"Ini namanya Lembah Arun!"
Kata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan daerah Himalaya itu. Hok Ya Cu dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan dan salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah tubuhnya tertutup"
Salju dan awan. Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti menyangga atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam menahan napas.
"Betapa hebatnya kekuasaan To!"
Dia menggumam, takjub dan terpesona oleh keindahan itu. Memang indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tidak ada apa-apa lagi! Siapa gerangan mampu menggambarkan keindahan, keagungan, kebesaran yang demikian hebat? Yang dapat menggambarkan secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu HENING! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan pikiran tidak sibuk menilai dan membanding-banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi, maka segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai, membandingkan keindahan itu, berusaha mengabdikannya dalam ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah,
Hanya menjadi gambaran yang menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan! Dalam keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang terbentang luas di alam maya pada, terasa sekali kemujijatan yang terkandung di dalam segala sesuatu, dari tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohon-pohon di hutan, dari setiap urat syaraf di tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air di bawah permukaan bumi sampai kepada kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari, bintang-bintang. Dalam keheningan memandang semua itu, terasalah bahwa kita adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di dalam suatu ketertiban yang selaras dan ajaib.
Namun sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar kesenangan yang sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai semua keajaiban itu, kita hanya mampu menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama dan sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan dan menyebut semua itu menjadi pengetahuan teoretis, menjadi bahan perdebatan dan percekcokan, mempertahankan pendapat masing-masing tentang yang maha besar itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik akan asapnya sehingga hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta kehilangan cahaya dan apinya itu!
Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata mereka itu sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar membuat mereka membuka bekal roti kering mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang mereka dapat ambil sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber air kecil yang amat jernih. Lembah Arun berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur. Lembah Arun adalah lembah sungai yang paling curam di dalam dunia ini, suatu tempat yang indah namun terasing dari manusia dan keadaannya sungguh luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun liar tak pernah tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia.
Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia dan Puncak Kancen Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia. Di depan, adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak berbeda dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil makan dan minum secara sederhana itu, hanya roti kering dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali, menghadapi kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka menghentikan percakapan sampai perut mereka terasa kenyang.
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan, sebelum senja kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok kosong yang dulu menjadi tempat pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah satu-satunya tempat yang baik untuk kita dapat melewatkan malam di daerah ini!"
Kata Hok Keng Cu yang sudah berpengalaman di tempat itu. Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi, mau tidak mau muncul kembali bayangan mahluk yang dinamakan Yeti itu di benak Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada Hok Keng Cu.
"To-heng, sebetulnya, apakah artinya Yeti itu?"
Hok Keng Cu mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan mahluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan mahluk itu akan muncul di depan mereka! Akan tetapi karena dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia menjawab,
"Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya daerah berbatu dan Teh artinya mahluk. Jadi Yeti dinamakan mahluk dari daerah berbatu oleh bangsa Tibet."
Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi.
"Mengapa dinamakan mahluk, apakah belum ada ketentuan dia itu sebenarnya apakah? Binatang, manusia, ataukah setan?"
"Sstt.... Toyu, hati-hatilah kalau bicara....!"
Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah pucat.
"Tidak mengapa,"
Hok Keng Cu berkata.
"Ciok-toyu bukan bermaksud menghina melainkan karena memang ingin, sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak ada manusia yang dapat menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita, hanya melihat Yeti dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu.... tewas! Dan dari keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa mahluk itu menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai seekor monyet besar. Akan tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi besar menakutkan."
Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok Keng Cu menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi, suasana menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi. Memang luar biasa sekali kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki. Seolah-olah dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap domba-domba putih berarak di angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup salju. Mereka kini tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam sehingga biarpun tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,
Mereka harus melangkah dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan batu-batu runcing. Matahari telah naik semakin tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat bayang-bayang pendek di belakang mereka. Mereka berjalan beriring-iringan, karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di bawah kaki mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan mengerahkan gin-kang sehingga tubuh mereka dapat bergerak ringan sekali, Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu disusul sutenya, baru kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak pernah tertinggal, karena dalam hal gin-kang, dia lebih unggul daripada dua orang sahabatnya sehingga melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar baginya.
Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan dan tosu tua ini berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar itu. Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang sudah mulai membusuk! Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dia orang ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu (pengawal barang atau guru silat), usia mereka sukar ditaksir karena muka itu sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan sebatang pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua orang itu terobek dan luka yang menganga itu sungguh mengerikan untuk dipandang.
"Lihat ini....!"
Ciok-tosu berseru. Dua orang tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka itu telah mengambil pedang dan golok, mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat bahwa dua buah senjata itu telah rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok dengan jarinya dan mendapat ke-nyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam yang cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu. Terdengar suara nyaring yang mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun dua buah senjata itu rompal dan rusak! Mereka bertiga saling pandang dan sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu kata yang sama. Yeti!
"Mari kita melanjutkan perjalanan!"
Akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas terdengar gemetar dan tidak lancar.
"Tapi.... tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini...."
Kata Ciok-tosu sambil memandang kepada dua mayat itu.