Tempat yang paling aman adalah di tengah sungai, di mana dia hanya bergaul dengan perahu, dengan kemudi, dengan dayung, kail, jala dan ikan-ikan. Dan Can Kiong bersama isteri dan puteri tunggalnya, Can Bi Lan, melanjutkan perjalanan memasuki hutan di tepi sungai itu. Setelah tiba di sebuah pohon besar di mana terdapat petak rumput, tempat yang teduh dan nyaman, barulah Cau Kiong mengajak anak isterinya berhenti. Isterinya yang sudah hampir merasa lumpuh kedua kakinya lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput tebal sambil menghela napas panjang karena lega. Puterinya, Bi Lan, segera menjatuhkan diri rebah di atas rumput, berbantal paha ibunya dan dalam waktu sebentar saja anak yang sudah hampir pingsan kelelahan inipun pulaslah. Bi Lan tidak tahu berapa lama ia tertidur.
Tiba-tiba tubuhnya terguncang dan terdengar suara riuh. Ia cepat membuka matanya dan ternyata ia telah rebah di atas tanah, tidak lagi berbantal paha ibunya karena ibunya sudah bangkit berdiri sambil berteriak-teriak ketakutan. Ketika ia melihat, ternyata mereka telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian seragam namun compang-camping, dengan jenggot kasar dan pandang mata liar! Belasan orang itu semua memegang senjata golok yang mengkilap tajam. Yang amat mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat ayahnya sedang mati-matian melawan dua orang di antara mereka yang menyerang ayahnya dengan golok. Ayahnya berusaha mengelak ke sana-sini, namun diiringi suara ketawa belasan orang itu, akhirnya dua orang itu dapat mempermainkan ayahnya dengan menyarangkan golok mereka,
Mula-mula hanya menyerempet saja, merobek-robek pakaian dan kulit, kemudian makin dalam dan akhirnya Ayahnya, yang terus melawan mati-matian, roboh terguling dalam keadaan mandi darah. Dua batang golok itu masih terus mengejarnya dan menghujankan bacokan sampai tubuh ayahnya hanya menjadi onggokan daging merah berlumur darah! Selagi terjadi pembantaian itu, ibunya menjerit-jerit, apa lagi ketika melihat Ayahnya mandi darah dan terguling. Ibu ini hendak lari menubruk suaminya, akan tetapi tiba-tiba seorang laki-laki yang bercambang bauk, paling tinggi besar di antara mereka, dengan muka hitam totol-totol buruk sekali, menyambar tubuh ibunya dari belakang, kedua tangannya meremas-remas dan muka penuh brewokan itu menciumi muka ibunya.
Wanita itu berteriak-teriak, meronta-ronta dan bahkan memukul dan mencakar, akan tetapi dengan hanya satu tangan saja, dua pergelangan tangan wanita itu ditangkap dan tubuhnya lalu dipanggul. Semua orang tertawa-tawa melihat wanita yang dipanggul itu menggerak-gerakkan kedua kaki dan pinggul, meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mereka bicara dalam bahasa asing karena memang mereka adalah Bangsa Birma, sisa pasukan yang terpukul mundur dan tercecer berkeliaran di dalam hutan. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus, yang mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan liar penuh kebengisan dan kekejaman, berkata sesuatu kepada si tinggi besar yang memanggul wanita itu.
Si tinggi besar tertawa dan terkekeh ketika si tinggi kurus menuding ke arah Bi Lan yang masih duduk di atas tanah dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Anak ini tadi ikut menjerit-jerit dan menutupi mukanya ketika ayahnya dibantai, kemudian melihat ibunya ditangkap, iapun menangis dan berteriak-teriak. Hampir ia pingsan melihat semua itu dan kini ia hanya bisa duduk dengan mata terbelalak seperti seekor kelenci tersudut dan terkurung oleh segerombolan srigala. Si tinggi kurus muka pucat itu dengan beberapa langkah saja sudah mendekati Bi Lan dan sebelum tahu apa yang terjadi, rambut Bi Lan yang panjang itu sekali dijambaknya dan sekali sentakan saja membuat gadis cilik itu tubuhnya melayang ke atas dan kepalanya terasa sakit karena rambutnya dijambak dan disentakkan ke atas. Ia menjerit dan tubuhnya sudah dipondong, oleh si tinggi kurus. Bi Lan menjerit dan meronta-ronta sekuat tenaga.
"Lepaskan anakku....! jangan ganggu anakku, ohhh.... bunuhlah aku, tapi jangan ganggu anakku....!"
Ibu itu menjerit-jerit ketika melihat anaknya ditangkap pula. Akan tetapi orang-orang kasar itu hanya tertawa bergelak dan Bi Lan dibawa pergi oleh si tingggi kurus. Bi Lan meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin ia dapat melepaskan diri? Ia dibawa semakin jauh dan ia kini tidak melihat ibunya lagi, hanya mendengar jerit tangis ibunya yang makin lama makin jauh kemudian tidak terdengar lagi. Kini baru Bi Lan teringat akan nasib dirinya sendiri setelah ia jauh dari ayah ibunya. Tadi ia lupa akan keadaan diri sendiri karena melihat mereka dan kini baru ia tahu bahwa dirinya dibawa pergi menjauh dari pada yang lain oleh si tinggi kurus bermuka pucat.
