"Kwee-taihiap telah menolongku daripada Si Laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan kepada Kwee-taihiap! Biarpun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam kepadanya namun aku.. aku.. ah..."
Ia menangis lagi.
"Cici! Kau cinta padanya?"
Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan juga pada gadis ini.
"Ya! Aku cinta padanya! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain! Sekarang ia telah tewas...ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini? Aku... aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya..."
Sambil terisak Kui Lan lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan kejantanan kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki pendekar itu mati secara begitu menyedihkan. Setelah malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan terdengar ayahnya berkata marah.
"Iblis jahanam Bayisan itu! Kepandainnya boleh juga, ilmu lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!"
Lu Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.
"Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut, apakah kau hendak memilih batu kali? Dimana didunia ini ada calon suami yang lebih baik dan gagah daripada Kwee Seng? Siapapun juga yang kau pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
"Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee Seng, betapapun gagah dan pandai dia!"
"Huh! Kau keras kepala dan sombong! Tidak akan ada Kwee Seng kedua didunia ini."
"Tidak ada Kwee Seng kedua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"
"Tak mungkin! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan."
"Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau kumpulkan!"
Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah.
"Kau anak kecil tahu apa? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh pemuda paling hebat didunia, ke dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo pulang!"
"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana."
Bantah Lu Sian yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya. Pat-jiu Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian yang lebih daripada cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar. Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku itu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui pilihannya? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri ditepi jurang melongok kebawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh dibawah, lalu ia menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu. Ketika tubuhnya melayang kebawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh ditempat yang tak ia ketahui betapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu disekelilingnya. Oleh karena itu, ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.