurang cekatan menyingkir, ditendang keranjangnya sehingga isinya berantakan.
"Minggir! Minggir! Komandan kami akan lewat!"