Rasa takut membuat ia menangis sesenggukan dan tidak berteriak-teriak lagi, tidak meronta lagi. Ketika tiba di tengah hutan, di dekat sebuah sumber air di mana tumbuh rumput tebal di bawah pohon-pohon rindang, si tinggi kurus itu melempar turun Bi Lan ke atas rumput. Anak itu terbanting perlahan dan karena rumput itu tebal dan lunak, ia tidak terlalu menderita nyeri. Akan tetapi, Bi Lan segera bangkit duduk. Tubuhnya masih lemas karena kelelahan, ditambah lagi dengan kengerian yang dilihatnya, dan rasa takut yang amat sangat, membuat ia seperti lumpuh. Kini, dengan muka pucat, dengan mata merah basah, dengan rambut kusut dan tubuh panas dingin, ia memandang kepada laki-laki yang berdiri amat tingginya di depannya itu dengan sinar mata liar ketakutan. Ia melihat wajah yang pucat kurus itu menyeringai mata yang buas dan bengis itu ditujukan kepadanya.
"Nah, begitulah, anak manis. Diam saja dan jangan menangis. Aku paling benci kalau mendengar anak menangis. Nah, begitulah, jangan membikin aku marah."
Laki-laki itu lalu menanggalkan bajunya, lalu duduk di depan Bi Lan. Anak perempuan ini melihat betapa kulit dadanya yang kurus itu, kulit yang hanya membungkus tulang, cacat dengan guratan-guratan panjang bekas luka. Mengerikan sekali dan gadis itu semakin ketakutan. Apa lagi melihat laki-laki itu menjulurkan tangan dan jari-jari yang kecil panjang itu menyentuh dan mengusap pipinya, lalu tangan itu mengusap rambutnya.
"Kembalikan.... kembalikan aku.... kepada ibuku...."
Akhirnya Bi Lan mampu juga bicara karena melihat laki-laki itu tak bersikap kasar kepadanya. Baru sekali ini nampak laki-laki itu tertawa dan hampir Bi Lan jatuh pingsan sakig takut dan seremnya. Laki-laki kurus ini sejak tadi diam saja dan sikapnya itu penuh dengan kebengisan, akan tetapi kalau ia diam, masih baiklah. Akan tetapi kini dia tertawa dan suasana menjadi menyeramkan. Dia tertawa tanpa disertai bibir dan matanya. Mulutnya seperti diam saja akan tetapi dari kerongkongannya terdengar kekeh lirih yang amat mengerikan, pantasnya iblis yang bisa tertawa seperti itu. Dan kini laki-laki itu, masih terkekeh, mencengkeram baju Bi Lan dan sekali renggut, terdengar kain robek dan baju itu pun terlepas dari pundak dan lengan Bi Lan! Tentu saja Bi Lan terkejut setengah mati dan ia pun menjerit dan menangis.
"Ehh! Aku paling benci...."
Laki-laki itu berteriak dan tangan kirinya menampar.
"Plakkk....!"
Rasa nyeri membuat Bi Lan yang terpelanting ke atas rumput itu seketika menghentikan tangisnya. Nyeri dan kaget bukan main. Tamparan pada pipinya itu membuat pandang matanya berkunang dan ujung bibirnya berdarah. Ketika ia membuka matanya lagi, tahu-tahu laki-laki itu telah menyambar tubuhnya, dipangkunya dan laki-laki itu lalu menciumi bibirnya yang berdarah. Bagaikan seekor srigala, laki-laki itu menjilati bibir sendiri yang berlepotan darah yang keluar dari bibir Bi Lan yang pecah,
Lalu menciumi lagi dengan buasnya, bukan mencium, melainkan lebih mirip hendak menghisap darah yang keluar itu sampai habis dari tubuh Bi Lan. Tentu saja Bi Lan semakin ketakutan dan kesakitan, meronta-ronta tanpa dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup mulut pria itu. Ia muak dan takut, matanya terbelalak dan ia masih belum mengerti mengapa orang itu melakukan hal seperti itu kepada dirinya. Keadaan orang tinggi kurus itu seperti mabok. Memang, orang yang membiarkan dirinya dikuasai nafsu, tiada bedanya dengan orang mabok. Makin dibiarkan nafsu menguasai diri semakin parah pula maboknya itu sehingga ia lupa segala-galanya, yang teringat hanyalah bagaimana caranya untuk dapat melampiaskan nafsunya secepat mungkin dan sepuas mungkin.
Orang yang dikuasai oleh nafsu berahi seperti orang tinggi kurus itu, yang memang menjadi hamba dari nafsu berahinya dan membiasakan diri untuk tunduk kepada nafsu ini, tidak lagi melihat apakah perbuatannya dalam melampiaskan nafsunya itu sudah tepat dan benar. Dia lupa bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak kecil berusia sepuluh tahun, bukan seorang wanita yang sudah dewasa dan sudah layak dijadikan pemuas nafsu berahinya. Dia tidak peduli lagi, yang penting baginya adalah bagaimana nafsunya dapat cepat tersalurkan. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan diri Bi Lan itu, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa-tawa. Suara ketawa itu terdengar aneh dan halus, akan tetapi menusuk anak telinga sehingga si tinggi kurus yang sedang menciuminya, atau seperti hendak memakannya dengan lahapnya itu,