Halo!

Suling Emas Naga Siluman Chapter 04

Memuat...

"Ah, kita tidak ada waktu, To-yun jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu. Pula, tempat ini penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah!"

Hok Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya menurut juga karena memang sukarlah mengubur mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat manusia berserakan seperti itu takterurus. Bayang-bayang di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke barat, di depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok Keng Cu nampak lega.

"Kita sudah hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan berisitirahat!"

Biarpun mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini merasa lapang dadanya karena tidak ada mahluk mengerikan itu mengganggu mereka. Akan tetapi, ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok Keng Cu yang berjalan di depan, meloncat ke belakang dan berseru,

"Siancai....!"

Dua orang temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak.

Tak jauh dari situ, tertutup rumput yang agak tinggi nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan mereka semua telah menjadi mayat dan melihat darah yang masih berceceran di mana-mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu belum lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di leher dan perut atau dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang tajam, dan hampir semua mayat itu matanya terbelalak lebar, seolah-olah mereka itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas. Ciok Kam sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan memegang pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk hati tosu muda ini.

Ada perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat orang-orang ini adalah sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga dari senjata-senjata yang berserakan di tempat itu. Dan ini tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke daerah ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang datang ke situ dengan maksud yang sama, yaitu mencari pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja secara mengeri-kan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani tadi bahwa tempat ini berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi benarkah Yeti yang mengamuk?

"Hei, manusia atau mahluk jahat, keluarlah dan tandingi sepasang pedangku!"

Teriaknya. Dua orang sahabatnya terkejut sekali.

"Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke pondok itu sebelum terlambat!"

Seru Hok Keng Cu.

"To-heng, ada kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa bukan Yeti yang melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula berkeliaran di daerah ini!"

Kata Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat begitu banyak orang dibunuh.

"Ciok-toyu, engkau ikut bersama pinto, harap engkau menurut dan tidak usah menyusahkan pinto. Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok!"

Kata Hok Keng Cu dan nada suaranya terdengar marah. Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu sahabatnya itu adalah orang-orang pandai kalau sampai mereka nampak begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja.

"Baiklah, To-heng, mari kita pergi!"

Katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang tosu itu, dia tetap memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur. Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua orang teman seperjalanannya itu ke dinding gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang sebenarnya lebih mirip sebuah guha yang tertutup oleh sebuah batu besar.

"Bantu pinto menggeser pintu batu ini!"

Katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga mendorong batu bundar besar yang menutupi lubang guha. Hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan-lahan batu bundar itu dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang guha yang cukup lebar. Mereka segera memasuki guha itu. Guha itu luas dan nampak burung-burung walet berseliweran di sebelah dalam.

"Batu itu dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal meng-gesernya menutup lagi dan kita aman sudah."

Kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega.

"Sekarang lebih dulu kita mengambil air untuk persediaan semalam ini. Juga kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan."

Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia tidak banyak bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di luar pondok batu guha, menampung air itu di gentong batu yang terdapat di dalam guha itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Kemudian mereka bertiga duduk di dalam pondok, mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore masih memasuki guha dari pintu yang terbuka itu.

"Besok pagi kita ke manakah?"

Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan hatinya.

"Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan, dan di sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka itu. Tentu seorang di antara para pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke sana pula perginya semua orang kang-ouw yang mengunjungi daerah ini untuk mencari pedang pusaka itu."

"Masih jauhkah dari sini?"

"Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma akan nampak lereng di sebelah timur, di situ nampak dinding batu gunung yang kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan. Karena itulah dinamakan Lereng Awan Merah."

"Mengapa banyak pertapa berkumpul di sana?"

"Karena daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk ditanami sayur-sayuran."

Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan mereka merasa aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api unggun ini mereka makan roti tawar dan minum air yang mereka sediakan tadi. Sesudah itu, mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan tidur.

Api unggun bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu guha batu. Tak lama kemudian api unggun itu padam akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka telah tidur pulas saking lelahnya. Sinar matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang masih menutup lubang guha ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia tidur menghadap pintu dan sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya. Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan merasa kaget karena sinar matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata seekor mahluk yang menakutkan! Akan tetapl dia segera sadar dan merasa geli sendiri, lalu bangkit duduk dan mengga-ruk-garuk mukanya di mana terdapat bintul-bintul kecil.

"Hem, di tempat seperti ini ada juga nyamuknya."

Gerutunya. Tiba-tiba dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah batu dan guha itu menjadi gelap,

Seperti ada sesuatu yang menghalanginya di depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri dan terbelalak memandang ke arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu yang tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia memperhatikan. Pendengarannya yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup guha itu. Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia terbelalak, karena napas itu begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di luar guha. Cepat dia mehghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang.

"Lekas Ji-wi Toheng, bangunlah!"

Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu menuding ke arah pintu. Kini terdengar gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua orang tosu itu sudah meloncat berdiri dengan mata terbelalak.

"Jangan khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu!"

Hok Keng Cu berkata dan tangannya meraba sakunya. Tosu ini tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu sabuk sutera putih yang dililitkan di pinggang.

Dia ahli main cambuk dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai senjata cambuk untuk menotok jalan darah lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang tipis yang biasanya disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan tegang, sama sekali tidak bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam guha batu itu, mata mereka memandang ke arah batu bundar penutup guha, ke arah sinar kecil dari matahari yang menerobos masuk. Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak! Tiga orang tosu itu terkejut dan melihat betapa celah-celah yang dimasuki sinar matahari itu makin membesar, Hok Keng Cu berteriak.

"Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka!"

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment