Setidaknya, mereka akan memperoleh tambahan pengalaman dan daerah Himalaya memang merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia persilatan! Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari partai-partai persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi pendukung kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Adapun kelompok ke dua terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang berkepandaian tinggi. Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum sesat! Dan ketika tersiar berita tentang Koai-liong-pokiam, bukan hanya golongan putih yang geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri daerah Himalaya bukan saja golongan putih bahkan lebih banyak pula golongan hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya tiba-tiba menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali.
Semenjak kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhan-pembunuhan dan penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para pedagang mau pun para pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan, bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat tentu akan diintai malaekat maut! Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi saja yang berani melan-jutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang lebih kecil nyalinya lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka berani melanjutkan perjalanan mereka. Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya, maka merekapun datang berkunjung dan melalui jalan air Sungai Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi bahayanya tidak kalah besarnya.
Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus sungai! Namun, dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dan pada hari itu mereka pagi-pagi sekali telah tiba dibawah tebing yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing. Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tidak asing dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah ini. Akan tetapi Hui-siang-kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia sampai berada di situ pula karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti kedua orang kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh penasaran itu. Dia menarik napas panjang.
"Siancai....!"
Kata tosu muda ini.
"Agaknya di ujung dunia yang manapun, kita selalu akan bertemu dengan manusia-manusia yang berkeluh kesah dan merasa hidupnya sengsara!"
Dia dapat menangkap keluh-kesah dalam suara nyanyian itu.
"Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno,"
Kata Hok Ya Cu menerangkan, lalu menterjemahkan lagu itu dalam bahasa Han.
"Lagu itu penuh keluhan, membuat aku penasaran saja"
Ciok Kam berkata seorang diri, lalu dia bangkit seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi, suaranya nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khi-kang yang cukup kuat. :
"Yolmo Lungma tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo panjang tenang karena hening
manusia dengan segala kesibukannya
membuat gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak puas selamanya tidak akan puas!
Aih.... sebelum hayat meninggalkan badan
tak mungkinkah mengenal kecukupan?"
"Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah?"
Hok Keng Cu bertanya. Ciok Kam tosu menarik napas panjang
"Sebagian juga mencela kita sendiri, To-heng. Bukankah karena ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini?"
Sebelum dua orang temannya itu ada yang menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar teriakan yang bergema ke bawah,
"Ahooii.... kalian yang berada dibawah!"
Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak mengerti apa yang dikatakannya karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet. Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu, segera berteriak dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya bergema sampai ke atas tebing,
"Sobat, kau mau apakah?"
Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi, dan kini dia berkata lagi,
"Hati-hati, jangan lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak orang dibunuhnya! Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng Cu menjawab nyaring,
"Terima kasih atas pemberitahuanmu...."
Lalu mereka melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandang mata petani yang masih menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu.
"Ah, apakah yang dikatakan orang itu tadi?"
Tanya Ciok-tosu kepada dua orang sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu muda itu berkerut.
"Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti itu?"
Tanyanya.
"Kalau dia seorang sejahat itu, sebaiknya kita bertiga mem-basminya!"
"Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi dengan kaki tangan kita!"
Kata Hok Keng Cu.
"Hemm, kalau begitu dia iblis?"
Tanya Ciok-tosu dengan heran.
"Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia bukan iblis, melainkan seekor mahluk setengah manusia setengah binatang yang amat buas, dan memiliki kekuatan yang mujijat, tidak masuk akal!"
"Ehhh.... ?"
Tosu muda itu makin kaget.
"Pinto (aku) rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi, Kongmaa La itu, sungguhpun sebenarnya paling baik kalau mengambil jalan dari gunung itu di mana terdapat jalan buatan manusia yang mudah dilalui,"
Kata pula Hok Keng Cu.
"To-heng, pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu?"
Tanya Ciok Kam. Yang ditanya menggeleng kepala.
"Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan Yeti."
"Kalau begitu, mengapa Ji-wi To-heng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia, atau iblis atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita untuk membasminya!"
"Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit. Kami hanya pernah mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan oleh orang yang betapa kuat dan pandaipun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata tajam dan kecepatan ,gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan seperti terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi mahluk seperti itu?"
Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerutkan alisnya, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena hatinya tertarik sekali.
"Seperti apa macamnya, To-heng? Aku ingin sekali melihatnya,"
"Kami belum pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam-macam. Ada yang bilang seperti biruang, ada yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan dengan kedua kaki seperti manusia!"
Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru,
"Ahh, jangan-jangan mayat-mayat yang kita lihat te-rapung di atas air sungai itu adalah korban dia!"
Dua orang sahabatnya termenung dan mengangguk-angguk. Mereka pun sedang memikirkan hal itu dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat manusia berturut-turut terapung di atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak dan luka-luka.
"Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di daerah Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar To-yu."
"Tapi.... di tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau senjata tajam."
Ciok-tosu membantah.
"Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang manapun juga!"
Kini Hok Ya Cu ikut bicara. Mereka mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing dan cerita tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam hati mereka.
Matahari telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang tumbuh di kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi belasan meter saja. Mulai nampak keindahan pemandangan, di kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang sukar sekali ditembus manusia, dan jauh di kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi yang tertutup awan dan salju. Hawa masih dingin sungguhpun sinar matahari cukup cerah di pagi itu. Disebelah kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain di kanan kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu menyenangkan dan menimbulkan harapan, tidak menyeramkan seperti warna gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran.
"Gunung apakah itu?"
Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya.
"Itulah Kongmaa La....
"
Jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa jerih, Ciok-tosu menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung itu pula dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa dua orang sahabatnya itu bukan orang lemah, meainkan sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mengapa kini memperlihatkan sikap demikian takut dan pengecut? Sikap dua orang temannya itu tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya.
"Pinto mau mendarat di sana!"
Tiba-tiba dia berkata.
"Ehh....?"
Hok Keng Cu berseru.
"Berbahaya sekali, Ciok-Toyu!" seru Hok Ya Cu menyambung.
"Kalau Ji-wi To-heng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat Kongmaa La!"
Melihat dua orang sahabatnya itu saling pandang dan meragu untuk menjawabnya, Ciok-tosu menyambung.
"Bukankah Ji-wi mengajak pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud mencari pencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan berhasil? Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri pedang pusaka!"
Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut saling pandang, mengangguk-angguk, kemudian Hok Keng Cu berkata.
"Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La!"
Hok Ya Cu hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suhengnya. Mereka lalu mendayung perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La itu. Di bagian ini memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat mendarat, menarik perahu ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di dalam semak-semak.