Teguran ini membuat Kwee Seng terkejut dan meloncat bangun sendiri! Kiranya Lu Sian sudah berdiri di depannya, biarpun cuaca sudah mulai gelap, masih tampak gadis itu segar dan berseri-seri, makin cantik setelah mandi. Gadis itu tertawa geli.
"Kwee-koko, kukira kau tadi menjadi gila, apa-apaan itu tadi kau menampar kepalamu sendiri?"
"Aku Ah.. kau tidak melihat tadi? Banyak nyamuk di hutan ini. Mengiang-ngiang di atas telinga, kucoba menepuk mampus nyamuk-nyamuk itu."
Baiknya Lu Sian percaya alasan ini.
"Kwee-koko, sekarang aku hendak pergi. Kau menanti disini saja, ya?"
"Kemana, Sian-moi? Ke benteng itu. Meyelidik! Ah, apakah perlunya? Jangan mencari perkara Sudahlah!"
"Kau seperti nenek bawel saja. Kalau tidak suka, kau tidak usah ikut. Aku tahu kau tidak suka, maka aku akan pergi sendiri. Biarlah kau menanti disitu bersama eh, nyamuk-nyamuk itu. Aku pergi, Koko!"
Setelah berkata demikian, Lu Sian mempergunakan kepandaiannya meloncat dan lari cepat, sebentar saja lenyap dari situ. Kwee seng mengerutkan keningnya. Gadis aneh. Ia takkan berbahagia hidup disamping gadis itu sebagai isterinya. Akan tetapi ah, mengapa hatinya seperti ini? Mengapa timbul kekuatirannya kalau-kalau Lu Sian menghadapi malapetaka? Biarlah kalau ia tertimpa bencana. Salahnya sendiri. Mencari perkara. Mencampuri urusan orang lain! Kwee Seng mengeraskan hatinya dan mulai membuat api unggun untuk mengusir nyamuk yang memang banyak terdapat di hutan itu. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak enak. Terjadi perang di dalam hatinya antara membiarkan atau pergi menyusul Lu Sian.
Dengan pengerahan gin-kang dan ilmu lari secepatnya, sebentar saja Lu Sian telah tiba diluar tembok benteng. Tembok benteng itu cukup tinggi, pintu gerbangnya berada di tengah, terjaga kuat oleh belasan orang prajurit. Pintu belakang juga terjaga, malah tertutup rapat, sedangkan diatas tembok itu, pada setiap ujungnya terdapat bangunan kecil dimana tampak pula penjaga yang bersenjata lengkap. Beberapa menit sekali, penjaga-penjaga meronda disekeliling tembok. Pendeknya, benteng itu terjaga rapat sekali. Untuk melompat tembok, terlampau tinggi dan andaikata dapat juga, pasti akan tampak oleh para penjaga diempat penjuru. Akan tetapi, Lu Sian adalah seorang gadis yang banyak akal, berani dan lihai.
Ia memilih bagian yang agak sepi, menanti sampai peronda lewat, kemudian cepat sekali ia menggunakan pedangnya membongkar tembok! Pedangnya bukanlah pedang biasa, melainkan pedang pusaka, pedang buatan daerah Go-bi, terbuat daripada logam baja biru dan oleh ayahnya diberi nama Toa-hong-kiam (Pedang Angin Badai), karena Pat-jiu Sin-ong memberikan pedang itu kepada puterinya ketika menurunkan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut. Pedang baja biru ini dapat dipergunakan untuk memotong besi dan baja. Apalagi tembok yang terbuat daripada bata itu, dengan mudah saja dapat ditembusi Toa-hong-kiam. Belum lima menit, Lu Sian telah berhasil membuat lubang yang cukup dimasuki tubuhnya.
Dilain saat tubuhnya berkelebat menyelinap masuk dan bagaikan seekor kucing ia sudah berloncatan cepat menghilang di antara kegelapan malam, mendekam di tempat gelap sambil memperhatikan keadaan didalam benteng. Benteng itu cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan orang bala tentara. Di dalamnya selain terdapat lapangan luas untuk berlatih para perajurit, juga terdapat bangunan-bangunan kecil berjajar yang agaknya menjadi tempat bermalam para perajurit. Ada pula bangunan terbuka yang dipakai sebagai dapur, lalu kandang-kandang kuda dan gudang-gudang perlengkapan.
