Kwee Seng yang merana hatinya oleh pengakuan Liu Lu Sian yang tidak membalas cinta kasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu membelokkan kudanya kearah timur dan hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung, sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan disitu terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan kosong tidak ada tamu sehingga keadaan sunyi dan ia tidak benyak menunggu. Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian ia minum mabok-mabokan sambil bernyanyi-nyanyi untuk mengusir pergi kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel memberinya nama Sastrawan Pemabok! Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan sajak-sajak romantis ciptaan penyair terkenal Li Tai Po.
Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah penginapan, memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah tempat arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang berwarna indah sekali sambil sekali-kali meneguk arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak karangan Li Tai Po, maka sambil mengangkat muka dan menggerak-gerakan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak itu :
Kunikmati arak hingga tak sadar akan datangnya senja
rontokan daun bunga memenuhi lipatan bajuku
mabok kuhampiri anak sungai mencerminkan bulan
ohhh, burung terbang pergi, sunyi dan rawan
Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak melayang-layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik kesebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.
"Heh-heh-heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..."
Ia berkata-kata seorang diri akan tetapi diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan? Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek! Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini.
Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu sama sekali tidak menengok kearahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena ditempat itu tidak ada orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak sewajarnya! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang penuh curiga kepadanya. Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak kearah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa.
Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke penjagalan. Seekor domba yang dituntun kepenjagalan! Kalimat ini seakan-akan berdengung ditelinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang ditelinganya.
Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar? Makin gelap keadaan cuaca diluar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian.
Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak. Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang diatas pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk ditepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk.
"Nona yang baik, mengapa kau menangis?"
Dengan gerakan halus dan mesra pemuda itu mengusap-usap kedua pipi yang penuh air mata.
"Aku tertarik oleh kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan diri kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih, menyerah kepadaku dengan sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi kekasihku..."
Pemuda itu menundukkan mukanya hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu. Tiba-tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan niatnya mencium karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya jelalatan kesana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia mencium bau arak. Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia
mendekatkan tangannya kedepan hidung, ia berseru kaget.
"Keparat, siapa berani main-main dengan aku?"
"Penjahat cabul jahanam! Ditempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang bertemu dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!"
Terdengar suara Kwee Seng dari atas genteng. Bayisan bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang keluar dari jendela kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah meloncat naik keatas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang diatas genteng yang sunyi itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah-engah karena menahan amarah, sebatang pedang sudah berada ditangan kanannya.
"Heeeei! Jahanam cabul, aku disini. Mari kita keluar dusun kalau kau memang berani!"
Tahu-tahu Kwee Seng suah berada agak jauh dari tempat itu, melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang Khitan ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari cepat dan terjadilah kejar-kejaran di malam gelap itu, menuju keluar dusun. Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya. Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya jalang, pedang ditangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan itu, ia makin marah.
"Eh, kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa kau lancang dan mencampuri urusan pribadi orang lain?"
Bayisan membentak menahan kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri didepannya bukan orang sembarangan sehingga ia harus bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan terkenal sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji. Di Khitan ia terkenal sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai. Kwee Seng tertawa.
"Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini, Panglima Khitan merangkap penjahat cabul! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San? Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji-puji, akan tetapi nama Bouw I San (Bayisan) tukang petik bunga (penjahat cabul) aku belum pernah!"
"Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan, kau mendengarnya atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau iri, apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak merebut perempuan yang sudah menjadi tawananku!"
"Heh-heh-heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau! Kau suka mengganggu wanita, aku tidak! Kau penjahat cabul, aku justeru membasmi penjahat cabul! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!"
Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya. Dilain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini.
"Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi Lo-cia, sekarang kau tak mungkin terlepas dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, Bayisan menyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu digerakkan keatas akan tetapi dari atas menyambar kebawah dengan bacokan kearah kepala, kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok kepala dan menusuk dada! Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat kebelakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas.... Gurunya hidung belang, muridnya mata keranjang!"