Ditengah sendiri terdapat empat buah bangunan besar yang bentuknya kembar. Tak salah lagi, disinilah tempat para perwiranya. Maka tanpa ragu-ragu Lu Sian lalu berindap-indap menghampiri empat bangunan ini karena memang kedatangannya ini terdorong oleh rasa hatinya ingin mengintai dan menyelidiki keadaan Jenderal Muda Kam Si Ek! Disudut lubuk hatinya memang ia tak pernah melupakan Kam Si Ek, pemuda gagah perkasa dan ganteng yang pernah menggetarkan hatinya diatas panggung adu ilmu. Sayangnya pemuda itu tidak mau melayaninya mengadu kepandaian. Namun sikapnya yang gagah dan keras, wajahnya yang membayangkan kejantanan, telah menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika dalam perjalanan ini ia mendengar disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit hasrat hatinya untuk menemuinya dan mempelajari keadaannya, kalau perlu mencoba kepandaiannya!
Melihat bendera tanda pangkat jenderal didepan sebuah di antara empat gedung, hati Lu Sian berdebar. Ia menyelinap ke belakang gedung ini, kemudian menggerakkan tubuhnya melayang naik ke atas genteng sebelah belakang, dan dengan hati-hati ia merayap diatas genteng menuju ke bagian tengah. Ketika ia melihat sinar api penerangan yang besar dan mendengar suara orang, ia membuka genteng dan mengintai ke bawah. Betapa girang hatinya ketika ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu Kam Si Ek sendiri, berada di dalam sebuah ruangan besar di bawahnya! Biarpun seorang jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian biasa, mungkin karena tidak sedang dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya digelung keatas, diikat sutera kuning. Tubuhnya yang tegap itu kelihatan gagah dan penuh tenaga. Ia duduk menghadapi meja besar yang penuh hidangan. Yang membuat hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah ketika ia melihat tiga orang gadis cantik yang pernah dilihatnya.
Kini tiga orang gadis itu mengenakan pakaian yang lebih mewah lagi, biarpun warna pakaiannya tetap sama, yaitu yang pertama serba merah, yang kedua serba kuning dan yang ketiga serba hijau. Rambut mereka digelung rapi dan dihias emas permata mahal. Muka mereka dilapisi bedak, bibir dan pipi ditambah warna merah dan bau minyak wangi mereka sampai tercium oleh Lu Sian yang mendekam di atas genteng! Pada saat itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si Ek berkata.
"Tidak bisa! Siauwte (aku) bukanlah seorang penghianat! Sejak dahulu, nenek moyangku adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang rela mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa, yang menduduki kedudukan tinggi di dalam ketentaraan tanpa pamrih untuk pribadinya, melainkan semata untuk berbakti kepada negara dan bangsa! Kedatangan Sam-wi Lihiap (Pendekar Wanita Bertiga) saya terima dengan penuh kehormatan, akan tetapi kalau Sam-wi mengajak siauwte sekongkol dengan Cu Bun, terpaksa saya menolak keras!"
Dengan suara manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di antara mereka bertiga, berkata halus,
"Kami bertiga Enci Adik sudah cukup mengenal kegagahan dan kesetiaan keluarga Kam. Kami mana berani membujuk Goan-swe (Jenderal) untuk bersekongkol dengan penghianat atau pemberontak? Akan tetapi, bukankah bekas Gubernur Cu Bun kini telah menjadi raja dari kerajaan Liang yang sudah berdiri belasan tahun lamanya? kini terjadi perebutan kekuasaan, dan raja tidak dapat membiarkan mereka yang memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada kekuasaan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang. Karena itu, kami mengajak kepada Goan-swe untuk berjuang bersama, menghalau para pemberontak, terutama sekali bangsa buas dari luar yang hendak menggunakan kesempatan ini untuk mengganas."
"Maaf, siaute terpaksa membantah, memang benar bahwa Gubernur Cu Bun berhasil menumbangkan Kerajaan Tang belasan tahun lalu. Akan tetapi, berhasil atau tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung daripada dukungan rakyat. Dan untuk mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat harus diberi kehidupan yang tentram, penghasilan yang wajar dan sumber hidup yang layak. Akan tetapi apakah buktinya? Rakyat menjadi korban selalu. Dimana-mana timbul kejahatan, perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat tidak aman, masih ditekan pajak, diperas oleh lintah-lintah darat yang berupa raja-raja kecil di dusun-dusun, masih diganggu oleh para tentara kerajaan yang buas melebihi perampok. Buktinya? Sam-wi dapat melihat betapa banyaknya penduduk dusun mengungsi, bingung mencari tempat aman sehingga di dalam benteng ini saja kami terpaksa menampung seratus orang lebih pengungsi. Bukankah ini sudah membuktikan bahwa Kerajaan Liang tidak didukung rakyat? Dan selama pemerintahan tidak mendapat dukungan rakyat, saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah pemerintahan itu."
Muka jenderal muda itu menjadi merah, bicaranya penuh semangat dan wajahnya yang tampan gagah itu mengeluarkan wibawa seperti seekor harimau yang menakutkan. Kam-goanswe yang perkasa,kata Nona kedua yang berpakaian kuning.
"Bolehkah saya bertanya, Goanswe ini sebetulnya mengabdi kepada siapakah? Dahulu keluarga Goanswe mengabdi kepada Kaisar Tang yang terakhir. Setelah kaisar jatuh, Goanswe mengabdi kepada siapa? Kalau Goanswe tidak mengakui kekuasaan Raja Liang, apakah Goanswe mengabdi kepada gubernur Li?"
Kam Si Ek kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang tinggi tegap itu seakan-akan makin besar. Ia mengepal tinjunya dan berkata.
"Aku hanya mengabdi kepada tanah air dan bangsa! Siapa saja yang mengganggu rakyatku, akan kulawan! Bangsa apa saja yang berani memasuki tanah airku akan kuhancurkan! Aku tidak mengabdi kepada Raja Liang, dan terhadap Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman seperjuanganku dahulu, dia tetap teman baik asal saja dia tidak menyeleweng daripada jalan benar."
Nona paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua orang encinya, lalu bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan arak dan menjura kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus merdu penuh rayuan.
"Maaf, maafKam-goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan-akan lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan negara yang berat-berat. Kasihan sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya masakan menjadi dingin. Kam-goanswe, mari kita lanjutkan makan minum sambil membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Sudilah kau menerima secawan arak dariku sebagai cawan minta maaf!"
Ia melangkah maju, Tergopoh-gopoh Kam Si Ek balas menjura dan ia pun tersenyum.
"Lihiap benar, maaf. Aku sampai lupa diri."
Ia menerima cawan itu dan sekali tenggak habislah isinya. Si Baju Hijau tersenyum manis dan menuangkan arak lagi.
"Untuk kedua kalinya kuharap kau suka menerima secawan sebagai tanda persahabatan"
Dengan sikap yang amat mesra ia menyerahkan cawan dan dalam kesempatan ini jari-jarinya yang halus menyentuh tangan Kam Si Ek.
Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk, alisnya yang berbentuk golok dan hitam itu bergerak-gerak, agaknya ia ragu-ragu bagaimana harus menghadapi wanita yang tiba-tiba berubah sikap ini.
"Cukup.. cukup"
Katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama tangannya terpegang jari-jari halus mungil.
"Ah, Kam-goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?"
Si Baju Hijau berkata manja dan berdiri makin mendekat sehingga sebagian tubuhnya merapat, dadanya sengaja menyentuh lengan kiri Kam Si Ek. Hampir saja pemuda ini meloncat pergi, akan tetapi sebagai tuan rumah ia masih mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi lalu berkata,
"Baiklah, kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!"
Ia minum lagi arak dari cawannya. Akan tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda cantik berpakaian hijau ini tidak kembali ke bangkunya di seberang, melainkan menyeret sebuah bangku dan duduk disampingnya! Ini dilakukan sambil tersenyum-senyum, matanya mengerling tajam penuh arti.
"Daripada berdebat yang bukan-bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya sama sekali, bukankah lebih baik kita berteman? Kam-goanswe, kami sudah lama mendengar nama besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam Si Ek yang gagah perkasa dan menjadi idaman setiap orang wanita di propinsi Shan-si! Kami bertiga enci adik tidak mempunyai niat buruk terhadap jenderal, melainkan hendak membantu usahamu, hendak menyerahkan jiwa raga mengabdi kepadamu, Kam-goanswe!"
Sambil berkata demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser bangkunya sampai mepet dengan bangku Kam Si Ek. Si Baju Merah dan kuning segera tertawa-tawa dan mengitari meja, menarik bangku dan mengisi cawan arak.
"Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kam-goanswe, kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani!"